- Kumpulan Puisi Natal Menyentuh Hati dalam Bahasa Indonesia Puisi 1: Senandung Natal Puisi 2: Surat untuk Ibu Puisi 3: Kado Natal Puisi 4: Malam Natal Puisi 5: Martir Riyanto Puisi 6: Di Negeri Asing Puisi 7: Natal di Gurun Pertempuran Puisi 8: Natal di Sintesa Peninsula Puisi 9: Salib Puisi 10: Desember Puisi 11: Natal di Bawah Pohon Manggis Puisi 12: Rumus Kristiani Puisi 13: Malam Natal Puisi 14: Meditasi-Meditasi di Malam Natal Puisi 15: Nyanyian Malam Natal Puisi 16: Natal Puisi 17: Natal Pertama - Adam dan Eva Puisi 18: Sesudah Dua Dasawarsa
- Kumpulan Puisi Natal Menyentuh Hati dalam Bahasa Inggris Puisi 1: In the bleak midwinter Puisi 2: Christmas, 1970 Puisi 3: Christmas Puisi 4: Christmas Mail Puisi 5: Christmas Eve Puisi 6: Christmas Night Puisi 7: Christmas Carol Puisi 8: Christmas Trees
Perayaan Natal kerap disambut gegap gempita oleh umat Kristiani. Dalam meriahkan Natal, berbagai kegiatan pun dilakukan, mulai dari pementasan drama, paduan suara, hingga pembacaan puisi.
detikers yang ingin menyemarakkan Natal tahun ini bisa menampilkan pembacaan puisi. Berikut detikSumut hadirkan contoh puisi Natal 2023 yang dikutip dari laman Poetry Foundation dan berbagai sumber lainnya.
Kumpulan Puisi Natal Menyentuh Hati dalam Bahasa Indonesia
Puisi 1: Senandung Natal
Karya: Suparwata Wiraatmadja
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bernyanyi suci di malam hari
Mengalun setinggi sesela hati
Adik mengapa di kau sendiri
Bersama abang mari ziarah ke gereja suci
Sunyi hati di gelap hari
Serangga mati di nyala api
Kristus janganlah pergi sertai kami dalam sepi jalan sendiri
Dan bulan, kerinduan yang dalam menikam nurani pengembara di perlawatan
Tuhan di palungan betapa pun kebesaran
Manusia nikmat tertidur di peristirahatan
Nyanyi suci di malam sepi
Mengalun hati diayun setanggi Adik mari berlutut di sini
Tuhan hadir bagi insani
Sunyi suci di gelap dini
Berayun hati digetar nyanyi
Dan adik mari bukakan diri
Kristus istirahatlah di hati kami Kristus!
Lindungilah dan berkati
Ajar kami berendah-hati
Dan biarlah tanganmu sesuci dahi kami tersilang aman abadi
Puisi 2: Surat untuk Ibu
Karya: Joko Pinurbo
Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, 'kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.
Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit
yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.
Puisi 3: Kado Natal
Karya: Okky Madasari
Untuk Joko Pinurbo
Ia meminta kado
sebuah puisi baru.
Pengganti puisinya
yang hilang setahun lalu.
Aku tak punya uang
untuk beli puisi yang
ia inginkan.
Aku tawarkan
bermacam barang
ia tetap tak senang.
Pagi tadi kulihat tetangga
membawa pulang puisi
yang dibeli di toko serba ada.
Puisi itu dipasang di jendela
dihiasi pita berwarna.
Aku mengendap dalam gelap
mencuri puisi saat rumah itu lelap.
Puisi itu kuselipkan di dada,
kusembunyikan hingga Natal tiba.
Saat lonceng berbunyi,
kuberi ia kado yang dinanti.
Kami membukanya berdua
lalu kecewa bersama.
Puisi itu tak bersuara
Semuanya tanggal
saat kuselipkan di dada.
Aku pungut tiap jejak huruf
Aku cari sisa-sisa kata
tak lagi bisa sama.
Natal tak singgah lama
Aku beri kado lain untuknya:
Puisi baru tanpa kata.
Puisi 4: Malam Natal
Karya: Joko Pinurbo
Bulan Terendam banjir di depan rumah,
bulat cerah seperti bola mainan masa bocah.
Dipungut ibu, dicuci
dengan sabun mandi,
dan diberikan kepada anak-anaknya
agar mereka dapat menyambut Natal
dengan gembira-di tengah wabah
dan bencana, di tengah
sengkarut kata, di tengah
cinta yang porak poranda,
di tengah sengketa yang tak ada habisnya
Puisi 5: Martir Riyanto
Karya: Joko Pinurbo
Ia memeluk agama
yang ia cintai dan mencintainya
Ia memeluk bom
yang akan membunuh
saudara-saudaranya.
Ia mengasih Tuhan
lebih daripada nyawanya.
Kematiannya: doa damai
yang terus menggema.
Dan para malaikat
menyanyikan gloria untuknya
Puisi 6: Di Negeri Asing
Karya: Subagio Sastrowardoyo
(I) Rindu
Janganlah berjalan ke daerah utara
di mana hari makin sempit dan udara telah
sebak oleh layap burung mati. Tanah hitam
terkubur dalam salju sepuluh malam
Daerah bisu di mana bahasa hanya senjata
untuk membunuh cinta
kekasih yang tidur semalam di sisi.
Di sini berakhir segala sejarah
segala kenikmatan dan kehormatan
yang tertumpah dalam darah putih.
Di atas salju segala membeku
Matahari mati.
Malam panjang menutup jalan
akan pulang ke kampung.
Rindu terkungkung.
(II) New York
Kita harus punya pulisi sendiri
untuk menjaga keselamatan kita
waktu melalui lorong gelap kota
ini. Sebab nyawa tak berharga
dan individu hilang lenyap
di bawah arus keserakahan yang
membikin tempat ini begitu sempit
buat doa dan suara manusia.
Di atas himpitan sampah basah
cakar-langit menjerit sia-sia ke angkasa.
Ini New York. Pusat kesenian
dan segala dosa. Di mana subuh hari
di muka gedung komedi bisa bertemu
tubuh lelaki diam terbaring dengan belati
di dada.
(III) Hari Natal
Ketika Kristos lahir
Dunia jadi putih
Juga langit yang semula gelap oleh darah dan jinah
jadi lembut seperti tangan bayi sepuluh hari.
Manusia berdiri dingin sebagai patung-patung mesir
dengan mata termangu ke satu arah.
Tak tumpah darah. Kain yang membunuh
saudaranya belum lagi lahir.
Semua putih. Salju jatuh
Sssst, diamlah. Kristos hadir.
Puisi 7: Natal di Gurun Pertempuran
Karya: Kriapur
Aku tak bisa berkata-kata lagi padamu
burung punya keteduhan dari sayapnya sendiri
angin punya keteduhan dari sejuknya sendiri
namun serigala punya keteduhan
di taringnya. Kini setiap perjumpaan
aku tak mampu mengucapkan kenangan
dan menjelang kepunahan ini
tibalah penebusan kekal.
Puisi 8: Natal di Sintesa Peninsula
Karya: Acep Zamzam Noor
Aku meninggalkan kamar dan pergi ke puncak bukit
Jalan menanjak dan melingkar adalah rute resmi
Menuju pagi. Kabut berkerumun di tengah udara dingin
Dan matahari belum sepenuhnya terbit dari tingkap langit
Di atas hamparan kampung di atas lereng gunung
Atap-atap seng seperti deretan nisan tua yang ramping
Tapi pagar-pagar gamping mengungkapkan gambaran lain
Kematian bukan terminal terakhir bagi penempuh batin
Aku bersandar pada sebuah patung dengan sisa ingatan
Yang masih tergantung. Pohon-pohon meredam deru angin
Lampu-lampu natal menebarkan sinarnya yang gemetar
Mungkin aku tak tahu atau lupa untuk apa mencintaimu
Dengan melukai dada. Tapi celah waktu selalu terbuka
Juga bagi hadirnya takwil baru mengenai penebusan dosa.
Puisi 9: Salib
Karya: Husni Djamaluddin
Yesus turun dari tiang salibnya
di bukit Golgotha
tanpa luka di tubuhnya
tanpa darah di jubahnya
tanpa dendam di hatinya
dari bukit itu
Yesus memandang Yerusalem
dengan mata rindu
dan sebelum melangkah turun menuju
Kota Suci
ia menitipkan mahkota duri
pada serdadu Romawi
yang dulu
menyalibnya
di perbatasan kota
Ia dicegat tentara Israel:
kamu Arab atau Yahudi
dan Yesus menjawab lugu:
aku orang Nazaret
ibuku Maria
ayahku Yosef tukang kayu
kau boleh terus
kata tentara Israel yang Yahudi Polandia
masuklah ke Yerusalem
kota yang telah kita rebut
setelah ribuan tahun kita tinggalkan
masuklah dengan rasa bangga di dalam hati
karena kamu pun pemuda Yahudi
Yesus langsung ke sebuah apartemen
tempat tinggal Menachen
anggota parlemen
dari fraksi
yang paling fanatik Yahudi
adakah keresahan
yang ingin kaukemukakan
wahai anak muda
sambut Menachen
dengan ramah
dan Yesus mengimbau dengan sopan
bolehkah aku dipertemukan
di Yerusalem ini
dengan seseorang
yang bernama Yasser Arafat?
Siapa? Anwar Sadat?
tanya Menachen yang kupingnya agak gawat
oh dia sudah pernah ke sini
sekarang dia tentu sedang di Kairo
kalau tidak sibuk menghitung pasir di Sinai
tapi gampang
kalau kau perlu sekali bertemu
beres
kita bisa telepon dia setiap waktu
bukan
bukan Anwar sadat
tapi Yasser
Yasser Arafat
kata Yesus dengan suara yang lebih dikeraskan
mendengar itu
Menachen merah matanya meledak teriaknya
kau gila anak muda
Yasser Arafat kau tahu siapa
dia pemimpin Arab Palestina
musuh Israel nomor satu
musuh kita yang paling kepala batu
mintalah yang lain
jangan yang itu
tak mungkin
tak bakalan lagi kita biarkan
satu senti pun tanah Israel yang sudah kita rebut
untuk disentuh oleh Yasser Arafat
Yesus
kembali ke Golgotha
melewati Via Dolorosa
kepada serdadu Romawi
yang dititipi mahkota duri
Yesus berbisik:
salibkan aku
sekali lagi
Puisi 10: Desember
Karya: Acep Zamzam Noor
Buat Lisa Pandansari
Kidung malaikat
Tetes hujan di bumi
Ujung tahun yang rinai
Basah di hati
Kidung malaikat
Merangkai lampu-lampu natal
Seakan lagu damai
Lonceng berkeleneng ramai
Kidung malaikat
Anggur surgawi
Lagu hujan
Sunyi yang abadi
Puisi 11: Natal di Bawah Pohon Manggis
Karya: F. Rahardi
Di bawah pohon manggis ada
lampu teplok
kandang kambing
gerimis
tanah becek
dan kentongan dipukul sebelas kali
hari sudah demikian malam
dan dingin
hari sudah sangat sepi
katanya
pada malam seperti inilah
Yesus dilahirkan
tak ada lilin
tak ada lonceng
tak ada baju bagus
hanya mantel butut
bau kencing kambing
mata ngantuk
badan capek
dan udara malam
yang betul-betul dingin
katanya,
Yesus dilahirkan di tempat seperti ini
di timur tengah sana
dulu, 2000 tahun yang lalu.
Puisi 12: Rumus Kristiani
Karya: Remy Sylado
Setiap
hari natal
Kristen
jadi gatal.
Bicara
tahun baru
bicara
baju baru.
Mencari
roh kudus
ketemu
roh kudis.
'Pabila
tidak susah
gereja
tidak usah.
Setelah
datang kesusahan
barulah
senang ingat Tuhan.
Puisi 13: Malam Natal
Karya: Ari Pahala Hutabarat
- ompung doli
seperti mendung, yang tiba-tiba turun
ke meja terang
ke gegas orang-orang yang mencari
teduh
dan ingin menyimpan firman
ke rapat baju
seperti terompet masa kecil dan kilau
sungai
dan gitar ayah atau kue buatan bunda
yang merasuk ke pembuluh darah
setelah sangsi
melingkar dalam cuaca gatal
dan tamsil tentang santa
perlahan luntur warna
"maafkan kesalahan dan kebiasaan
untuk tak menepati janji
tapi, di tahun depan, ibadah akan
sempurna serta rencana berjalan menuju genap"
mendung milik kita. semoga kekal
semoga senyum dan rasa ramah
jadi dinding dan atap
lesu rumah dan ranjang hampa
semoga angka-angka di almanak hujan
makin jelas
ke gegas musafir yang mencari
teduh
dan menyimpannya ke lubuk tubuh
seperti kilau bintang
di altar malam
di puncak galau
domba yang jadi kekal.
Puisi 14: Meditasi-Meditasi di Malam Natal
Karya: F. Rahardi
pada bulan Desember ini
kami seret lapar dan haus kami
menghadapmu
piring-piring surgawi
jejalilah mulut kami dengan
tahi para nabi
agar kami cukup makan sebulan sekali
agar mulut kami berhenti
menyanyikan suara-suara
menuntut dan bertanya-tanya
pada bulan yang suci ini
kami menghadapmu
wajah-wajah konyol
jahitlah mata kami dengan
rambut para nabi
dan kami akan berhenti meyakini
warna-warna palsu
cakrawala-cakrawala palsu
pada bulan yang kudus ini
kami sujud di hadapanmu
suara-suara sepi
sumbatlah telinga kami dengan
ayat-ayat suci
sebab cukuplah kiranya
telinga kami mengenyam bunyi-bunyi
lagu-lagu palsu itu
pada bulan Desember ini
kami menghadapmu
demensi-demensi konyol
tutuplah hidung kami dengan
napas abadi
hingga tak kami hisap lagi
bau-bauan semu
wangi bunga lely
wangi duniawi.
Puisi 15: Nyanyian Malam Natal
Karya: Umbu Landu Paranggi
malam sunyi
malam sunyi
sorga bunyi
sorga bunyi
dunia ramai
dunia damai
jauh di malam sunyi di padang tiada bernama
di bethlehem-efrata yang tiada berangin
telah lahir kristus di dalam kandang yang hina
berbaring di dalam palungan, berbedung kain lampin
- kristus telah lahir buat seluruh-dunia -
- kristus telah lahir buat semua-manusia -
panjatkan seluruh puji kristus lahir buat seluruh-dunia
nyaringkan semua suara kristus lahir buat semua-manusia
"H A L E L U Y A"
malam sunyi
malam sunyi
sorga bunyi
sorga bunyi
dunia ramai
dunia damai
Puisi 16: Natal
Karya: Sitor Situmorang
tiap kelahiran adalah revolusi
apakah itu seribu tahun yang lalu,
ataukah terjadi saat ini,
pada tiap kelahiran dunia menjadi baru
ada yang lahir di gubuk, ada di ladang,
tapi di mana pun tangis bayi itu lahir,
dalam matanya dunia terbayang,
dalam tangisnya-Kristus hadir,
Kristus anak manusia,
dilahirkan untuk memperbarui dunia,
seperti setiap anak dalam kandungan,
pada zaman dipasrahkan oleh Tuhan.
anak manusia lahir,
malam ini di tengah kita,
siapakah yang ingkar,
akannya pesannya kepada manusia?
menyambut Kristus kita menyambut revolusi,
menyambut Kristus kita membangun dunia baru.
Puisi 17: Natal Pertama - Adam dan Eva
Karya: Andre Hardjana
inilah malam terakhir yang teramat didamba
dalam perjalanan mereka di atas dunia
malaikat yang dengan pedang api di tangan kanan
dan tangan kiri telah menunjuk arah semak-semak berduri
kini tampil kembali dengan bintang di dahi
dan membukakan lagi mereka gerbang
keselamatan yang selama ini terkatup rapat
mereka mengendap-endap menempuh malam
yang telah menenggelamkan sekalian harap
sedang di belakang mereka umat bagaikan serangga
merayap-rayap mencari api sepijar
inilah malam terakhir yang teramat didamba
karena telah mereka jumpai Adam dan Eva kedua
dan selesailah tugas mereka menjelajah dunia
lalu diserahkannya buah larangan di tangan:
dosa pusaka mereka
- terimalah buah yang semula kami duga membawa hayat
Tapi Cuma mengandung sial dan ajal
Dan selesaikanlah perhitungan kami dengan dunia
Dan bapa kami yang di sorga -
Persembahan pertama dari sepasang pengantin pertama
Adalah awal perhitungan tahun kedua
Masa derita buat Adam dan Eva kedua
(Kristus kecil dan Maria bunda sapta sengsara)
lalu mereka pun menghilang, entah ke mana
kerna gembala-gembala dena dalam gegas
napas terengah sudah sampai juga di gua itu
mereka lihat seorang bunda muda memangku seorang putera
sebagaimana malaikat yang berbintang di dahi
telah mewartakannya dalam tingkah lagu
"Gloria di sorga tinggi dan damai buat seluruh bumi"
persembahan gembala-gembala dena itu
serunai buluh telah lahir demi dosa mereka pertama
dan demi kerinduan kita semua.
Puisi 18: Sesudah Dua Dasawarsa
Karya: Jean Amanda S. Loupatty
Kado Natalku ialah cinta kasih Allah
Karunia
Pengampunan
Pendamaian
Keselamatan
Akankah Natalku menjadi redup?
Natalku penuh sukacita
akan kelahiran Mesias
Akankah Natalku menjadi hampa?
Natalku bersekutu dengan Tuhan
menjadi ranting-ranting-Nya
Akankah hidupku tak berkelimpahan?
Natalku terus bertumbuh
berbuah dan memberkati
Dekat
Jauh
Bersama
Berpisah
Natal memang tak lagi sama
tanpamu
Namun cinta kasih Allah
selalu sama dan berlimpah
setiap saat
Kumpulan Puisi Natal Menyentuh Hati dalam Bahasa Inggris
Puisi 1: In the bleak midwinter
Karya: Christina Rossetti
In the bleak midwinter, frosty wind made moan
Earth stood hard as iron, water like a stone
Snow had fallen, snow on snow, snow on snow
In the bleak midwinter, long ago
Our God, Heaven cannot hold Him, nor earth sustain
Heaven and earth shall flee away when He comes to reign
In the bleak midwinter a stable place sufficed
The Lord God Almighty, Jesus Christ
Enough for Him, whom cherubim, worship night and day
Breastful of milk, and a mangerful of hay
Enough for Him, whom angels fall before
The ox and ass and camel which adore
Angels and archangels may have gathered there,
Cherubim and seraphim thronged the air;
But His mother only, in her maiden bliss,
Worshipped the beloved with a kiss.
What can I give Him, poor as I am?
If I were a shepherd, I would bring a lamb;
If I were a Wise Man, I would do my part;
Yet what I can I give Him: give my heart.
Puisi 2: Christmas, 1970
Karya: Sandra M. Castillo
We assemble the silver tree,
our translated lives,
its luminous branches,
numbered to fit into its body.
place its metallic roots
to decorate our first Christmas.
Mother finds herself
opening, closing the Red Cross box
she will carry into 1976
like an unwanted door prize,
a timepiece, a stubborn fact,
an emblem of exile measuring our days,
marked by the moment of our departure,
our lives no longer arranged.
Somewhere,
there is a photograph,
a Polaroid Mother cannot remember was ever taken:
I am sitting under Tia Tere's Christmas tree,
her first apartment in this, our new world:
my sisters by my side,
I wear a white dress, black boots,
an eight-year-old's resignation;
Mae and Mitzy, age four,
wear red and white snowflake sweaters and identical smiles,
on this, our first Christmas,
away from ourselves.
The future unreal, unmade,
Mother will cry into the new year
with Lidia and Emerito,
our elderly downstairs neighbors,
who realize what we are too young to understand:
Even a map cannot show you
the way back to a place
that no longer exists.
Puisi 3: Christmas
Karya: Bill Manhire
Evening: the nervous suburbs levitate.
Height does us no harm, now we are high above the mineral pools,
above the flash hotel whose only use is treachery.
Someone knocks on a door and you crouch behind the bed.
Down in the bar, the small girls toast their parents,
the brother breaks a large bone for its marrow.
I'm thinking of a challenge for us all. The star in the sky
has traveled all the way from home. Now follow that!
Puisi 4: Christmas Mail
Karya: Ted Kooser
Cards in each mailbox,
angel, manger, star and lamb,
as the rural carrier,
driving the snowy roads,
hears from her bundles
the plaintive bleating of sheep,
the shuffle of sandals,
the clopping of camels.
At stop after stop,
she opens the little tin door
and places deep in the shadows
the shepherds and wise men,
the donkeys lank and weary,
the cow who chews and muses.
And from her Styrofoam cup,
white as a star and perched
on the dashboard, leading her
ever into the distance,
there is a hint of hazelnut,
and then a touch of myrrh.
Puisi 5: Christmas Eve
Karya: Bill Berkson
for Vincent Warren
Behind the black water tower under the grey
of the sky that feeds it
smoke speeds to where a pigeon
spreads its wings
This is no great feat
Cold pushes out its lust
We walk we drink we cast
our giggling insults
Would you please
leave the $2.50 you owe me
I would rather not talk about it
just now Money bores me I would like
to visit someone who will stay
in bed all day A forest is rising
imperceptibly in my head
not a civilized park
I think it would be nice this "new
moral odor" no it would not mean
"everything marching to its tomb"
The water tower
watches over us Is there someone
you would like to invite no one.
Puisi 6: Christmas Night
Karya: Conrad Hilberry
Let midnight gather up the wind
and the cry of tires on bitter snow.
Let midnight call the cold dogs home,
sleet in their fur-last one can blow
the streetlights out. If children sleep
after the day's unfoldings, the wheel
of gifts and griefs, may their breathing
ease the strange hollowness we feel.
Let midnight draw whoever's left
to the grate where a burnt-out log unrolls
low mutterings of smoke until
a small fire wakes in its crib of coals.
Puisi 7: Christmas Carol
Karya: Sara Teasdale
The kings they came from out the south,
All dressed in ermine fine;
They bore Him gold and chrysoprase,
And gifts of precious wine.
The shepherds came from out the north,
Their coats were brown and old;
They brought Him little new-born lambs-
They had not any gold.
The wise men came from out the east,
And they were wrapped in white;
The star that led them all the way
Did glorify the night.
The angels came from heaven high,
And they were clad with wings;
And lo, they brought a joyful song
The host of heaven sings.
The kings they knocked upon the door,
The wise men entered in,
The shepherds followed after them
To hear the song begin.
The angels sang through all the night
Until the rising sun,
But little Jesus fell asleep
Before the song was done.
Puisi 8: Christmas Trees
Karya: William Logan
How should I now recall
the icy lace of the pane
like a sheet of cellophane,
or the skies of alcohol
poured over the saltbox town?
On that stony New England tableau,
the halo of falling snow
glared like a waxy crown.
Through blue frozen lots
my giant parents strolled,
wrapped tight against the cold
like woolen Argonauts,
searching for that tall
perfection of Scotch pine
from the hundreds laid in line
like the dead at Guadalcanal.
The clapboard village aglow
that starry stark December
I barely now remember,
or the brutish ache of snow
burning my face like quicklime.
Yet one thing was still missing.
I saw my parents kissing,
perhaps for the last time.
Demikianlah puisi Natal 2023 dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Dari kumpulan puisi di atas, mana, nih, yang paling bagus menurutmu, detikers?
(mff/astj)