Pengadilan Negeri (PN) Makassar menggelar sidang gugatan praperadilan yang diajukan Irman Yasin Limpo (IYL) dan A. Pahlevi sebagai tersangka kasus dugaan penipuan senilai Rp 50 miliar. Saksi ahli dari pemohon dan saksi ahli dari Polda Sulsel sebagai termohon terlibat debat alot terkait Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Pemohon sendiri menghadirkan Prof. Hardianto sebagai saksi ahli, sementara termohon menghadirkan Prof. Said Karim di ruangan Harifin Tumpa, PN Makassar, Senin (21/12/2025). Dalam persidangan, pihak termohon lebih dulu mengajukan pertanyaan mengenai kewajiban penyidik dalam menyampaikan SPDP kepada Prof. Said Karim.
"Apakah ketika penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan, penyidik wajib menerbitkan SPDP, kepada siapa SPDP tersebut disampaikan, dan dalam jangka waktu berapa lama?" tanya kuasa hukum termohon.
Ahli kemudian menjawab bahwa kewajiban penyampaian SPDP telah diatur dalam Pasal 109 ayat 1 KUHAP dan diperluas melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Berdasarkan Pasal 109 ayat 1 KUHAP, dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum," ujar Said Karim.
Ia menambahkan bahwa berdasarkan putusan MK, penyidik wajib menyampaikan SPDP dalam jangka waktu paling lambat tujuh hari sejak diterbitkan. Namun menurutnya, mekanisme penyampaian kepada terlapor tidak diatur secara jelas.
"Hanya saja dalam putusan MK Nomor 130 tidak ada penjelasan pasti atau resmi bagaimana cara penyidik menyampaikan SPDP kepada terlapor. Apakah harus disampaikan secara langsung kepada masing-masing pihak terkait ataukah cukup disampaikan oleh penyidik ke kejaksaan," jelasnya.
Saat ditanya mengenai kemungkinan SPDP hanya disampaikan dalam bentuk tembusan kepada terlapor dalam tenggat tujuh hari, Said Karim menilai hal tersebut berkaitan dengan ketidakjelasan norma dalam putusan MK.
"Saya sudah menjawab tadi, ini karena ketidakjelasan putusan konstitusi," kata Said Karim.
Sementara itu, ahli yang dihadirkan pemohon, Prof. Hardianto, menyampaikan pandangan berbeda. Ia menegaskan bahwa pemberitahuan SPDP harus disampaikan langsung kepada pihak terkait, termasuk terlapor.
"Harus diberikan langsung. Ini bukan hanya syarat administrasi, tapi syarat dari undang-undang. Penyidik menyampaikan langsung dan diterima," kata Hardianto.
Menurut Hardianto, jika SPDP hanya disampaikan sebagai tembusan, maka tindakan tersebut tidak sesuai dengan amanat MK. Hardianto juga menilai apabila SPDP hanya disampaikan sebagai tembusan, maka akibat hukumnya tidak sekadar cacat prosedural.
"Kalau sifatnya hanya tembusan, itu tidak sesuai amanat. Karena tembusan itu sifatnya yang penting ada, bukan disampaikan langsung," ujarnya.
"Bukan hanya cacat prosedural, tapi juga melanggar hukum dan melanggar amanat putusan Mahkamah Konstitusi," sambung Hardianto.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai dampak pelanggaran tersebut terhadap proses penyidikan, Hardianto menyebutkan bahwa seluruh tahapan dapat dipersoalkan secara hukum.
"Seluruh tahapan dapat dikatakan cacat prosedural," ujarnya.
Selain keterangan ahli, persidangan juga menghadirkan saksi dari masing-masing pihak terkait SPDP. Saksi pemohon, Asbibah, yang merupakan asisten rumah tangga IYL, mengaku sempat menerima sebuah surat.
"(Suratnya) tidak dibuka, saya terima paket dan dibilang (suratnya) dari Polda," kata Asbibah.
Sementara itu, saksi termohon, Syahwan dan Muh Yusril, yang merupakan penyidik pembantu, menyatakan SPDP telah diantarkan langsung kepada pihak terkait. Keduanya mengaku menyerahkan SPDP disertai bukti pengantaran.
"Untuk SPDP kami yang mengantar dan sudah diterima, kami buat tanda terima sekaligus dokumentasi," ungkap Syahwan.
Sebagai informasi, majelis hakim kemudian memeriksa bukti tanda terima yang diajukan termohon. Sidang praperadilan ini masih akan berlanjut dengan agenda pembacaan kesimpulan besok, Selasa (23/12).
Simak Video "Video: Demo Mahasiswa Papua di Makassar Ricuh, Massa Coba Tembus Barikade"
(hmw/hsr)