Presiden Jokowi telah mencabut larangan ekspor crude palm oil (CPO). Itu berarti larangan tersebut berlaku efektif selama 25 hari sejak diberlakukan pada 28 April silam hingga hari ini.
Meski kurang dari sebulan, namun larangan itu telah menimbulkan kerugian yang besar bagi para petani sawit. Khususnya petani yang menjual hasil panennya ke pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS).
"Di Labuhanbatu kerugiannya sekitar Rp 50 miliar. Itu untuk dua kali putaran panen," kata Ketua Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) Labuhanbatu, Eko Saputra kepada detikSumut, Senin (23/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eko menyebut kerugian itu muncul karena turunnya harga TBS petani pasca larangan ekspor diumumkan. Di mana penurunan itu diyakini tak akan terjadi jika larangan ekspor itu tidak dilakukan, mengingat harga CPO dunia berada dalam tren positif.
Adapun nilai kerugian itu, menurut Eko merupakan akumulasi kehilangan pemasukan yang harus dialami petani. Adapun untuk penurunan harga tersebut, Eko mengatakan hingga 40 persen dari harga sebelumnya atau rata-rata Rp 1.200/kg.
"Nilai Rp 50 miliar itu merupakan jumlah harga yang terpotong dari seluruh TBS masyarakat," jelasnya.
Pendapat senada juga disampaikan oleh seorang pengepul TBS masyarakat, Ismarlin Sitorus. Penurunan harga tersebut tidak bisa dihindari karena dilakukan oleh hampir semua pabrik kelapa sawit yang menerima buah masyarakat.
"Harga jual kita yang paling tinggi (ke PKS) itu Rp 3.300 (per kilogram TBS). Itu sebelum ada pengumuman (Presiden) Jokowi itu. Begitu diumumkannya harga pun langsung turun tajam sampai Rp 1.800. Sebelumnya harga enggak pernah kayak gitu (turun). Sudah (sekitar) dua tahun ini kan, harga naik terus, yang paling tinggi ya itu Rp 3.300," katanya.
Ismarlin mengatakan harga yang telah terkoreksi itu, terus berlaku selama ada larangan ekspor CPO. Kemudian setelah Presiden mengumumkan akan mencabut larangan ekspor harga kembali naik sedikit.
"Baru setelah diumumkan lagi, boleh ekspor, harga jadi naik lagi. Memang setiap malam terus naik, tapi cuma Rp 50 lah naiknya. Tadi malam cuma naik Rp 30. Hari ini harga Rp 2.180 di PKS," imbuhnya.
Sementara untuk panen yang bisa dihasilkan kebun sawit petani, seorang pengurus Koperasi Petani Sawit Swadaya Maju Lancar Laya Labuhanbatu, Sakaria Ginting, mengatakan dalam sebulan, lahan seluas satu hektar minimal menghasilkan TBS sebanyak 1,5 ton. Hasil ini sebenarnya kecil, yakni hanya separuh dari hasil yang bisa dipanen oleh perkebunan milik perusahaan.
"Untuk satu hektar itu, sebulan biasanya bisa 1,5 sampai 2 ton per hektar. Itu kebun yang biasa-biasa saja. Kalo bagus perawatannya bisa 2,5 atau 3 ton perbulan," katanya.
Sedangkan untuk luas perkebunan rakyat di Labuhanbatu, Dinas Pertanian mencatat di tahun 2020 ada 33.898 hektare lahan yang masuk kategori sudah menghasilkan. Luas itu sangat memungkinkan untuk bertambah, mengingat di tahun tersebut ada 3406 hektare lahan yang masih dikategorikan tanaman belum menghasilkan (belum cukup umur).
Seluruh lahan itu dikelola oleh sekitar 23 ribu kepala keluarga (petani), yang tersebar pada sembilan kecamatan seantero Labuhanbatu.
Jika mengacu data-data di atas, maka apa yang dikatakan Eko tidak sesuatu yang berlebihan. Karena jika dihitung maka perkebunan sawit rakyat di Labuhanbatu akan menghasilkan 50.847 ton TBS perbulan.
Jumlah tersebut jika dikonversi ke dalam 25 hari (masa larangan ekspor CPO) maka hasilnya menjadi 42.372 ton. Dari hasil panen tersebut, maka dengan adanya penurunan harga sebesar Rp 1.200 per kilogram, petani sawit di Labuhanbatu telah kehilangan pemasukan sebesar Rp 50,8 miliar.
(astj/astj)