Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut mencatat nilai tukar petani (NTP) untuk tanaman pangan naik dari 97,13 menjadi 97,85 (naik 0,74 persen). NTP ini sebagai tolak ukur daya tukar produk pertanian dengan barang yang diproduksi.
Jika dilihat lebih rinci pada bagian tanaman pangan padi, indeks harga yang diterima petani yang mencerminkan hasil penjualan padi justru turun 0,34 persen di bulan Maret dari 111,69 menjadi 111,31.
Ekonom Sumut Gunawan Benjamin melihat kenaikan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang sudah dinaikkan menjadi Rp 5.000 dari sebelumnya Rp 4.200 belum dapat dirasakan oleh petani padi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Padahal di bulan Maret, Bapanas telah menaikkan HPP gabah petani dari Rp 4.200 menjadi Rp 5.000. Yang seharusnya akan mendorong harga jual padi petani di Sumut. Jadi perlu ditelusuri lebih dalam mengapa kenaikan HPP gabah petani yang ditetapkan Bapanas justru belum dirasakan petani padi," ungkap Gunawan, Selasa (4/4/2023).
Gunawan menyebut sejauh ini NTP untuk tanaman pangan didorong oleh tanaman palawija. Hal ini dapat dilihat dengan kenaikan 3,77 persen di bulan Maret 2023.
"Nah kalau melihat NTP tanaman pangan yang mengalami kenaikan ini lebih didorong oleh kenaikan harga pada tanaman palawija seperti ubi, jagung dan kacang. Dan fakta di lapangan memang harga jagung selama bulan Maret mengalami kenaikan yang signifikan, sehingga indeks harga yang diterima petani palawija naik 3,77 persen di bulan Maret," tuturnya.
Melihat hal ini, Gunawan menilai ada banyak faktor yang menyebabkan penjualan padi di Sumut belum terdongkrak naik.
"Ada banyak sekali kemungkinan mengenai hal tersebut. Bisa jadi perubahan HPP belum disesuaikan di level petani di Sumut, atau petani sudah terlilit utang diawal sehingga harga diserahkan sepenuhnya ke tengkulak, bisa dikarenakan penurunan produktifitas tanaman, atau masalah lainnya," jelasnya.
Sementara itu, nilai tukar petani tanaman hortikultura (NTPH) yang meliputi sayur sayuran, buah-buahan dan tanaman obat juga mengalami penurunan indeks. Adapun penurunan yang terjadi cukup besar mencapai 3,33 persen, di level 86.67 saat ini.
"Dan semua ini tercermin dari penurunan sejumlah komoditas sayur-sayuran seperti cabai yang menyumbang deflasi selama bulan Maret," kata Gunawan.
Berdasarkan data BPS Sumut, indeks harga yang diterima oleh petani tanaman hortikultura masih berada di atas 100 atau tepatnya di 100,16. Namun harus tergerus oleh indeks harga yang harus dibayar oleh petani yang mencapai 115,56.
"Dimana pengeluaran untuk bercocok tanam dan pengeluaran sehari-hari masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil panen," kata Gunawan.
Kemudian untuk nilai tukar petani peternakan (NTPT) indeksnya juga di bawah 100 pada bulan Maret lalu. NTPT di bulan Maret sebesar 97,68 atau mengalami kenaikan sebesar 1,26 persen dibandingkan Februari.
"Namun NTPT juga tergerus oleh lebih tingginya pengeluaran dibandingkan dengan pendapatan dari penjualan hewan ternak," tuturnya.
Gunawan menilai bahwa secara keseluruhan NTP petani di Sumut tetap naik di bulan Maret, kenaikannya sebesar 1,26 persen di level 127,40. Namun, faktor pendorongnya masih didominasi oleh petani perkebunan melalui hasil karet maupun kopi.
"NTP Sumut naik tetapi masih disumbang oleh petani perkebunan seperti karet, kopi maupun kelapa sawit. Dominasi perkebunan cukup terlihat dan NTP keseluruhan terlihat bagus, sehingga tidak bisa mewakili kondisi ketahanan pangan di wilayah Sumut," pungkasnya.
(dpw/dpw)