Pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam mempersiapkan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah mempersiapkan Peraturan OJK dengan target Indonesia bisa memulai perdagangan karbon melalui bursa pada September 2023.
Namun hingga saat ini, OJK juga belum menentukan siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa karbon tersebut.
Pengamat ekonomi Yoyok Prasetyo menilai, hadirnya bursa karbon di Indonesia tentu akan menjadi angin segar terhadap ekosistem ekonomi hijau di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hadirnya Bursa Karbon di Indonesia tentunya akan menjadi angin segar dalam ekosistem green economy di Indonesia. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas, dan tentunya ini akan menjadi keuntungan dibandingkan negara-negara lain," ungkap Yoyok, Kamis (8/6/2023).
"Dengan dilakukannya perdagangan karbon melalui bursa, perdagangan akan transparan karena prinsip dasar perdagangan di bursa karbon adalah penemuan harga dari penjual dan pembeli," lanjutnya.
Dia menegaskan, salah satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah adalah penyelenggara bursa karbob. Sebab, saat ini ada dua jenis bursa di Indonesia, yakni bursa efek dan bursa komoditas yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda.
"Terkait bursa karbon, bursa ini akan memiliki kemiripan karakteristik dengan bursa komoditas. Hal ini tentunya menjadi kesempatan bagi bursa komoditas untuk menjadi penyelenggara bursa karbon ini. Intinya adalah adanya kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha untuk menjadi penyelenggara bursa karbon. Memang secara aturan UU PPSK disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat ijin usaha OJK. Namun tidak dijelaskan siapa yang akan menjadi penyelenggara bursa," jelasnya.
Diketahui, hadirnya bursa karbon di Indonesia sendiri bertujuan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui jual beli karbon.
Pembentukan bursa karbon ini selaras dengan target pemerintah Indonesia yang telah menetapkan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan upaya sendiri, atau hingga 41% dengan dukungan eksternal di tahun 2030.
(dpw/dpw)