Mahkamah Syar'iyah (MS) di Aceh masih banyak menangani sengketa warisan tanah bekas tsunami dan tanah untuk pembangunan jalan tol. Salah satu penyebabnya karena ada ahli waris yang hilang saat bencana atau konflik.
"Karena Aceh pernah dilanda tsunami, jadi ada beberapa level waris yang hilang sehingga ada perdebatan-perdebatan selanjutnya yang sampai hari ini belum selesai. Faktanya banyak perkara masuk ke Mahkamah Syariyah," kata Ketua MS Jantho Muhammad Redha Valevi dalam keterangannya, Senin (21/8/2023).
Isu itu mencuat dalam Diskusi Hukum Wilayah I bertema 'Eksistensi dan Perkembangan Hukum Waris Islam serta Teknik Penanganan Perkara Waris'. Diskusi itu menghadirkan Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung RI, DR Edi Riadi, dan Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, DR. Rafi'uddin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain para hakim MS Jantho, kegiatan itu dihadiri para hakim di wilayah I: MS Sabang, MS Calang, Banda Aceh, Sigli, dan Meureudu. Redha menyebutkan diskusi tersebut bertujuan untuk mencari kesepahaman bagi para hakim Syar'iyah di Aceh dalam memutuskan perkara waris.
Berdasarkan data di MS Jantho, perkara kewarisan yang ditangani pada 2020 sebanyak 12 perkara, tahun 2021 sebanyak 12 perkara, dan tahun 2022 sebanyak 18 perkara. Untuk tahun ini hingga Agustus pihaknya menangani tujuh perkara.
Menurutnya, selain tanah bekas tsunami, pembangunan tol di Aceh juga menimbulkan sengketa-sengketa waris di masyarakat.
"Banyak kasus ditemukan ada generasi yang mewarisi sudah hilang akibat tsunami dan konflik, jadi perlu ada penggalian pembuktian oleh hakim," katanya.
Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh Rafi'uddin menyebutkan penyelesaian perkara waris terdapat banyak masalah. Dia mencontohkan dari ahli waris, harta waris, dan pembagian waris.
"Dari segi ahli waris, kita sering tertipu itu pemohon tidak memasukkan seluruh ahli waris. Di situ terjadi ketimpangan, bisa jadi perkara itu tidak dapat diterima walaupun bisa diajukan lagi," jelasnya
"Sehingga hal-hal yang seperti itu kalau orang luar, orang awam, itu mengatakan kita tidak adil, padahal kita tidak cukup data, bukti," lanjut Rafi'uddin.
Hakim Agung Edi Riadi menjelaskan, bagi hakim, hukum waris tidak berhenti dalam fikih dan perundang-undangan. Hakim disebut harus selalu cepat dan antisipatif terhadap perkembangan hukum atau rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat.
"Tapi harus melihat rasa keadilan masyarakat. Karena itu merupakan suatu amanat dari UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim itu harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Kalau ada hukum yang dirasa masyarakat tidak pas, kita diberi kewenangan oleh Allah untuk meninggalkan hukum itu," jelas Edi.
(agse/dhm)