Kasus Pembunuhan Yosua Dianggap Bukan Pelanggaran HAM Berat

Berita Nasional

Kasus Pembunuhan Yosua Dianggap Bukan Pelanggaran HAM Berat

Tim detikNews - detikSulsel
Jumat, 26 Agu 2022 18:45 WIB
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik,
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Foto: Anggi/detikcom
Jakarta -

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai kasus tewasnya Yosua Hutabarat atau Brigadir J tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Dia mengatakan kasus itu hanya dapat dibawa ke pengadilan pidana.

"Ini kan bukan pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights) atau disebut sebagai state crimes. Jadi, meskipun tetap merupakan pelanggaran HAM, mestinya dibawa ke pengadilan pidana," kata Taufan seperti dilansir dari detikNews, Jumat (26/8/2022).

Kendati demikian Taufan memastikan kasus Brigadir J tetap terdapat pelanggaran HAM. Dia menyebut kasus itu termasuk ke dalam unlawful killing atau pembunuhan oleh aparat di luar hukum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iya (pelanggaran HAM biasa), tapi bisa serius nggak? (Pasal) 340 bahkan bisa dihukum mati, dulu unlawful killing itu bisa gitu, unlawful killing kejahatan pidana berat sebetulnya, tapi tidak masuk state crime. Walaupun ini aparatur negara, ini beberapa orang yang melanggar aturan saja," ujarnya.

Kasus tewasnya Brigadir J dengan kasus tewasnya laskar FPI di Km 50 Tol Cikampek kemudian disebut Taufan ada kesamaan. Keduanya bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

ADVERTISEMENT

"Ini sama juga, mengapa dulu kasus Km 50 tidak kami simpulkan sebagai kasus pelanggaran HAM yang berat. Karena tidak ditemukan unsur state crime di dalamnya. Karena itu, kami sebut unlawful killing," terangnya.

Sementara berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Taufan menjelaskan hanya pelanggaran HAM berat yang dapat dibawa ke pengadilan HAM ad hoc. Kasus pelanggaran HAM berat salah satu contohnya adalah kasus Paniai, Papua, dan kasus Aceh.

"Pelanggaran HAM berat itu bagian dari state crime kejahatan negara, jadi artinya institusi negara itu merancang, membuat kebijakan, satu operasi tertentu, kayak di Aceh, daerah operasi militer, itu kan satu operasi yang kemudian putuskan oleh negara," jelasnya.

"Kemudian dalam operasi itu terjadilah praktik-praktik pelanggaran hak asasi, misalnya apa? Penyiksaan, pemerkosaan, pengusiran, pembakaran rumah, dan lain-lain, itu terjadi di berbagai tempat sekian tahun. Jadi ada pattern, ada pola, serangan kepada masyarakat sipil, itu yang dinamakan pelanggaran HAM berat," sambungnya.

Seperti diketahui, pada Jumat (8/7), Brigadir J tewas di rumah dinas Ferdy Sambo, di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Brigadir J tewas dengan luka tembak di tubuhnya.

Bareskrim Polri telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus ini. Para tersangka adalah Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Irjen Ferdy Sambo, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf, dan istri Ferdy Sambo Putri Candrawathi.

Peran Bharada E adalah diperintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Selain memerintah, mantan Kadiv Propam itu diduga merekayasa kronologi kasus pembunuhan seolah-olah terjadi baku tembak antara Bharada E dan Brigadir J di rumah dinasnya.

Sementara itu, Bripka RR dan KM berperan ikut membantu dan menyaksikan penembakan Bharada E terhadap korban. Sedangkan peran Putri adalah mengikuti skenario awal yang telah dirancang Sambo.

Mereka dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP. Kelima tersangka terancam hukuman maksimal, yakni hukuman mati.




(asm/hmw)

Hide Ads