Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat membekukan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan. Hal ini buntut Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok sampai mencapai level terendahnya 6.011,8.
Pembekuan sementara itu terjadi pada Selasa (18/3) pukul 11:19:31 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS). Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus mengatakan faktor yang membuat IHSG ambruk dikarenakan banyaknya sentimen negatif dari luar dan dalam negeri.
"Beberapa sentimen yang menjadi perhatian tensi geopolitik yang meningkat karena Putin mau perang lebih lama, pembalasan tarif (Presiden AS Donald Trump) yang lebih besar dari Uni Eropa. Kekhawatiran akan resesi di AS yang terus mengalami kenaikan," beber Nico dalam keterangannya seperti dikutip dari detikFinance, Selasa (18/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nico kemudian menyoroti kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang penerimaan pajaknya merosot sampai 30% dan defisit mencapai Rp 31,2 triliun dalam dua bulan pertama. Menurutnya, hal ini membuat pasar khawatir utang semakin melebar hingga memilih memindahkan investasinya dari Indonesia.
"Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia yang membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil sehingga saham menjadi tidak menarik dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham," ucapnya.
Ada Faktor Kebijakan Pemerintah
Senada, Ekonom Universitas Paramadina Jakarta Wijayanto Samirin menjelaskan bahwa penyebab IHSG ambruk juga karena banyak kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi yang jelas.
"(IHSG ambruk) akibat hasil APBN Februari yang buruk dan outlook fiskal yang berat di 2025. Kemudian akibat kebijakan pemerintah yang tidak realistis dan tanpa teknokrasi yang jelas," imbuhnya.
Banyaknya kasus mega korupsi di Indonesia juga membuat kepercayaan investor turun dan berdampak terhadap kinerja IHSG. Apalagi ditambah adanya protes besar-besaran terkait revisi UU TNI dan kekhawatiran bahwa credit rating Indonesia akan turun.
"Isu-isu baru itu membuat investor takut," pungkasnya.
(asm/ata)