Sejumlah wilayah di Provinsi Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat, dilanda bencana banjir dan longsor yang menyebabkan lebih dari 100 orang meninggal dunia. Tidak hanya itu ribuan orang juga kehilangan tempat tinggal akibat bencana tersebut.
Pakar metereologi sekaligus dosen dari Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Muhammad Rais Abdillah S Si, M Sc, menjelaskan beberapa penyebab bencana yang terjadi di Pulau Sumatera. Penyebab pertama adalah curah hujan yang tinggi.
"Memang wilayah Tapanuli sedang berada pada musim hujan, karena Sumatera bagian utara memiliki pola hujan sepanjang tahun atau dua puncak hujan dalam satu tahun, dan saat ini berada pada puncaknya," ujarnya dikutip detikEdu dari laman ITB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rais mengatakan adanya pusaran atau sirkulasi siklonik di sekitar Sumatera bagian utara memperparah curah hujan. Fenomena itu kemudian berkembang menjadi sistem Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di sekitar Selat Malaka dan bergerak ke arah barat.
"Pada tanggal 24 November sudah mulai terlihat adanya sistem yang berputar dari Semenanjung Malaysia. Dalam meteorologi, kita menyebutnya sebagai vortex, meskipun saat itu masih berupa bibit dan matanya belum terlihat jelas," ungkapnya.
Siklon tersebut dijelaskan Rais memang tak sekuat yang biasanya berada di Samudera Pasifik atau Hindia. Namun, tetap mendorong pembentukan awan hujan.
Kemudian fenomena atmosfer skala meso dan sinoptik juga turut berpengaruh. Contohnya vortex, yaitu hembusan angin kuat dari utara yang membawa massa udara lembap serta memperkuat pembentukan awan hujan.
Kerusakan Lingkungan Perparah Dampak Banjir
Tak hanya dalam segi curah hujan, banjir bandang terlihat sangat parah karena diiiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah. Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Dr Heri Andreas ST MT.
"Saat presipitasi turun, sebagian air meresap ke dalam tanah (infiltrasi), sementara sisanya mengalir di permukaan sebagai (runoff). Proporsi antara keduanya sangat bergantung pada tutupan lahan dan karakteristik tanah," ungkap Heri.
Ia melihat alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan dan pemukiman mengurangi kapasitas serapan air di wilayah tersebut. Sehingga Heri menekankan pentingnya penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial sangat penting untuk mitigasi jangka panjang.
"Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir," ujarnya.
Simak Video "Video WALHI Sumut Sayangkan Tak Ada Status Darurat Bencana Nasional Sumatera"
[Gambas:Video 20detik]
(astj/astj)











































