Sejarah Muhammadiyah Masuk Makassar 1926, Cabang Pertama di Luar Jawa-Sumatera

Milad ke-111 Muhammadiyah

Sejarah Muhammadiyah Masuk Makassar 1926, Cabang Pertama di Luar Jawa-Sumatera

Urwatul Wutsqaa - detikSulsel
Sabtu, 18 Nov 2023 13:50 WIB
Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulsel
Foto: Pusat Dakwah Muhammadiyah Sulsel (Foto: Instagram Muhammadiyah Sulsel)
Makassar -

Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi keislaman yang terbesar di Indonesia. Tepat di tanggal 18 November 2023 hari ini, Muhammadiyah genap berusia 111 tahun.

Organisasi keislaman ini Masuk ke Kota Makassar ditandai dengan berdirinya Muhammadiyah Cabang Makassar pada tanggal 2 Juli 1926. Muhammadiyah Cabang Makassar ini sekaligus menjadi cabang pertama Muhammadiyah yang ada di luar Jawa dan Sumatera.

Cabang pertama Muhammadiyah di Sulsel ini berhasil didirikan berkat jasa Mansyur Yamani. Ia merupakan seorang pedagang batik keturunan Arab yang berasal dari Sumenep Madura dan Haji Abdullah, mantan pengurus Shirathal Mustaqim.(1)

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mulanya, Mansyur Yamani mengundang beberapa orang berkumpul di rumah H. Yusuf Dg. Mattiro di Batong (sekarang pangkalan Soekarno). Pertemuan pertama ini dihadiri oleh 15 orang.

Sebagai hasil musyawarah dalam pertemuan itu, disepakati mendirikan Muhammadiyah saat itu juga, pertemuan pada malam Ahad tanggal 15 Ramadhan 1346 H / 30 Maret 1926 M. Saat inilah dicatat sebagai momen historis berdirinya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan.

ADVERTISEMENT

Selanjutnya, disusun pengurus Muhammadiyah yang terdiri dari mereka yang bermusyawarah waktu itu, sebagai berikut:

  1. Ketua : H. Yusuf Dg. Mattirodan
  2. Wakil Ketua : K.H. Abdullah.
  3. Sekretaris I : H. Nuruddin Dg. Magassing
  4. Sekretaris II : Daeng Mandja
  5. Bendahara : H. Yahya.

Pembantu-pembantu

  • Mansyur Al Yamani,
  • H. A. Sewang Dg. Muntu,
  • G. M. Saleh,
  • H. Abd. Karim Dg. Tunru,
  • Osman Tuwe,
  • Daeng Minggu dan
  • Abd. Rahman.

Pada malam itu juga, para pengurus menulis surat pemberitahuan yang ditujukan kepada PP Muhammadiyah di Yogyakarta. Kurang lebih 15 hari, datang surat balasan pengakuan Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) atas berdirinya dengan istilah "Grup Muhammadiyah Makassar".

Pada akhir tahun 1926, "Grup Muhammadiyah Makassar" disahkan menjadi "Cabang Muhammadiyah Makassar". K.H. Abdullah dan Mansyur Al Yamani menjadi dua tokoh yang selanjutnya memimpin penyebaran gerakan Muhammadiyah di Sulsel.

Awal tahun 1927, gerakan Muhammadiyah mulai menyebar ke berbagai daerah di Sulsel. Berturut-turut daerah yang menerima Muhammadiyah: Pangkajene-Maros, Sengkang, Bantaeng, Labbakang, Belawa, Majene, Balangnipa Mandar.

Pada tahun 1928 Muhammadiyah semakin menyebar ke daerah-daerah lainnya di Sulsel. Wilayah tersebut mencakup Rappang, Pinrang, Palopo, Kajang, Maros, Soppeng Riaja, Takkalasi, Lampoko, Ele (Tanete), Takkalala dan Balangnipa Sinjai.(2)

Di tahun 1937, Muhammadiyah di Sulsel telah memiliki 6 cabang dan 66 grup. Jumlah tersebut meningkat tiga kali lebih banyak dibandingkan tahun 1932.

Pada akhir tahun 1941, jumlah anggota Muhammadiyah di Sulsel mencapai 6.000 orang, dan 2.000 orang di antaranya adalah wanita. Pada masa itu, Muhammadiyah juga memiliki organisasi kepanduan Hizbul Wathan yang beranggotakan 1.000 orang.

Muhammadiyah bisa dibilang berkembang dengan sangat cepat di Sulsel. Sebelum Muhammadiyah hadir di Sulsel, pada awal abad ke-20 beberapa organisasi Islam modernis seperti gerakan Al-Jam'iyatul Mardhiyah, Sarekat Islam dan Ash-Shiratal Mustaqim sudah masuk lebih dulu. Namun ketiga organisasi ini tidak dapat berkembang dengan baik di Sulsel.

Meskipun sedikit terlambat masuk ke wilayah Sulsel, namun Muhammadiyah mampu menarik perhatian kaum pedagang, kaum ulama dan kaum bangsawan, bahkan sebagian orang keturunan Arab untuk menjadi kadernya. Berkat mereka, Muhammadiyah yang pada awalnya hanya ada di kota Makassar mampu berkembang ke berbagai kota di pedalaman Sulsel.(1)

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah

Muhammadiyah berdiri pada 18 November 1912, bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriah di Kauman, Yogyakarta. Berdirinya Muhammadiyah diprakarsai oleh KH Ahmad Dahlan seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaharu.

Secara bahasa, kata "Muhammadiyah" berarti "pengikut Nabi Muhammad". Penggunaan kata "Muhammadiyah" dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad.(3)

Hal tersebut sejalan dengan tujuan didirikannya Muhammadiyah yang berangkat dari keinginan sejumlah kalangan masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam.

Kala itu masyarakat Islam di Indonesia terbagi menjadi dua gerakan, yaitu gerakan Islam politik dan gerakan Islam sosial keagamaan. Muhammadiyah saat itu memilih wilayah sosial keagamaan sebagai wilayah gerakannya, sedangkan Sarekat Islam memilih wilayah yang berbeda yaitu politik.

Muhammadiyah Mempelopori Gerakan Tajdid

Lahirnya Muhammadiyah di tanah air mempelopori gerakan pembaharuan (tajdid). Muhammadiyah hadir untuk memberantas kehidupan umat Islam sangat dipengaruhi oleh tahayul, bid'ah, dan khurafat yang jauh dari konsep Islam yang sebenarnya.

Muhammadiyah berkeyakinan bahwa kemajuan umat Islam hanya bisa dicapai apabila umat Islam betul-betul mengamalkan ajaran Islam yang murni, yaitu ajaran Islam yang bersumberkan pada Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah yang shahih.

Sejak berdirinya, Muhammadiyah terus berupaya menyebarkan pikiran-pikirannya sebagai gerakan pembaharu dengan berbagai cara. Muhammadiyah kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh-tabligh untuk dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid, menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat surat kabar dan majalah-majalah.(1)



Referensi:

1. Jurnal Universitas Khairun Ternate "Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942"
2. Laman resmi Muhammadiyah Sulsel
3. Laman resmi PP Muhammadiyah




(urw/nvl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads