Daeng dan andi seringkali diartikan sebagai gelar bangsawan masyarakat Suku Bugis-Makassar yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel). Namun, salah satu dari sebutan itu ternyata bukanlah gelar bangsawan.
Gelar bangsawan bagi suku Bugis-Makassar merupakan penggolongan berdasarkan tingkat strata sosial dalam masyarakat. Gelar yang diberikan tidak sembarangan karena harus berdasarkan silsilah keturunan. Nah simak berikut penjelasannya.
Budayawan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Firman Saleh mengatakan pembedaan gelar bangsawan bagi masyarakat Bugis-Makassar pertama kali terjadi dilakukan oleh penjajah Belanda. Mereka masuk ke Sulsel untuk memecah masyarakat Suku Bugis-Makassar dengan memberikan masing-masing gelar bangsawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belanda saat itu menentukan bahwa 'andi' merupakan gelar bangsawan untuk masyarakat Suku Bugis. Sedangkan karaeng merupakan gelar yang sudah ada sebelum Belanda datang.
"Nanti masuk Belanda baru masuk gelar andi dari Belanda, sedangkan karaeng sudah ada sebelum Belanda masuk," ujar Firman kepada detikSulsel, Selasa (9/5/2023).
Selain gelar andi dan karaeng, masyarakat Bugis-Makassar juga mengenal sapaan daeng. Tapi masyarakat Bugis dan Makassar memiliki pemaknaan yang berbeda untuk sapaan daeng.
Menurut Firman, meskipun daeng lebih identik dengan masyarakat suku Makassar, panggilan ini juga digunakan masyarakat suku Bugis.
"Daeng itu identik dengan Makassar. Meskipun daeng juga digunakan oleh masyarakat Bugis dengan makna yang berbeda," jelas Firman.
Ia menjelaskan, makna panggilan daeng bagi masyarakat suku Bugis bukanlah gelar bangsawan. Melainkan digunakan untuk sapaan kepada kakak.
"Kalau di Bugis, daeng itu artinya kakak. Kalau andi artinya adik," jelasnya.
Daeng di Suku Makassar
Berbeda dengan suku Bugis, "daeng" di Suku Makassar merupakan salah satu gelar bangsawan. Mengutip dari jurnal Universitas Airlangga berjudul 'Makna daeng Dalam Kebudayaan Suku Makassar', disebutkan bahwa sebutan daeng dalam kebudayaan Suku Makassar dapat berupa gelar atau nama yang diberikan karena diperoleh melalui keturunan secara biologis.
Dalam jurnal tersebut, disebutkan bahwa penggunaan daeng secara historikal merupakan pemberian nama Islam oleh masyarakat suku Makassar. Nama daeng ini diberikan secara Islam kepada anak yang baru lahir sebagai bentuk doa atau pengharapan orangtua terhadap anaknya, serta dapat pula sebagai penghambaan nama Allah.
Panggilan daeng dapat juga dimaknai sebagai penanda wilayah anak tersebut dilahirkan. Hal ini dimaksudkan agar setiap anak yang dilahirkan dan diberi gelar daeng tidak lupa dengan tanah kelahirannya.
Namun seiring dengan perkembangannya, makna panggilan daeng dalam kebudayaan suku Makassar terus mengalami perluasan makna. Pada dekade 1920-an, panggilan daeng mengalami perluasan makna yang berorientasi ke atas (dari nama biasa menjadi gelar kebangsawanan).
Sementara itu, untuk saat ini pergeseran makna panggilan daeng justru mengalami degradasi makna. Dalam praktik sosial masyarakat khususnya di Kota Makassar, panggilan daeng ini kerap diperuntukkan bagi kalangan menengah ke bawah, seperti tukang becak, tukang sayur keliling, dan penarik bentor (becak motor).
Panggilan daeng sebagai sapaan bagi kalangan menengah ke bawah di Kota Makassar baru dipergunakan pada tahun 1990-an.
Salah satu faktor penggunaan panggilan daeng untuk menyapa para pedagang hingga sopir ini dikarenakan tidak adanya panggilan khusus bagi mereka. Sehingga panggilan daeng dinilai sebagai bentuk sapaan paling pas karena memiliki nilai kesopanan.
Selain itu, pergeseran makna daeng dalam kebudayaan masyarakat Kota Makassar juga merupakan suatu bentuk tata krama terhadap orang yang lebih tua. Panggilan daeng ini juga kerap digunakan sebagai sapaan kepada orang yang belum dikenali.
Sementara itu, Firman menyebut 'daeng' disamping gelar bangsawan juga nama diri atau sapaan kepada masyarakat Suku Makassar.
"Kalau Makassar, daeng itu adalah nama diri yang melekat pada gelar bangsawan," kata Firman.
(hsr/hsr)