Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan sejarah yang membekas bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Setelah mengumumkan kemerdekaan empat tahun, nyatanya para negara kolonial tidak menginginkan hal tersebut.
Belanda yang sebelumnya tumbang dibuat Jepang masih ingin menjajah Indonesia. Dalam Wahana Ilmu Pengetahuan Sosial 5 SD karya Tim Pena Cendekia, Agresi Belanda kedua bertujuan menyebarkan informasi sesat bahwa Republik Indonesia dan tentaranya sudah tidak ada ke seluruh negara yang ada di dunia.
Akibatnya, Presiden Soekarno diberangkatkan ke Prapat, Sumatera Utara untuk mengungsi sementara. Dan wakilnya, Hatta diterbangkan ke Bangka. Dalam masa pengungsian tersebut, Soekarno memberikan wewenang membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) kepada Syafruddin Prawiranegara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas bagaimanakah sejarah lengkap Serangan Umum 1 Maret 1949? Siapa sajakah yang terlibat? Berikut detikSumut hadirkan faktanya!
Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949
Melansir laman resmi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek), Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan respons dari Agresi Militer Belanda II.
Serangan Umum 1 Maret 1949 bermula ketika Belanda melakukan pendudukan terhadap Yogyakarta. Waktu itu, Yogyakarta merupakan ibu kota negara Indonesia. Dipindahkannya ibukota lantaran situasi Jakarta yang tidak aman setelah proklamasi kemerdekaan.
Namun pemindahan ibukota negara ke Yogyakarta juga tidak berjalan mulus. Waktu itu, Belanda menyebarkan propaganda bahwa Indonesia telah hancur dan TNI sudah tidak ada.
Dalam buku Serangan Umum 1 Maret 1949 karya Batara R. Hutagalung bahwa terjadinya pencetusan ide dari Letkol Wiliater Hutagalung yang saat itu menjabat Penasihat Gubernur Militer III bahwa melakukan serangan secara serentak. Adapun gagasan yang dikemukakan Letkol Wiliater Hutagalung sebagai berikut:
- Melakukan serangan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II, dan III;
- Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III;
- Mengadakan serangan terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III;
- Melakukan koordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar;
- Serangan yang dilakukan harus diketahui dunia internasional
- Serangan yang dilakukan harus mendapatkan dukungan dari Wakil Kepala Staf Angkatan Perang agar dapat berkoordinasi dengan pemancar radio milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Koordinator Pemerintah Pusat, dan Pendidikan Politik Tentara (PEPOLIT) Kementerian Pertahanan.
Kronologi Serangan Umum 1 Maret 1949
Sebelum terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, Belanda telah melakukan agresi militernya yang pertama. Namun Belanda mengalami kegagalan. Merasa tak ingin bekas jajahannya merdeka, Belanda kemudian melakukan agresi kedua.
Agresi kedua Belanda waktu itu menyasar Yogyakarta. Letnan Kolonel Soeharto adalah tokoh yang ditugaskan untuk melawan Belanda di Yogyakarta. Dipilihnya Yogyakarta sebagai titik penyerangan karena Yogyakarta menjadi Ibu Kota Indonesia.
Dalam IPS Terpadu SMP Kelas IX oleh Anwar Kurnia mencatat, serangan dilakukan pada 06.00 pagi. Waktu itu, tentara memukul seluruh pasukan militer Belanda yang tidak siap.
Namun, sebelum adanya penyerangan, Belanda lebih dulu menguasai Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang merupakan Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kemudian mengirimkan surat kepada Letnan Jenderal Soedirman untuk meminta izin agar diadakan perang.
Izin tersebut disambut baik Jenderal Soedirman dan meminta segala penyerangan berkoordinasi kepada Letkol Soeharto yang menjabat sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.
Dari rapat yang dilakukan, TNI menetapkan melakukan penyerangan pukul 06.00 pagi pada 1 Maret 1949. Selanjutnya, tepat pukul 12.00 WIB, Letnan Soedirman memerintahkan pasukan untuk mengosongkan Yogyakarta dan kembali menuju pangkalan gerilya.
Pada tanggal 2 Maret 1949, penyerangan umum 1 Maret 1949 ke Belanda dikabarkan ke pemerintah PDRI di Bukittinggi dengan radiogram. Kemudian informasi itu berlanjut ke A. A. Maramis yang merupakan diplomat RI di New Delhi, India.
Informasi yang sama juga disampaikan yang sama juga diberikan kepada L. N. Palar, diplomat RI di New York, Amerika Serikat. Serangan Umum pun dilansir ke luar negeri melalui pemancar radio yang ada di Wonosobo.
Meskipun informasi penyerangan tersebut telah diberitakan, Belanda merasa tak puas. Dengan utusannya Jenderal Meyer, Kolonel Van Langen, dan Residen Stock melakukan serangan balik.
Serangan pertama dilancarkan pada 10 Maret 1949 terhadap Lapangan Udara Gading yang berada di Wonosari. Selain manuver, serangan itu melibatkan tentara payung dan 20 buah pesawat Dakota.
Tak hanya serangan balasan, Belanda juga melakukan patroli ke daerah-daerah yang dikuasai TNI. Namun, Belanda kerap mendapatkan balasan, seperti penyerangan TP Batalyon 151 Peleton Zahid Husein pada 15 Maret 1949.
Konvoi Belanda waktu itu tengah melewati Serut, Kelurahan Madurejo, Kecamatan Prambanan. Belanda yang sedang melakukan konvoi dihadang dan menciptakan perang. Akibatnya, sebuah bren carrier (angkutan serbaguna lintas medan) milik Belanda meledak.
Penyelesaian Serangan Umum 1 Maret 1949
Akibat perang yang terjadi pada 1 Maret 1949 dan beberapa perang yang berbuntut akibat serangan tersebut, akhirnya kancah dunia memberikan respon. Saat itu, mata dunia melihat propaganda yang dilakukan Belanda merupakan kebohongan. Melalui Dewan Keamanan PBB dan UNCI, Indonesia dan Belanda dipertemukan kembali dengan perundingan.
Perundingan tersebut dipimpin oleh Merle Cochran selaku wakil PBB. Indonesia sebagai salah satu aktor dalam perundingan diwakili oleh Mr. Mohammad Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Dr.Soepomo, Mr. A.K. Pringgodigdo, dan Mr. Latuharhary.
Sedangkan Belanda diwakili Dr. J.H. Van Roijen, dengan anggotanya meliputi Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob, dan R.J.J. Van Der Velde.
Perjanjian alot itu akhirnya ditandatangani pada 7 Mei 1949. Isi dari perjanjian ini sebenarnya merupakan pernyataan kesediaan antara kedua belah pihak untuk berdamai.
Pihak delegasi Indonesia dalam perjanjian tersebut menyatakan kesediaannya untuk:
- Mengeluarkan perintah kepada "pengikut Republik yang bersenjata" untuk menghentikan perang gerilya;
- Melakukan kerja sama dalam mengembalikan perdamaian, serta menjaga ketertiban dan keamanan;
- Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang serius dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat
Pihak delegasi Belanda dalam perjanjian itu menyatakan kesediaannya untuk:
- Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta;
- Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik;
- Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum tanggal 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik;
- Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat;
- Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Demikianlah informasi terkait Serangan Umum 1 Maret 1949. Semoga bermanfaat detikers!
(astj/astj)