Gampong Berdikari: Tambak Mati yang Kini Jadi Sumber Harapan Baru

Gampong Berdikari: Tambak Mati yang Kini Jadi Sumber Harapan Baru

Kartika - detikSumut
Jumat, 31 Okt 2025 22:20 WIB
Petambak Muhrizal saat memproduksi pakan dari limbak lokal (Kartika/detikcom)
Foto: Petambak Muhrizal saat memproduksi pakan dari limbak lokal (Kartika/detikcom)
Lhokseumawe -

Muhrizal melangkah menuju tambaknya pagi itu dengan semangat yang tak kalah cerah dari sinar matahari. Di tangannya, jaring dan tong biru menjadi saksi kerja keras yang telah ia tekuni bertahun-tahun.

Begitu jaring diangkat, ratusan udang vaname menggeliat di dalamnya. "Alhamdulillah, panen dapat 300 kg," ujar Muhrizal sumringah kepada detikSumut, Senin (27/10/2025) lalu.

Ketua Kelompok Petani Tambak Meuhase dari Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, ini sudah lama mengenal dunia tambak. Namun, baru dua tahun terakhir ia kembali serius menggelutinya setelah sempat berhenti karena terus merugi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya ingat sekali, dulu keluar modal bisa Rp 10 juta. Tapi begitu panen, hanya menghasilkan Rp 4 juta. Merugi terus lah dulu," kenangnya sambil tersenyum tipis.

Bangkit dari Tambak yang Terbengkalai

Beberapa tahun lalu, tambak-tambak di Desa Padang Sakti banyak yang terbengkalai. Cuaca ekstrem dan penyakit membuat petambak kehilangan harapan. Kota Lhokseumawe sendiri memang termasuk wilayah dengan potensi bencana tinggi.

ADVERTISEMENT

"Ketika ada cuaca ekstrem, rata-rata gagal panen petani tambak. Kita pikir ya udang-udang mati karena penyakit aja, rupanya banyak faktor yang bisa dicegah tapi kita belum ngerti waktu itu," kata Muhrizal.

Pelaku UMKM Dapu Geuntanyoe saat memproduksi dimsum dari bahan baku udang vaname. (Kartik/detikcom)Pelaku UMKM Dapu Geuntanyoe saat memproduksi dimsum dari bahan baku udang vaname. (Kartik/detikcom)

Menurut Dinas PUPR Kota Lhokseumawe (2024), luas lahan tambak di kota ini mencapai 1.595,3 hektare, menjadi urutan ketiga terbesar setelah kebun dan permukiman. Namun produksi perikanan budidaya turun tajam dari 99,76% pada 2022 menjadi 34,03% di 2023 akibat cuaca ekstrem dan penyakit udang.

Kondisi itu menggerakkan PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal (IT) Lhokseumawe untuk turun tangan lewat program CSR yang fokus pada pendampingan petambak.

Community Development Officer (CDO) Pertamina IT Lhokseumawe, Sisiliah Huswatun Hasanah, melakukan pemetaan sosial selama enam bulan sejak Desember 2023 hingga Juni 2024 di Desa Padang Sakti.

"Tim pelaksana program CSR melakukan serangkaian kajian lapangan secara komprehensif untuk memahami kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan masyarakat pesisir Gampong Padang Sakti," ujar Sisil.

Program Gampong Berdikari pun dimulai tahun 2024. Tambak-tambak lama direvitalisasi menggunakan sistem semi-intensif yang memadukan teknologi modern dan cara tradisional. Tambak dilengkapi pompa air, kincir, serta instalasi listrik untuk empat tambak milik kelompok Meuhase.

"Dulu kerja apa ajalah, ikut-ikut orang. Sekarang kita fokus di tambak bersama petambak yang lain, aktivitasnya jelas dan bisa dekat sama keluarga juga," kata Muhrizal.

Dua bulan kemudian, hasilnya mulai tampak. Tambak semi-intensif itu menghasilkan panen perdana 300 kilogram udang vaname.

Inovasi Tambak Ramah Lingkungan

Keberhasilan itu mendorong Pertamina IT Lhokseumawe untuk berinovasi lagi. Pada Agustus 2025, mereka mengembangkan tambak polikultur semi-intensif, yakni budidaya lebih dari satu jenis organisme dalam satu tambak.

Kelompok Meuhase menggabungkan udang vaname dan ikan bandeng dalam satu kolam. Sistem ini menggunakan cangkang tiram sebagai filtrasi alami untuk menjaga kualitas air.

Muhrizal kini tak hanya mengandalkan insting. Ia rutin memantau kondisi tambaknya dengan alat uji pH air, refraktometer, hingga tes kit amonia.

"Adanya alat ini kita akhirnya tahu kondisi air di tambak seperti apa, ada hitungannya lah. Kalau dulu kan cuaca ekstrem udah buang napas panjang aja kita, tapi sekarang bisa kita antisipasi," ujarnya.

Tambak kelompok Meuhase juga kini memanfaatkan energi surya. Kapasitas PLTS di tambak ini sekitar 4,4 kWp dengan baterai penyimpanan 10 kWh. Muhrizal mengaku tak sulit mengoperasikan panel surya ini.

"Tinggal dihidupkan tombol on aja terus arusnya langsung masuk dan langsung bisa digunakan mesin-mesinnya," tuturnya.

Muhrizal mengakui jika panel surya yang dipasang Pertamina IT Lhokseumawe membantu menekan biaya listrik yang dulu membengkak.

"Kalau dulu listrik lumayan membengkak, adanya PLTS ini senang lah kita bisa lebih hemat biaya listrik dari penggunaan kincir, mesin pakan, dan juga penerangan di malam hari dan saat panen," ucapnya.

Kelompok petambak Meuhase didampingi CDO Pertamina IT Lhokseumawe saat panen udang vaname di tambak (Kartika/detikcom)Kelompok petambak Meuhase didampingi CDO Pertamina IT Lhokseumawe saat panen udang vaname di tambak (Kartika/detikcom)

Olah Limbah Jadi Pakan Bernutrisi

Sistem polikultur semi-intensif membuat waktu panen lebih singkat. Dari semula empat bulan, kini hanya butuh 1,5 bulan.

"Dulu nunggu 4 bulan buat panen, sekarang cuma 1,5 bulan aja. Ukuran udangnya jauh lebih besar karena udang di tambak ini makan pakannya yang bernutrisi alami," jelas Muhrizal.

Pakan itu dibuat dari limbah lokal seperti jeroan ayam, ampas tahu, ampas jagung, maggot, dan kepala udang. Setelah dijemur hingga kering, bahan-bahan itu dicetak menggunakan mesin. Kandungan nutrisinya diatur: lemak 5-8%, protein 30-40%, dan karbohidrat 15-20%.

Dengan pakan olahan sendiri, biaya produksi turun hingga 50%. Harga pakan buatan mereka hanya Rp 7.000 per kilogram, jauh di bawah harga komersial.

"Kita bisa hemat sekitar Rp 6,3 jutaan per siklus produksi dari rata-rata 900 kg pakan mandiri," ungkap Muhrizal.

Produksi tambak pun melonjak dari 300-400 kg menjadi 700-800 kg udang per hektare. Pendapatan petambak kini mencapai Rp 12 juta-Rp 18 juta per siklus panen.

"Sekarang kalau panen kita nggak dapat Rp 5 juta, tapi sekarang udah bisa Rp 12 juta-Rp 18 juta," katanya bangga.

Bahkan, petambak dari luar desa kini datang membeli pakan buatan kelompok Meuhase. Ia pun tak keberatan kelompok petambak lain meminjam mesin pencetak pakan. Baginya, maju bersama jauh lebih melegakan.

"Sudah sering beli di sini, soalnya harganya murah terus bahannya ini juga enggak rusak air di tambak," kata Amru, petambak asal Desa Blang Puloh.

Berdayakan UMKM Lokal

Dampak program Gampong Berdikari meluas hingga ke sektor UMKM. Kelompok Dapu Geuntanyoe, binaan Pertamina IT Lhokseumawe yang berjarak sekitar 3 km dari tambak, mengolah hasil panen menjadi aneka kuliner seperti pepes bandeng presto, dimsum udang, hingga kerupuk udang. Beberapa menu mereka juga sempat diikutkan saat bazar di desa tersebut.

"Kami beli sama petambak kalau mereka panen. Harganya lebih murah dibanding di pasar. Nah, kami buat dimsumnya dengan daging penuh yang jadi favorit pembeli," ujar Ketua UMKM Dapu Geutanyoe, Safriana.

Perjalanan Dapu Geuntanyoe dimulai pada Agustus 2025, saat Program Gampong Berdikari hadir di tengah masyarakat pesisir. Program ini menjadi tali penghubung rantai ekonomi dari hulu ke hilir, dari petambak hingga hasil panen diolah pelaku UMKM.

"Kami merasa senang ya sudah dibantu usaha kami. Dulunya cuma ibu rumah tangga, enggak ada kegiatan. Sekarang udah ada tambahan uang dapur dari usaha kita ini," tuturnya.

UMKM ini juga mendapat pendampingan dari CSR Pertamina, mulai dari pengolahan produk, fasilitas alat, hingga pemasaran. Kini, dapur sederhana itu jadi tempat harapan para ibu-ibu untuk menciptakan kreasi menu yang menggiurkan.

"Kita ingin terus berkembang, sekalian menunjukkan walaupun tinggal di pesisir kita mampu memperkuat ekonomi lokal," ucapnya.

Putus Rantai Kemiskinan

Muhrizal dan Safriana kini menjadi contoh bagaimana masyarakat pesisir bisa bangkit dari keterpurukan.

Senior Supervisor CSR & SMEPP Regional Sumbagut, Agustina Mandayati, menjelaskan Gampong Berdikari hadir untuk mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama dalam pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pelestarian ekosistem laut.

"Program ini tidak hanya menghidupkan kembali perekonomian petambak tetapi juga mengurangi beban biaya produksi, menurunkan pencemaran lingkungan akibat limbah yang tidak terkelola," kata Agustina.

Sistem filtrasi alami dari cangkang tiram dan metode polikultur semi-intensif dinilai berhasil menjaga kualitas air tambak sekaligus menghemat penggunaan air hingga 50%.

Pertamina IT Lhokseumawe juga memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pada Oktober 2025 yang menghemat biaya listrik hingga Rp 9,2 juta per tahun.

"Dengan demikian, Gampong Berdikari berhasil mendorong transformasi ekonomi masyarakat dari sistem yang bergantung pada bantuan menjadi masyarakat produktif dan mandiri berorientasi pada keberlanjutan," ujarnya.

Kini, Gampong Berdikari tak hanya mengubah kehidupan masyarakat pesisir Padang Sakti, tapi juga mengharumkan nama Lhokseumawe lewat berbagai penghargaan, di antaranya International CSR Excellence Awards 2025 kategori Utilization of Market Waste dan Indonesia Green Award ke-16 tahun 2025.

Dukung Keberlanjutan

Pengamat Sumber Daya Perairan dari Universitas Malikussaleh Salamah menilai program Gampong Berdikari ini memiliki potensi kuat memandirikan ekonomi masyarakat pesisir dan juga menggaungkan dukungan keberlanjutan. Hal ini dapat dilihat perekonomian penerima manfaat dari hulu ke hilir yang berubah dari CSR Gampong Berdikari.

"Program ini bisa buat masyarakat menjadi produktif ya, masyarakat pesisir yang awalnya menganggur jadi ada kegiatan dan berpenghasilan dengan adanya tambak ini. Tentunya hal ini juga berdampak perputaran ekonomi di sekitarnya," ungkap Salamah.

Selain itu, Salamah juga turut mengapresiasi pembuatan pakan dari limbah lokal dari petambak kelompok Meuhase yang dapat menyelamatkan lingkungan secara tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari pakan komersil yang biasanya menggunakan bahan kimia sintetis kini menggunakan bahan limbah organik.

"Kita memanfaatkan limbah kan artinya melindungi lingkungan ya. Biasanya masyarakat buang limbah sesuka hati di belakang rumahlah, nah itukan terjadi pembusukan. Pembusukan itu kan nanti ada hujan dan air yang meresap ke tanah kan, nah ini juga mempengaruhi kualitas air yang tercemar di sekitar situ, emisi rumah kaca kan juga berpengaruh," ujarnya.

"Nah, semakin banyak pakan yang diproduksi dari bahan baku alami kan makin banyak limbah-limbah yang dibutuhkan. Pakan komersil kita tahu juga mahal karena juga biaya transportasi dari luar daerah, kemudian biaya-biaya lainnya. Nah, hal itu bisa kita potong rantainya. Pakannya kita buat sendiri kemudian dia menggunakan bahan limbah, kemudian bisa dijual ke sekitar sehingga petambak bisa beli di kelompok ini," pungkas Salamah.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video Gelombang Penolakan Pembangunan Tambak Udang di Sukabumi"
[Gambas:Video 20detik]
(astj/astj)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads