Warga Pulau Gebe, Halmahera Tengah, berinisial YT (37), menyoroti perusahaan tambang nikel PT Karya Wijaya milik Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda, pernah menyebabkan pencemaran lingkungan. YT juga mengeluhkan ganti rugi tanaman atau tali asih yang rendah.
"Kalau dampak, yang sempat viral itu air laut keruh," ujar YT, salah satu warga desa di Kecamatan Pulau Gebe kepada detikcom, Senin (24/11/2025).
YT mengatakan peristiwa air laut keruh itu terjadi di perairan depan Desa Kapaleo dan Desa Elfanun, Kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Selasa (25/10) pukul 09.00 WIT. Warga menduga, sedimen pond atau kolam limbah milik perusahaan jebol sehingga mencemari laut.
"Kemungkinan mereka punya sedimen pond bocor itu. Waktu itu setelah hujan langsung terjadi tuh, air laut merah dan berangsur normal keesokan harinya," ujarnya.
Selain dampak lingkungan, warga juga menyoroti kebijakan perusahaan dalam melakukan ganti rugi tanaman yang disebut tali asih. Perusahaan hanya bersedia menyerahkan dana tali asih sebesar Rp 1.700.000 per orang.
"Jadi pembayaran lahan itu tidak ada, yang ada itu kompensasi ganti rugi tanaman tumbuh. Mereka hitung secara keseluruhan," ujar YT.
YT menjelaskan, area operasional PT Karya Wijaya saat ini sebelumnya adalah konsesi milik PT Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN) yang terdiri dari tiga blok. Lokasinya berdekatan dengan PT Smart Marsindo dan PT Mineral Trobos.
Tapi PT FBLN mulai berhenti beroperasi sejak 2017. Area tersebut kemudian dimanfaatkan oleh warga dari Desa Yam, Desa Mamin, dan Desa Sanaf Kacepo untuk berkebun hingga izin operasi produksi PT Karya Wijaya terbit pada 2020.
"Jadi setelah PT FBLN sudah tidak beroperasi, warga menanam di lokasi situ. Mereka tanam pala, kelapa, karena perusahaan sudah tidak operasi toh," ujarnya.
Namun, penyerahan tali asih baru berlaku untuk blok satu dengan jumlah penerima sebanyak 15 dari 56 orang pemilik tanaman. Sedangkan dua blok lainnya belum dilakukan ganti rugi tanaman karena perusahaan belum masuk beroperasi.
"Jadi dari 56 orang, baru 15 orang yang sudah dibayarkan tali asihnya. Total uang yang dikasih untuk 15 orang waktu itu sekitar Rp 34 juta, tapi pihak manajemen sendiri berinisiatif kasih tambahan per orang Rp 4.000.000," ujar YT.
Menurutnya, setiap perusahaan yang membayar tanaman warga harus mengacu pada surat keputusan (SK) Bupati Halmahera Tengah. Hitungannya sebesar Rp 75.000 per pohon.
"Jika mengikuti SK itu, maka PT Karya Wijaya setidaknya harus mengeluarkan uang sekitar Rp 10 miliar. Karena tanaman (milik warga) ini kan ada yang (jumlahnya) sampai 11.000-an tanaman," katanya.
"Tapi Karya Wijaya ini mereka berdalih bahwa di konsesi mereka itu masuk hutan lindung. Artinya, mereka mendapat izin dari pemerintah pusat. Makanya yang bisa mereka selesaikan itu digantikan dengan tali asih, bukan kompensasi," tambah YT.
Warga sempat berencana menggelar aksi protes pada 22 Mei 2025 atas kebijakan perusahaan tersebut. Namun, pihak perusahaan meminta jalur mediasi agar seluruh keinginan warga, terutama persoalan kompensasi, dapat diakomodir.
"Kami sempat buat penawaran satu pohon Rp 50.000 sampai Rp 30.000, tapi perusahaan tidak mau. Perusahaan kemudian menawarkan kita bermitra di bidang keagenan, TBM, dan suplayer barang atau distributor. Tapi sampai hari ini belum terealisasi," imbuh YT.
detikcom mengonfirmasi Gubernur Sherly Tjoanda terkait pengakuan warga. Namun, belum memberikan konfirmasi lebih lanjut.
Simak Video "Video: Sultan Tidore Zainal Abidin Syah Masuk Kandidat Pahlawan Nasional"
(hmw/sar)