Banyak Pungli, Ombudsman Minta Seleksi Kelas Akselerasi Diawasi Bobby Nasution

Banyak Pungli, Ombudsman Minta Seleksi Kelas Akselerasi Diawasi Bobby Nasution

Datuk Haris Molana - detikSumut
Minggu, 29 Mei 2022 15:33 WIB
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar (Foto: Ahmad Arfah/detikcom)
Medan -

Ombudsman RI Perwakilan Sumut meminta Wali Kota Medan Bobby Nasution mengawasi penyelenggaraan program pendidikan khusus akselerasi (percepatan) bagi peserta didik yang memiliki potensi Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa (CI-BI).

Pengawasan itu diminta lantaran adanya keluhan masyarakat terkait dugaan pungutan liar (pungli) dalam proses rekrutmen calon siswa-siswi yang akan ikut dalam program kelas akselerasi tersebut.

"Pengawasan langsung dari Pak Wali Kota ini sangat penting. Sebab, ada orangtua siswa yang mengeluhkan besarnya biaya yang harus disiapkan siswa untuk mengikuti seleksi Program Kelas Akselerasi tersebut," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Abyadi mengungkapkan, pihaknya menerima konsultasi dari masyarakat terkait adanya satuan pendidikan dasar di Kota Medan membuka Program Kelas Akselerasi bagi para siswa yang memiliki potensi CI-BI. Kemudian, masyarakat pun mengeluh tentang biaya pendaftarannya.

"Yang menjadi persoalan yang dikeluhkan masyarakat, orangtua siswa adalah biaya pendaftaran seleksi program kelas akselerasi tersebut yang dinilai terlalu mahal," sebut Abyadi.

ADVERTISEMENT

Menurut keterangan orangtua siswa, kata Abyadi, sekolah negeri tersebut mematok biaya sebesar Rp800 ribu untuk seleksi Program Kelas Akselesasi. Jumlah itu diperuntukkan untuk tes psikologi sebesar Rp300 ribu dan membayar tes STIFIn sebesar Rp500 ribu.

STIFIn adalah singkatan dari Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling and Insting. Ini merupakan sebuah konsep untuk mengindentifikasi kecerdasan manusia berdasarkan sistem operasi otak yang dominan dan dapat diketahui dengan memindai sidik jari.

Menurut orangtua siswa, biaya ini terlalu memberatkan di tengah situasi ekonomi sekarang. Padahal, bila dibanding di sekolah swasta, biaya ini terlalu mahal. Karena di sekolah swasta yang juga menerapkan program akselerasi, menurut orangtua siswa, biaya pendaftarannya hanya Rp150 ribu sampai Rp 200 ribu. Karena itu, kata Abyadi, orangtua siswa itu memohon agar Ombudsman RI Perwakilan Sumut menindaklanjuti masalah ini.

Abyadi menyarankan agar proses seleksi untuk masuk dalam program pendidikan akselerasi ini, merujuk pada PP No 17 tahun 2010. Di pasal 135 ayat (3) yang menyebutkan, bahwa program percepatan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi CI-BI, dilakukan dengan persyaratan tes psikologi untuk mengukur bakat istimewa yang dimiliki calon siswa.

Selain itu, Abyadi juga membeberkan ada beberapa alasan sehingga meminta Bobby Nasution mengawasi langsung penyelenggaraan program ini di Kota Medan. Selain terkait tingginya biaya seleksi, juga akibat pernah adanya wacana untuk menghapus program pendidikan akselerasi.

Wacana penghapusan itu dilontarkan Dirjen Pendidikan Menengah (Dikmen) Kemendikbud Achmad Jazidie pada 2014. Dirjen Dikmen menjelaskan, bagi siswa yang memiliki potensi CI-BI, dapat mempercepat masa studi dengan mengikuti Sistem Kredit Semester (SKS), sebagaimana diatur dalam pasal 135 ayatr (4) PP No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Achmad Jazidie mengurai, ada dua alasan penutupan kelas tersebut. Pertama siswa CI-BI diharapkan dapat memberi manfaat kepada teman sekelasnya karena tidak berada di kelas eksklusif atau terpisah. Kedua, dengan SKS, tidak menutup kemungkinan mereka dapat mempercepat waktu belajar.

Sehubungan dengan itu, Abyadi mengingatkan agar Pemko Medan jangan sampai menyelenggarakan program pendidikan yang justru sudah dihapus oleh pemerintah. Terlebih dengan menerapkan biaya yang memberatkan masyarakat. "Saya kira, ini penting menjadi perhatian serius Pak Wali Kota," sebut Abyadi.

Abyadi menyarankan, agar tes seleksi masuk program akselerasi itu diserahkan kepada rumah sakit pemerintah. Kemudian, tidak perlu ada tes STIFIn. Dengan demikian, diharapkan biayanya akan bisa terjangkau orangtua siswa.




(dhm/dpw)


Hide Ads