Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haythar menyoroti pembangunan Tanah Rencong belum menunjukkan kemajuan signifikan pasca 20 tahun perdamaian. Menurutnya, beberapa aspek justru menghadapi kemunduran.
"Kita saksikan hari ini adalah Aceh masih ketergantungan yang tinggi terhadap belanja APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh), rendahnya investasi sektor real, dan belum tumbuhnya industri besar atau infrastruktur ekonomi yang berkelanjutan," kata Malik Mahmud dalam sambutannya di Hari Damai yang digelar di Gedung Balee Meuseraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Jumat (15/8/2025).
Malik adalah petinggi Gerakan Aceh Merdeka yang meneken perjanjian damai di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus lalu. Dia saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri GAM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wali Nanggroe Aceh ke-9 itu juga menyoroti tingkat pengangguran Aceh yang masih tinggi serta ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Selain itu, implementasi butir-butir kesepakatan damai juga belum sepenuhnya berjalan.
"Banyak butir-butir yang penting, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan pembentukan lembaga-lembaga khusus seperti pengakuan simbol-simbol lokal hingga penyelesaian masalah korban-korban konflik seperti halnya apa yang telah dijanjikan kepada para korban dan keluarga korban," jelasnya.
"Begitu pula dengan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Undang-undang ini bukan hanya simbol hukum, tetapi kondisi Pemerintahan Aceh yang berkeadilan dan berdaulat secara administratif," lanjut Malik.
Malik mengaku menyampaikan hal itu bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi sebagai bentuk tanggung jawab moral serta amanah rakyat yang menaruh harapan terhadap perdamaian.
"Oleh karenanya kita harus jujur melihat ke dalam, apakah kita telah menggunakan perdamaian ini dengan sebaik-baiknya, apakah kita telah memahamkan untuk memperbaiki nasib rakyat kita. Jawabannya adalah masih belum. Maka, 20 tahun ini harus kita jadikan titik balik. Kita tidak boleh terjebak dalam nostalgia dan seremoni," kata Malik.
Dia mengajak semua pihak agar bangkit dengan keberanian baru untuk membenahi Aceh dengan semangat damai, keadilan, dan kemajuan yang sesungguhnya. Menurutnya, rakyat Aceh harus kembali bersatu dalam kesadaran politik bahwa damai bukan hanya warisan masa lalu, tetapi tanggung jawab generasi hari ini dan besok.
"Saya menegaskan bahwa perdamaian Aceh adalah anugerah yang mahal tetapi rapuh kalau tidak ditangani dengan baik. Ia hanya akan bertahan jika terus kita rawat, kita isi, dan kita memberi makna yang dalam," ungkapnya.
(agse/nkm)