Kejaksaan Negeri (Kejari) Jayapura menangkap terpidana kasus dugaan korupsi yang telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) berinisial YV. Kasus korupsi yang melibatkan YV merugikan negara sebesar Rp 2,2 miliar.
"Terpidana YV adalah salah satu pejabat yang mengendalikan kegiatan pembangunan bendungan," ujar Kasi Pidsus Kejari Jayapura Marvie De Queljoe dalam keterangannya, Kamis (11/1/2024).
Marvie mengungkap YV dibekuk di sebuah rumah makan di Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Rabu (10/1). YV sendiri telah dipantau selama 1 tahun sebelum akhirnya berhasil diciduk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terpidana dilakukan penangkapan tanpa adanya gangguan dan halangan. Terpidana langsung menuju ke klinik untuk pemeriksaan kesehatan, setelah pemeriksaan keluar kami menuju ke Lapas Abepura," ungkapnya.
Marvie menuturkan, sebelum ditangkap YV telah menjadi DPO sejak tahun 2018. Hal itu berdasarkan Surat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1786 K/Pid.sus/2018.
"Terpidana telah masuk dalam daftar pencarian orang sejak putusan dikeluarkan tahun 2018," tuturnya.
Dia menjelaskan, YV ditetapkan sebagai terpidana kasus korupsi pembangunan bendungan irigasi di Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi, tahun 2013. Selain YV, ada 5 terpidana lain berinisial YM, YI, DJ, OM, dan RS dalam kasus ini.
"Mereka melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan negara sebesar Rp 2,2 miliar," jelasnya.
Marvie menuturkan, kerugian negara tersebut berdasarkan perhitungan BPK RI Perwakilan Provinsi Papua No: 43/LHP/XIV.11/P/07/2013. Karena itu, 6 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
"Sehingga bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 3 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang pemberantasan korupsi," imbuhnya.
Akibat perbuatannya ini, YV dikenakan pidana penjara selama 4 tahun. Terpidana juga dikenakan denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti pidana selama 6 bulan.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta," pungkasnya.
(asm/hsr)