Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi.
Ruang publik hari-hari ini kembali diramaikan oleh perdebatan seputar Universitas Hasanuddin (Unhas) dan figur Rektornya, Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc. Perdebatan tersebut dipicu oleh sejumlah rilis dan artikel yang mengklaim sedang menjalankan "fungsi kritik" terhadap kampus dan pimpinan universitas. Salah satu narasi yang mengemuka adalah gagasan bahwa "kampus bukan zona bebas kritik". Secara normatif, pernyataan ini benar. Kampus memang bukan ruang steril dari kritik. Namun, kebenaran normatif tidak otomatis membenarkan semua konten (isi) kritik yang beredar di ruang publik.
Di titik inilah, publik perlu berhenti sejenak dan membedakan antara kritik akademik yang sehat dengan framing opini yang berpotensi melampaui etika rasionalitas publik. Sebab kritik, jika dilepaskan dari disiplin berpikir dan standar akademik, dapat berubah menjadi alat simplifikasi, bahkan delegitimasi personal, yang justru bertentangan dengan semangat universitas itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kritik sebagai Tradisi Akademik, Bukan Instrumen Delegitimasi
Dalam tradisi akademik, kritik tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terikat pada tiga hal, yakni argumen, data, dan konteks. Kritik tanpa ketiganya bukan kritik akademik, melainkan opini bebas yang sah secara ekspresi, tetapi tidak dapat diklaim sebagai produk nalar ilmiah.
Kampus memang ruang dialektika. Namun dialektika menuntut simetri rasional, dalam hal ini simetri antara premis yang jelas, kesimpulan yang proporsional, dan kesediaan untuk diuji. Ketika kritik diproduksi melalui potongan-potongan informasi yang tidak utuh, lalu disusun menjadi narasi besar tentang "krisis kepemimpinan" atau "penyimpangan demokrasi", di situlah problem mulai muncul.
Universitas bukan lembaga yang kebal evaluasi. Tetapi ia juga bukan ruang bebas tafsir tanpa disiplin metodologis. Kritik terhadap kampus harus tetap tunduk pada kaidah fairness, verifiability, dan proportionality.
Konsekuensi Politik
Dari sudut pandang politik pengetahuan, framing yang berulang-ulang menempatkan kampus sebagai arena konflik personal (dengan aroma politik praktis pekat) memiliki dampak serius bagi tradisi akademik. Ketika ruang intelektual direduksi menjadi arena kecurigaan politik, maka yang tergerus bukan hanya reputasi individu, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
Universitas bekerja dengan logika jangka panjang, dalam hal ini reputasi ilmiah, akreditasi, jejaring riset, dan kepercayaan mitra internasional. Narasi yang terus-menerus menempatkan pimpinan kampus dalam pusaran tudingan tanpa penjelasan yang utuh berpotensi menciptakan iklim internal yang defensif, bukan reflektif.
Lebih jauh, praktik semacam ini mendorong lahirnya apa yang bisa disebut sebagai politics of suspicion (politik curiga-mencurigai tiada hentinya) di mana setiap keputusan institusional dibaca semata-mata sebagai manuver kekuasaan. Padahal, tata kelola universitas modern bekerja melalui sistem kolektif, yakni senat akademik, majelis wali amanat, regulasi kementerian, dan mekanisme audit internal.
Menyederhanakan kompleksitas ini menjadi personal bukan hanya keliru secara analitis, tetapi juga tidak sehat secara politik.
Konsekuensi Hukum
Di ruang publik yang semakin digital, kritik tidak lagi berhenti sebagai wacana. Ia meninggalkan jejak, direplikasi, dan berpotensi membentuk persepsi luas. Di sinilah aspek hukum menjadi relevan untuk diperhatikan, bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai rambu etika bersama.
Dalam sistem hukum, kritik terhadap pejabat publik dilindungi. Namun perlindungan tersebut mensyaratkan itikad baik, kepentingan publik yang jelas, serta basis faktual yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketika opini dibingkai sedemikian rupa sehingga menciptakan kesan bersalah sebelum proses hukum berjalan, maka wilayahnya menjadi problematis.
Yang perlu ditekankan adalah proses klarifikasi, audit, atau pemeriksaan administratif bukanlah vonis. Dalam negara hukum, setiap proses memiliki tahap, dan setiap tahap memiliki makna yang berbeda. Menyatukan semuanya dalam satu narasi tunggal tentang "krisis" atau "penyimpangan" adalah bentuk overgeneralization yang berisiko menyesatkan publik.
Kesalahan Berpikir dalam Framing yang Beredar
Ada beberapa kekeliruan berpikir (fallacies) yang tampak menonjol dalam framing yang beredar di ruang publik.
Pertama, post hoc ergo propter hoc, yakni mengasumsikan bahwa karena suatu peristiwa terjadi berdekatan, maka yang satu pasti menjadi sebab yang lain. Dalam tata kelola universitas, korelasi administratif tidak otomatis berarti kausalitas personal.
Kedua, hasty generalization, artinya menarik kesimpulan besar dari data yang terbatas atau tidak lengkap. Proses internal kampus yang kompleks sering kali direduksi menjadi satu atau dua potongan informasi yang kemudian digeneralisasi menjadi narasi menyeluruh.
Ketiga, false dichotomy, seolah publik hanya diberi dua pilihan, yakni menerima narasi kritik secara utuh atau dianggap anti-kritik. Padahal, posisi rasional justru berada di tengah, di mana saat yang sama kita menyimak kritik, sambil tetap menuntut ketelitian berpikir.
Keempat, appeal to suspicion, menggiring pembaca untuk curiga tanpa menyodorkan bukti yang dapat diuji. Ini mungkin efektif secara retoris, tetapi lemah secara akademis.
Prof JJ dan Prinsip Fair Assessment
Dalam konteks Prof Jamaluddin Jompa, penting ditegaskan bahwa ia adalah figur akademik dengan rekam jejak panjang dalam sains, lingkungan, dan kepemimpinan universitas. Kritik terhadap kebijakan atau gaya kepemimpinannya tentu sah. Namun menilai figur akademik semata-mata melalui narasi konflik tanpa menimbang capaian, sistem kolektif, dan mekanisme institusional adalah bentuk penilaian yang tidak adil.
Kita sebaiknya mampu untuk memisahkan antara kritik terhadap kebijakan dan delegitimasi personal. Yang pertama memperkuat institusi. Yang kedua justru melemahkannya.
Kampus bukan zona bebas kritik. Tetapi kampus juga bukan panggung bebas framing. Ia adalah ruang nalar, di mana kritik diuji bukan oleh kerasnya suara, melainkan oleh ketepatan argumen.
Jika kita benar-benar peduli pada demokrasi akademik, maka tugas kita bukan memperbanyak kecurigaan tanpa dasar, melainkan memperkuat mekanisme koreksi yang rasional. Bukan membakar reputasi, tetapi memastikan prosedur berjalan. Bukan menciptakan kegaduhan, tetapi membuka ruang klarifikasi.
Pada akhirnya, kritik yang paling bermartabat adalah kritik yang membuat institusi lebih kuat, bukan lebih rapuh.
Ruang publik Indonesia hari ini membutuhkan lebih banyak kritik yang jernih, bukan kritik yang gaduh. Kampus, sebagai benteng terakhir rasionalitas, harus dijaga dari reduksi wacana yang dangkal. Prof JJ, sebagai bagian dari institusi tersebut, layak dinilai secara adil, proporsional, dan berbasis fakta.
Kritik perlu, bahkan bisa menjadi nutrisi. Tetapi yang lebih mendesak adalah menjaga agar kritik tetap rasional. Di situlah demokrasi pengetahuan menemukan maknanya.
Oleh: Asratillah
Direktur Profetik Institute
(asm/ata)











































