Pasangan calon (paslon) Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto-Azhar Arsyad sempat mengayuh becak saat mendaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur di KPU Sulsel. Aksi mengayuh becak pasangan Danny-Azhar itu dinilai sebagai strategi nyentrik dalam Pilgub Sulsel 2024.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Ibnu Hadjar Yusuf menyebut Danny berupaya menonjolkan identitasnya sebagai sosok merakyat. Menurutnya, strategi itu menyatukan energi rakyat.
"Sebagai seorang 'anak lorong' yang tumbuh dari lingkungan masyarakat biasa, Danny Pomanto berusaha mencerminkan kehidupan dan aspirasi rakyat yang sering kali kurang terwakili dalam politik," ujar Ibnu Hadjar dalam keterangannya, Sabtu (31/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ibnu Hadjar menjelaskan becak bukan sekadar alat transportasi. Becak juga menjadi simbol keinginan Danny untuk selalu berada di tengah-tengah rakyat.
"Warna oranye yang dia kenakan dalam kampanye juga memiliki makna yang mendalam, yaitu keberanian, semangat juang, dan tekad untuk menghadapi setiap tantangan," katanya.
Lebih lanjut, Ibnu menuturkan deklarasi Danny-Azhar menjadi nuansa baru dalam politik Sulsel. Menurutnya, dalam perspektif sosiologi politik, langkah ini dapat dilihat sebagai usaha untuk membangun solidaritas dan kepercayaan di antara masyarakat, yang merupakan elemen penting dalam teori mobilisasi politik.
"Dengan menciptakan identitas bersama dan menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat, Danny dan Azhar berupaya membangun dukungan yang berbasis pada kepercayaan dan kebersamaan, bukan hanya transaksi politik," tuturnya.
Ibnu kemudian mengaitkan pendekatan Danny Pomanto dengan teori Pierre Bourdieu tentang habitus dan arena sosial. Habitus Danny Pomanto, kata dia, yang terbentuk dari pengalamannya sebagai anak lorong, memengaruhi cara dia berperilaku dan berpolitik.
"Arena politik, menurut Bourdieu, adalah medan persaingan di mana berbagai aktor dengan kekuatan dan modal yang berbeda berusaha memperebutkan posisi dan kekuasaan," terangnya.
"Dalam arena ini, Danny Pomanto sering kali berhadapan dengan lawan-lawan yang memiliki modal ekonomi dan politik yang lebih besar. Namun, ketangguhannya dalam menghadapi para pesaing yang didukung kekuatan besar ini menunjukkan kemampuan adaptasi dan keberaniannya untuk tetap berdiri tegak meskipun di bawah tekanan," tambahnya.
Selain itu, lanjut Ibnu, pendekatan Danny Pomanto juga mencerminkan elemen dalam teori konflik kelas dari Karl Marx, yang terdapat pertarungan antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat. Menurutnya, Danny Pomanto menempatkan dirinya sebagai representasi dari 'kelas rakyat' yang berhadapan dengan 'kelas elite' yang didukung kekuatan modal besar.
"Ini adalah gambaran dari perjuangan untuk memperoleh legitimasi dan dukungan dari rakyat melalui upaya menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari mereka dan siap berjuang untuk kepentingan bersama," jelasnya.
Ibnu menuturkan bahwa dengan pendekatan yang lebih berfokus pada rakyat dan upaya untuk membangun dukungan melalui solidaritas dan kepercayaan, Danny Pomanto menawarkan alternatif di tengah politik yang sering kali didominasi oleh kekuatan besar.
"Deklarasi dan kampanyenya tidak hanya sekadar ajang politik, tetapi juga upaya membangun kembali hubungan antara masyarakat dan pemimpinnya berdasarkan prinsip-prinsip inklusifitas, partisipasi, dan keadilan sosial," ucapnya.
(hmw/sar)