Tantangan Bissu Bugis di Era Modern, Minim Generasi hingga Tekanan Penolakan

Tantangan Bissu Bugis di Era Modern, Minim Generasi hingga Tekanan Penolakan

Andi Nur Isman - detikSulsel
Rabu, 30 Mar 2022 08:15 WIB
Komunitas Bissu di Sulsel yang masih ada hingga saat ini. (dok. Istimewa)
Foto: Komunitas Bissu di Sulsel yang masih ada hingga saat ini. (dok. Istimewa)
Makassar -

Tantangan tokoh spiritual Bugis, Bissu di era modern kian berat. Mereka menghadapi kondisi minim generasi hingga tekanan penolakan dari sejumlah pihak.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Syamsurijal Ad'han menilai perkembangan zaman membuat posisi Bissu Bugis kini semakin berat. Mereka kian berada dalam masa-masa krisis karena sejumlah polemik yang muncul belakangan ini.

"Problemnya sekarang ini bagaimana mendorong generasi muda untuk tertarik menjadi bagian dari komunitas Bissu. Bagaimana misalnya tertarik untuk makkanre guru (belajar) dan seterusnya," ujar Rijal dalam diskusi publik bertajuk Senjakala Peran Bissu dalam Kebudayaan Bugis yang diselenggarakan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (Lapar) Sulsel, Selasa (29/3/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tantangan itu dinilai perlu segera mendapatkan solusi dan jalan keluar. Sebab keberadaan Bissu dianggap menjadi sebuah tradisi atau kultural yang harus dirawat. Sehingga ilmu-ilmu para Bissu tidak hilang begitu saja.

Namun Rijal mengatakan secara mistis atau spiritual ketertarikan seseorang untuk belajar mengenai Bissu adalah persoalan lain. Keputusan itu dikembalikan kepada masing-masing individu tanpa adanya paksaan.

ADVERTISEMENT

"Tapi untuk belajarnya itu, makkanre guru ikut magang di Bissu itu kita dorong kepada generasi-generasi muda kita," sambungnya.

Selain persoalan generasi, masalah lain yang dihadapi Bissu sampai saat ini adalah asumsi kesyirikan. Aktivitas mereka kerap dianggap bertentangan dengan keyakinan agama yang diakui di Indonesia sehingga membuat banyak orang tidak lagi tertarik untuk ikut.

"Problem pemusyrikan terhadap Bissu itu juga suatu masalah yang kita harus selesaikan. Secara kebudayaan juga untuk mengubah mindset masyarakat kita di Bugis yang tadinya misalnya mengapresiasi kebudayaan Bissu menjadi menolak," jelasnya.

Rijal mengungkapkan persoalan ini memang perlu diimbangi. Perlu ada gerakan bersama yang tidak hanya dilakukan oleh komunitas lokal seperti Bissu. Butuh keterlibatan pemerhati budaya dan pihak lainnya.

"Kelompok yang punya perhatian terhadap kebudayaan atau kelompok-kelompok keagamaan yang mengapresiasi soal budaya-budaya lokal masyarakat sebagai arena bersama kita, perlu untuk melakukan mendorong masyarakat bisa mengapresiasi kebudayaan lokal," sebutnya.

"Ini yang saya kira penting didorong oleh masyarakat kita. Diskursus semacam ini, agar kemudian masyarakat kita khususnya di mana tempat itu terdapat komunitas lokal semacam Bissu tidak mudah membenci kegiatan tersebut," sambungnya.

Dorong Perhatian Negara untuk Bissu

Rijal mengatakan keberadaan Bissu juga perlu mendapatkan perhatian negara. Komunitas lokal yang terkenal di Bugis ini mesti dilindungi hak-haknya termasuk secara adat dan kebudayaan.

"Itu adalah suatu peluang besar untuk mengakui hak-hak masyarakat lokal kita. Cuma kadang-kadang kebijakan-kebijakan yang didorong di tingkat pusat ini implementasinya di daerah yang tidak berjalan cukup bagus," ucapnya.

Pemberian hak tersebut bisa dilakukan dengan memberikan fungsi-fungsinya secara lebih independen. Negara bisa mengambil posisi yang tepat untuk tidak mencampuri kebudayaan masyarakat.

"Khususnya milik para komunitas Bissu yang ada di Bone dengan di Pangkep, mereka adalah pemilik dari kebudayaan itu. Nah karena itu mereka yang berhak untuk mempraktikkan dan mengekspresikan seluruh kebudayaan yang mereka miliki," paparnya.

"Pemerintah sampai di tingkat bawah itu penting berada di mereka dalam konteks melindungi hak-hak masyarakat adat ini," tambahnya.




(asm/nvl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads