Sebelum agama Islam masuk di Sinjai, masyarakatnya telah memegang budaya lokal seperti pada pelaksanaan upacara mappatto-anging arajang, mattuppa anak mappalejja tana, mapparape' tau malasa, mapparape tau pole, ma'jama tana, pagelaran kesenian genrang jong dan elong ugi, ma'rimpa solo dan mattula bala, mappanre tasi, ma'paduppa hassele, mangoloe hotting dan mappabotting.
Mappabotting yang di dalamnya ditemukan serangkaian prosesi perkawinan, merupakan budaya lokal masyarakat Sinjai yang memiliki perbedaan dengan daerah-daerah lain. Budaya tersebut merupakan adat istiadat yang diatur dalam sistem pangngadereng. Ini dapat dilihat mulai dari tahap mammanu'manu, madduta, mappetuada, mappaccing, tudangbotting dan marola, yang menarik untuk diteliti secara mendalam.
Masyarakat pada umumnya, termasuk masyarakat Bugis Sinjai memiliki budaya lokal berupa adat istiadat yang terus berkembang dengan budaya lain, dan ajaran Islam dalam bentuk asimilasi. Hal ini terwariskan sejak masa lampau sampai sekarang secara turun temurun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi masyarakat Sinjai, perkawinan merupakan salah satu upacara yang sakral dalam kehidupannya. Karena bagi mereka perkawinan yang diinginkan hanya terjadi sekali seumur hidup, maka dari itu pelaksanaannya pun tidaklah mudah.
Wujud dari suatu perkawinan pada masyarakat Sinjai, adalah suatu penyatuan dua buah keluarga secara utuh. Perkawinan dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dan merekatkan keluarga yang renggang. Keluarga yang jaraknya sudah mulai menjauh didekatkan kembali dalam perkawinan.
Proses islamisasi di Sinjai yang melahirkan asimilasi budaya bermula sejak diterimanya Islam sebagai agama pada abad ke-17. Budaya Islam yang telah merambah wilayah Sinjai saat itu, berasimilasi dengan budaya lokal berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat setempat yang relevan dengan tata nilai pangngadereng masyarakat.
Kedatangan Islam dan penyebarannya khususnya di kalangan masyarakat Sinjai dianggap berhasil karena adanya kesesuaian budaya dan adat istiadat masyarakat yang disebut dengan pangngadereng itu. Islam yang didakwahkan di Sinjai bukan dengan tujuan untuk merombak pranata sosial yang ada, tetapi diupayakan adanya asimilasi, dan dengan tetap menghormati pranata lama yang telah ada sebelumnya yang kemudian menjadi unsur sarak yang telah berkembang sampai saat ini
Unsur sarak tersebut berasimilasi pula ke dalam konsep perkawinan Bugis Sinjai, yakni siala-siabbeneng yang secara resmi melalui akad dan dalam budaya lokal mereka lazimnya berlangsung antar keluarga dekat tujuan mappasideppe mabelae. Perkawinan ideal perspektif budaya lokal Sinjai adalah dengan menjodohkan seorang laki-laki atau perempuan pada lingkungan keluarganya, yakni siala massapposeng, massappokadua, dan massappokatellu.
Selain perkawinan ideal, ada pula perkawinan yang tidak terpuji, seperti kawin lari yang terdiri atas tiga kategori yakni silariang, rilariang, dan elok rude. Untuk masa sekarang budaya lokal seperti yang disebutkan mulai terkikis, karena pranata sosial telah berubah yang dulunya menganut adat ketat sekarang ini, sudah longgar.
Dulunya konsekuensi perkawinan yang tidak berdasarkan adat mendapatkan sanksi berat, sekarang menjadi ringan, bahkan dalam kasus tertentu sanksi tidak diberlakukan lagi.
Kesimpulan di atas memberi pemahaman bahwa ideal tidaknya suatu perkawinan ditinjau dari segi budaya Islam, ditemukan suatu penilaian yang umum bahwa orang yang telah kawin dianggap mempunyai kedudukan yang lebih dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak kawin secara baik berdasarkan hukum adat dan tradisi yang berlaku secara lokal. Prosesi perkawinan dalam budaya lokal masyarakat Bugis Sinjai secara berurutan dimulai dari acara mammanu'manu', madduta, mappetuada, mappacci, tudangbotting, dan marola.
Mammanu'manu' disamakan dengan mappesepese, yakni proses penyelidikan hal ihwal seorang gadis yang ingin dipinang secara diam-diam, dilakukan dengan rahasia sekali tidak diketahui siapapun terutama gadis yang akan dipinang, sehingga ada beberapa kisah gadis di kalangan masyarakat Sinjai di masa lalu baru sadar bahwa mereka akan menikah tatkala melihat persiapan pernikahan sudah berlangsung.
Madduta disamakan dengan massuro, yakni meminang, pinangan itu diterima atau tidak, kalau diterima pihak keluarga laki-laki datang membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perkawinan utamanya mahar, uang belanja yang disebut dui menre' atau mappenre balanca.
Bila pada proses mammanu'manu sebelumnya diawali secara rahasia dan sembunyi-sembunyi, maka untuk proses madduta ini diadakan dengan acara mallino, yakni terang-terangan mengatakan sesuatu yang tersembunyi.
Mappetuada, yakni menetapkan keputusan, biasanya dirangkai-kan dengan mappasierekeng yakni menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan yang telah dibicarakan bersama pada proses madduta.
Pada acara ini, disepakati jumlah mahar dan sompa, penyerahan pattenre ada' atau passio, administrasi nikah, bosara, penentuan hari H perkawinan, dan segala keputusan yang ditetapkan tertuang secara tertulis yang ditandatangani oleh keluarga kedua belah pihak.
Mappacci, yakni proses pembersihan bagi calon pengantin secara lahiriah dan batiniah, sehingga dalam acara ini meliputi beberapa rangkaian seperti cemme hotting, mappanretemme, tudangpenni dan bagi masyarakat Sinjai yang memegang tradisi dilaksanakan pula pembacaan kitab barazanji.
Tudangbotting, yakni upacara perkawinan, yang sebelumnya dirangkai beberapa acara penting yaitu hotting, mappenre hotting, mengucapkan akad nikah, dan berlanjut ke mappasikariya hotting, selanjutnya pengantin dengan pakaian adatnya duduk di pelaminan menerima tamu. Marola atau mapparola, yakni kunjungan balasan dari pihak mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki. Ini adalah rangkaian terakhir dari prosesi perkawinan, yang walaupun dalam kenyataannya secara nonformal masih ada kegiatan sesudahnya seperti mallukka, ziarah kubur.
Asimilasi budaya lokal dalam perkawinan bugis terhadap ajaran Islam di Sinjai, disebut sebagai asimilasi kultural spiritual karena ditemukannya perpaduan antara budaya lokal dengan budaya yang berkembang sekarang di dalamnya mengandung nilai-nilai agama yang sakral.
Asimilasi kultural, terutama dalam hal penentuan jodoh yang sesuai kelas strata sosial masyarakat seperti bangsawan dengan bangsawan diatur secara ketat, mereka berpegang teguh pada bagian pangngaderreng yang disebut adek pakkalabineang yang mengatur sistem perkawinan berdasarkan aturan warik yang berlaku dalam hal penentuan jodoh.
Sumber: M. Dahlan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar Jalan Sultan Alauddin Nomor 36 Samata Gowa.
Andi Dewi Angriani, S.sos, MSi, Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai
(akn/ega)