Pengadilan Negeri (PN) Tangerang mengesahkan pernikahan pasangan suami-istri beda agama. Kedua pasangan yaitu AD dan CM itu menikah di Singapura.
Dilansir dari detikNews, PN Tangerang memerintahkan agar Dukcapil Tangerang Selatan untuk mencatatkan pernikahan AD dan CM itu.
"Memberi izin kepada kepala Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil Kota Tangerang Selatan untuk mendaftarkan dan mencatatkan perkawinan AD dan CM tersebut ke dalam register perkawinan yang sedang berjalan untuk itu, kemudian menerbitkan akta perkawinannya," demikian bunyi Penetapan PN Tangerang yang dilansir websitenya, Senin (28/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AD dan CM merupakan WNI yang menikah di Gereja Bukit Batok Presbyterian Church, Singapura, pada 8 Juni 2022 lalu. Pernikahan keduanya tercatat secara resmi di Kantor Pencatatan Perkawinan di negara Republik Singapura (Registry of Marriages Singapore)No. Entry 1120697, ditandatangani oleh Rev Tham The To Liong, Deputy Registrar.
Kemudian, pernikahan antara AD dan CM itu dilaporkan ke KBRI di Singapura. Setelah pulang ke Indonesia, AD dan CM meminta hakim menetapkan pengesahan pernikahan tersebut.
"Menetapkan Surat Petikan Nomor 0249/KONS-SPP/VI/2022 tertanggal 9 Juni 2022 dari Kedutaan Besar Republik Indonesia Singapura, yang ditandatangani oleh Budi Kurniawan selaku Protokol dan Konsuler, adalah sah dan berlaku mengikat sebagai syarat pendaftaran atau pelaporan perkawinan Para Pemohon," sebut hakim tunggal Kamaruddin Simanjuntak.
Penetapan PN Tangerang itu berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 17, pasal 3 dan pasal 56 UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
"Menetapkan bahwa telah terjadi perkawinan beda agama Para Pemohon di Negara Republik Singapura dan telah dilaporkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia Singapura," tutur Kamaruddin Simanjuntak.
Alasan Permohonan Pengesahan Pernikahan
Pemohon mengajukan sejumlah alasan dalam permohonannya ke hakim. Sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, perbedaan kepercayaan atau perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan dan menjadi kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus.
Hal itu merujuk pada Penetapan PN Surakarta pada 21 Agustus 2013 yang menyebutkan:
Menimbang, bahwa dengan berdasarkan kepada Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang bebas;
Menimbang, bahwa demikian pula Pengadilan berpendapat bahwa perkawinan antar agama secara obyektif sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak geografis Indonesia, heterogenitas penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang- undang.
Penetapan PN Lubuk Linggau pada 27 Februari 2015 yang menyebutkan:
Menimbang, bahwa perkawinan beda agama tidak diatur secara tegas di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, akan tetapi keadaan tersebut adalah merupakan suatu kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama;
Menimbang, bahwa UUD 1945 Pasal 27 menentukan bahwa seluruh warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk melangsungkan perkawinan dengan sesama warga Negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29 UUD 1945 mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;
Menimbang, bahwa selain itu di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang;
Menimbang, bahwa terlepas dari adanya pro dan kontra dari berbagai pihak, pernikahan antar umat beragama ini haruslah dapat diterima sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka perkawinan antar umat beragama yang akan dilakukan pemohon dan akan dicatatkan ini merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia yang pluralistis.
Penetapan PN Surabaya tertanggal 26 April 2022 yang menyebutkan:
Menimbang, bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (f) undang-undang perkawinan dan merujuk pada ketentuan pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang administrasi kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutusnya.
Selain itu berdasarkan pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap Warga Negara untuk memeluk agamanya masing-masing.
(afb/afb)