7 Fakta Pertempuran Medan Area yang Jarang Diketahui

7 Fakta Pertempuran Medan Area yang Jarang Diketahui

Aisyah Luthfi - detikSumut
Kamis, 31 Jul 2025 13:14 WIB
Pertempuran Medan Area (Foto: Istimewa)
Foto: Ilustrasi. Pertempuran Medan Area. (Dok. Istimewa)
Medan -

Tahukah detikers mengenai Pertempuran Medan Area? Mengutip buku Cerita Perang Kemerdekaan Indonesia karya Mudjibah Utami, Pertempuran Medan Area merupakan suatu peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap pasukan Sekutu yang terjadi di Medan, Sumatera Utara.

Mirip dengan pertempuran lainnya pada masa revolusi, sejarah Pertempuran Medan Area diawali dengan kedatangan pasukan Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly pada 9 Oktober 1945.

Ternyata, kedatangan Sekutu ini ditunggangi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang diam-diam bersiap mengambil alih pemerintahan Indonesia. Meski awalnya disambut baik, situasi memanas hingga pecah menjadi salah satu episode perjuangan fisik paling heroik dalam sejarah kemerdekaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, di balik narasi besar tersebut, terdapat banyak detail dan fakta menarik yang jarang terungkap. Fakta-fakta ini memberikan gambaran yang lebih utuh tentang betapa kompleks dan gigihnya perjuangan para pahlawan di masa itu.

7 Fakta Pertempuran Medan Area

Berikut adalah 7 fakta Pertempuran Medan Area yang mungkin belum detikers ketahui.

ADVERTISEMENT

1. Pemicunya Adalah Insiden Lencana Merah Putih

Meskipun kedatangan Sekutu dan NICA menjadi latar belakang utama, pemicu spesifik yang menyulut api pertempuran adalah sebuah insiden di sebuah hotel di Jalan Bali, Medan. Pada 13 Oktober 1945, seorang penghuni hotel yang merupakan bagian dari NICA, merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai seorang pemuda Indonesia.

Sikap baik rakyat Indonesia yang awalnya mengizinkan Sekutu menempati beberapa hotel ternama seperti Hotel de Boer dan Grand Hotel demi mengurus tawanan perang, ternyata tidak dihargai. Tindakan penghinaan terhadap simbol negara ini sontak mengundang kemarahan para pemuda.

Hotel tersebut segera diserang dan dirusak, menandai dimulainya konfrontasi fisik terbuka pertama yang menewaskan 96 orang, sebagian besar dari pihak NICA.

2. Kekuatan Laskar Rakyat Lebih Dominan di Awal Pertempuran

Mengantisipasi niat buruk Sekutu dan NICA, para pemuda telah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Medan. Namun, kekuatan utama di lapangan pada fase awal justru didominasi oleh berbagai laskar dan badan perjuangan rakyat.

Organisasi seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Hizbullah, dan laskar-laskar lokal lainnya tampil di garda terdepan.

Mereka bergerak dengan semangat yang sama: menolak kembalinya penjajahan. Ini menunjukkan bahwa Pertempuran Medan Area adalah murni gerakan dari, oleh, dan untuk rakyat, bahkan sebelum struktur komando militer sepenuhnya terbentuk.

3. Nama Medan Area Diberikan oleh Pihak Sekutu

Ironisnya, nama "Medan Area" yang kini melegenda justru berasal dari pihak musuh. Pada 1 Desember 1945, setelah berbagai insiden dan teror yang mereka lakukan, pihak Sekutu secara sepihak memasang papan-papan bertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (Batas Resmi Wilayah Medan Area) di berbagai sudut kota.

Tindakan ini adalah bentuk pelanggaran kedaulatan yang bertujuan membatasi ruang gerak para pejuang. Namun, bagi para pejuang Indonesia, penetapan batas ini justru dianggap sebagai tantangan dan semakin mempertegas wilayah mana yang harus dipertahankan mati-matian.

4. Peran Sentral Gubernur Sipil dalam Kancah Pertempuran

Di tengah berkecamuknya perang, peran tokoh sipil sering kali terlupakan. Gubernur Sumatera saat itu, Teuku Mohammad Hasan, memainkan peran krusial dalam mengelola pemerintahan dan menyetujui pembebasan tawanan perang yang awalnya merupakan tujuan kedatangan Sekutu.

Selain itu, tokoh sipil seperti Dr. Ferdinand Lumbantobing juga aktif dalam diplomasi, menggalang dukungan logistik, dan menjaga moral rakyat tetap tinggi. Peran mereka membuktikan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya soal senjata, tetapi juga kepemimpinan sipil yang kuat dan strategis.

5. Medan Bukan Satu-satunya Medan Perang

Ketika pasukan Sekutu dan NICA menggempur Medan secara besar-besaran, para pejuang melakukan langkah strategis. Pada April 1946, tentara Inggris mulai mendesak pemerintah RI untuk keluar dari kota.

Akibatnya, Gubernur, Markas Divisi TKR, dan Walikota RI terpaksa memindahkan pusat pemerintahan dan komando ke Pematangsiantar.

Dari sinilah perlawanan di seluruh wilayah Sumatera Timur terus dikoordinasikan. Kota-kota lain seperti Binjai, Tebing Tinggi, dan Berastagi juga menjadi basis-basis perlawanan yang tak kalah sengit.

6. Lahirnya Komando Terpadu untuk Menyatukan Kekuatan

Awalnya, puluhan laskar rakyat bertempur secara terpisah. Menyadari perlunya komando yang solid, pada 10 Agustus 1946, diadakan lah sebuah pertemuan para komandan pasukan di Tebing Tinggi.

Pertemuan ini menghasilkan pembentukan Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area, yang kemudian dibagi menjadi empat sektor. Ini adalah upaya strategis untuk menyatukan berbagai badan perjuangan di bawah satu komando militer yang terpadu, membuat perlawanan menjadi lebih terorganisir dan efektif.

7. Pertempuran Berakhir Karena Perundingan, Bukan Kekalahan Mutlak

Setelah pertempuran sengit yang berlangsung lebih dari setahun, akhir dari Pertempuran Medan Area diputuskan melalui jalur diplomasi. Pertempuran secara resmi berhenti pada 15 Februari 1947 setelah perintah dari Komite Teknik Gencatan Senjata.

Kemudian, pada 10 Maret 1947, ditetapkan garis demarkasi definitif yang melingkari kota Medan. Meskipun Belanda (NICA) berhasil menguasai kota Medan dan pusat pemerintahan RI harus pindah, perlawanan tidak pernah benar-benar padam dan terus berlanjut hingga meletusnya Agresi Militer Belanda I.




(mjy/mjy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads