KPAI Sesalkan Siswa SMP Dihukum Squat Jump 100 Kali Berujung Meninggal

KPAI Sesalkan Siswa SMP Dihukum Squat Jump 100 Kali Berujung Meninggal

Tim detikNews - detikSulsel
Rabu, 02 Okt 2024 14:30 WIB
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra. (Rachma/detikcom)
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra. Foto: (Rachma/detikcom)
Jakarta -

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Jasra Putra menyesalkan insiden meninggalnya Rindu Syahputra Sinaga (14), siswa SMP di Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), usai dihukum squat jump 100 kali oleh gurunya. Menurutnya, hukuman itu tidak relevan dengan mata pelajaran yang diajarkan.

Melansir detikNews, Rabu (2/10/2024), Jasra awalnya mengatakan peristiwa meninggalnya Rindu di SMPN 1 Deli Serdang itu sangat memilukan. Dia menyinggung kejadian itu terjadi di ruang kelas dan akses kesehatan yang minim sehingga korban tidak tertolong.

"Peristiwa Ananda 14 tahun di SMPN 1 di Deli Serdang sangat memilukan kita semua. Apalagi terjadi di dalam ruang kelas TKP-nya yang berujung anak mengalami trauma sakit di sekujur tubuh, dengan akses penanganan kesehatan yang minim, sehingga demam yang tidak tertangani cepat, menyebabkan Ananda meninggal," ucap Jasra Putra kepada wartawan, Selasa (1/10).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jasra mengungkapkan hukuman squat jump 100 kali yang dilakukan di dalam kelas akan menjadi preseden buruk bagi siswa lainnya. Dia mengatakan, kasus ini mesti dilakukan pemulihan bersama.

Diketahui, hukuman tersebut didapat karena tidak mengerjakan tugas hafalan agama. Sehingga, kata dia, pelajaran agama itu diterapkan dalam ruang yang amat sempit.

ADVERTISEMENT

"Apalagi penyebabnya karena tidak bisa mengerjakan tugas hafalan agama. Serasa agama diterapkan dalam ruang yang amat sempit, apalagi maknanya hanya ditarik ke satu mata pelajaran. Pelajaran agama terasa begitu sesak sehingga tak ada ruang untuk mereka bernafas, bagi mereka yang tidak melakukannya," ujar Jasra.

Menurut Jasra, hukuman fisik yang berat untuk siswa dianggap akan menimbulkan trauma yang mendalam bagi siswa yang tidak terlatih. Hukuman yang berat ini tidak relevan hanya karena siswa tidak menyelesaikan tugas agama.

"Yang saya kira untuk anak kelas 1 SMP, yang tidak biasa dilatih fisik berat akan mengalami trauma yang tak berkesudahan, yang kita tahu risikonya seperti peristiwa ini bisa sampai risiko meninggal, akibat tidak menyelesaikan tugas agama," kata Jasra.

"Saya kira yang terjadi pada anak tidak bisa terlepas, apa yang terjadi di sekolah, apa yang terjadi di rumah, apa yang terjadi pada kepemahaman agama di lingkungannya dan apa respons soal agama yang terjadi di sekitar anak. Sehingga melumpuhkan perhatian yang lebih penting, atas apa yang diderita anak pasca 100 kali squat jump," tambahnya.

Lebih jauh, Jastra menegaskan jika hukuman kepada Rindu Syaputra tidak ada kaitannya atau tidak relevan dengan pelajaran agama. Dia menyebut hukuman yang diberikan berupa squat jump tidak bisa menjamin akan menimbulkan efek jera dan mempengaruhi kesadaran beragama.

"Bila kita mendengarkan berbagai kronologi yang disampaikan atas meninggalnya adik RSS, juga tidak relate hukuman tersebut, bahwa setelah hukuman itu, anak akan lebih beragama, atau dengan hukuman itu menimbulkan efek jera, sehingga tujuannya adalah kesadaran dalam beragama. Tapi apa yang terjadi dengan Ananda yang masih sangat belia 14 tahun ini, justru terbalik, yang harusnya diberi jalan keterampilan atau kemudahan dalam beragama. Justru mendapat risiko yang sangat jauh dari harapan menjadi cinta agama," paparnya.

Karena hukuman fisik itu, Jasra mengatakan korban merasa kesakitan. Dia turut menyayangkan fasilitas kesehatan yang diperoleh korban karena skrining yang dilakukan terbatas.

"Yang ada adalah kesakitan yang terus memburuk hingga kritis. Diiringi dengan persoalan fasilitas kesehatan yang memiliki skrining terbatas, sehingga menyebabkan kondisi yang terus memburuk, tidak ada perawatan intensif untuk korban, karena hanya pemeriksaan klinik dan diberi obat, dan ketika kritis, menjadi penanganan yang amat telat, sehingga rumah sakit tidak dapat berbuat banyak, hanya terkesan persoalan administrasi terbitnya surat kematian," sebut dia.

Jastra sangat menyayangkan kejadian ini. Menurutnya, hukuman harusnya disesuaikan dengan konteks mata pelajaran.

"Namun sekali lagi pertanyaan kita, apakah relate antara kesadaran agama dengan efek jera dengan hukuman tersebut, yang menjadi penderitaan sangat panjang untuk anak, ia harus menerima trauma dan sakit yang terus memburuk. Saya kira kalau ujungnya seperti ini, tentu kita semua sepakat sangat jauh dari cita-cita penanaman nilai-nilai yang ingin disampaikan agama," ucap dia.

"Korban bernama Rindu 14 tahun, seharusnya bisa menjadi momentum kerinduan kita semua, akan agama dapat hadir ramah kepada anak di sekolah. Meski oknum guru itu sudah dikeluarkan, namun apakah pelajaran agama yang diajarkan dengan kekerasan itu juga hilang? Ini jadi pertanyaan kita semua," imbuhnya.




(asm/hsr)

Hide Ads