- Kapan Malam Satu Suro 2025?
- Larangan Malam Satu Suro Larangan Keluar di Malam Hari Tidak Boleh Berbicara atau Berisik Tidak Boleh Menggelar Pesta atau Hajatan Dilarang Berkata Kasar atau Buruk Dilarang Pindahan atau Membangun Rumah Dilarang Berkonflik Tidak Melakukan Perjalanan Jauh Menjauhi Hal-hal Bersifat Duniawi
- Tradisi Malam Satu Suro Tradisi di Keraton Yogyakarta Mubeng Benteng dan Topo Bisu Jamasan Pusaka (Ngumbah Keris) Sedekah Laut Tradisi di Keraton Surakarta Kirab Pusaka Kasunanan Kirab Kebo Bule Tradisi di Pura Mangkunegaran Solo Kirab Pusaka Dalem Udik-udik dan Pembagian Nasi
Malam satu Suro dikenal sebagai malam sakral dalam budaya Jawa. Selain itu, malam ini juga dipercaya sarat akan makna dan beragam tradisinya.
Lantas, kapan malam satu Suro 2025?
Momen malam satu Suro menandai pergantian tahun Jawa. Setiap tahunnya, peringatan ini dirayakan dengan berbagai ritual khusus, serta menjaga sejumlah larangan yang diwariskan secara turun-temurun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak informasi lengkap seputar tanggal, pantangan, dan tradisi malam satu Suro 2025 berikut ini!
Kapan Malam Satu Suro 2025?
Berdasarkan Kalender Hijriah 2025 terbitan Kementerian Agama RI yang juga mencantumkan penanggalan Jawa, satu Suro jatuh pada Jumat, 27 Juni 2025. Namun dalam penanggalan Jawa pergantian hari terjadi pada waktu Magrib, sehingga malam satu Suro jatuh pada Kamis malam, 26 Juni 2025, tepatnya setelah waktu Magrib.
Malam ini juga bertepatan dengan Jumat Kliwon yang dianggap memiliki makna khusus dan istimewa dalam tradisi masyarakat Jawa. Berikut rincian tanggal 1 Suro 2025:
Tanggal Jawa: Jumat Kliwon, 1 Suro 1969 Dal
Tanggal Masehi: Kamis malam, 26 Juni 2025
Tanggal Hijriah: 1 Muharram 1447 H
Larangan Malam Satu Suro
Telah disebutkan bahwa malam 1 Suro dianggap sakral dalam tradisi Jawa. Di malam ini terdapat sejumlah pantangan atau larangan yang diyakini secara turun temurun.
Menyadur jurnal kajian bahasa dan sastra berjudul "Larangan Beserta Tradisi Malam satu Suro di Surakarta" dan jurnal Universitas Buddhi Dharma berjudul "Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo), berikut sejumlah larangan di malam satu Suro:
Larangan Keluar di Malam Hari
Pada malam satu Suro, masyarakat meyakini bahwa lebih baik tetap berada di rumah. Sebab, keluar rumah pada malam itu dipercaya bisa mendatangkan kesialan atau hal-hal buruk.
Tidak Boleh Berbicara atau Berisik
Sebagian masyarakat Jawa meyakini bahwa berbicara keras atau bersuara bising merupakan pantangan di malam satu Suro. Kepercayaan ini berkaitan erat dengan tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng yang berasal dari Keraton Yogyakarta.
Tapa Bisu Mubeng adalah ritual mengelilingi benteng keraton sejauh kurang lebih 4 km yang dilakukan pada malam satu Suro. Ritual ini diikuti oleh para abdi dalem serta masyarakat umum yang turut berjalan kaki mengelilingi benteng.
Selama prosesi berlangsung, tidak satupun peserta diperbolehkan mengeluarkan suara. Diam menjadi bagian penting dari ritual ini sebagai wujud perenungan dan evaluasi diri atas perjalanan hidup selama setahun terakhir.
Tidak Boleh Menggelar Pesta atau Hajatan
Pantangan menggelar pesta atau hajatan tidak hanya berlaku pada malam satu Suro, tetapi juga sepanjang bulan Suro. Masyarakat meyakini bahwa mengadakan hajatan di bulan ini dianggap kurang baik dan sebaiknya dihindari.
Hal ini karena bulan Suro dipandang sebagai waktu untuk menyepi, berdoa, dan melakukan perenungan, bukan untuk perayaan. Sebagian orang bahkan mempercayai bahwa menggelar pesta pernikahan atau sunatan di bulan Suro adalah pamali dan bisa mendatangkan bencana.
Dilarang Berkata Kasar atau Buruk
Pada malam satu Suro, seseorang diyakini harus menjaga lisannya dan berhati-hati dalam berbicara. Ucapan yang kasar atau buruk dipercaya bisa mengundang perhatian makhluk gaib.
Makhluk gaib tersebut disebut-sebut keluar pada malam itu untuk mencari manusia yang lengah dan tidak waspada. Karena itu, penting untuk menjaga perkataan saat malam satu Suro tiba.
Dilarang Pindahan atau Membangun Rumah
Pindahan atau membangun rumah pada malam satu Suro juga termasuk hal yang tidak diperbolehkan. Jika tetap dilakukan, masyarakat meyakini hal itu bisa membawa kesialan bagi orang yang melanggarnya.
Dilarang Berkonflik
Dalam tradisi Jawa, bulan Suro dipandang sebagai waktu yang sarat dengan nilai spiritual. Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk menjaga hubungan harmonis dengan sesama.
Pada malam tersebut, sebaiknya seseorang menghindari segala bentuk konflik, apapun pemicunya. Malam Suro juga menjadi momen yang tepat untuk melakukan refleksi dan menenangkan diri.
Tidak Melakukan Perjalanan Jauh
Sebagian orang meyakini bahwa bepergian jauh di bulan Suro dapat menimbulkan risiko besar. Salah satu contohnya adalah kecelakaan lalu lintas yang dipercaya bisa merenggut banyak korban jiwa.
Kepercayaan ini berkaitan dengan mitos bahwa di bulan Suro akan ada orang yang dijadikan tumbal. Pandangan tersebut telah lama hidup dan diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Jawa.
Menjauhi Hal-hal Bersifat Duniawi
Terakhir, selama bulan Suro, seseorang dianjurkan untuk menjauh dari hal-hal yang bersifat duniawi dan berlebihan. Bagi masyarakat Jawa, khususnya umat Muslim, bulan ini dipandang sebagai waktu yang tepat untuk berpuasa, bermeditasi, dan memperbanyak doa.
Kegiatan yang terlalu menonjolkan kesenangan duniawi dianggap tidak sejalan dengan nilai spiritual dan kesakralan bulan Suro. Meski pantangan ini tidak bersifat wajib, banyak yang tetap melaksanakannya sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi dan kepercayaan leluhur.
Tradisi Malam Satu Suro
Tidak hanya seputar larangan, malam 1 Suro juga erat dengan pelaksanaan sejumlah tradisi di masyarakat Jawa. Menukil Jurnal Universitas Buddhi Dharma berjudul "Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo), berikut ini sejumlah tradisi yang kerap dilakukan oleh Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo di tanah Jawa:
Tradisi di Keraton Yogyakarta
Mubeng Benteng dan Topo Bisu
Tradisi ini dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng keraton tanpa berbicara. Tujuannya sebagai bentuk tirakat dan pengendalian diri.
Peserta mengenakan pakaian tradisional Jawa dan tidak memakai alas kaki. Sepanjang prosesi, mereka membawa tasbih dan berdoa dalam hening.
Jamasan Pusaka (Ngumbah Keris)
Keraton Yogyakarta juga menggelar ritual membersihkan pusaka seperti keris, kereta, gamelan, dan manuskrip. Tradisi ini bertujuan untuk merawat warisan leluhur.
Secara spiritual, jamasan pusaka menjadi penanda masuknya bulan Suro. Masyarakat memaknainya sebagai momen penghormatan terhadap benda-benda pusaka.
Sedekah Laut
Tradisi Sedekah Laut digelar oleh masyarakat pesisir Gunungkidul seperti di Pantai Baron dan Pantai Kukup. Ritual dimulai dengan kenduri yang diikuti oleh para nelayan dan warga sekitar.
Setelah kenduri, makanan dan hasil bumi dalam bentuk gunungan dibawa ke tepi pantai. Sesepuh desa memimpin doa lalu empat gunungan dinaikkan ke perahu dan dihanyutkan ke laut.
Tradisi di Keraton Surakarta
Kirab Pusaka Kasunanan
Keraton Surakarta menyelenggarakan kirab pusaka setiap malam satu Suro. Kirab ini biasanya dipimpin langsung oleh Raja Pakubuwana yang memerintah.
Selama prosesi berlangsung, seluruh abdi dalem dan masyarakat mengikutinya dengan membawa pusaka keraton. Semuanya berjalan dalam diam sebagai bentuk perenungan diri.
Kirab Kebo Bule
Kirab ini dipimpin oleh kerbau albino bernama Kebo Kiai Slamet yang dipercaya membawa berkah. Masyarakat percaya kotoran kebo bule dapat menjadi jimat tolak bala.
Peserta mengenakan pakaian adat serba hitam. Barisan juga diisi oleh pembawa pusaka, abdi dalem, serta kerabat keraton.
Tradisi di Pura Mangkunegaran Solo
Kirab Pusaka Dalem
Pura Mangkunegaran yang memerintah biasanya mengadakan kirab pusaka setiap malam satu Suro. Kirab ini dipimpin oleh GPH Paundrakarna Jiwa Suryanegara sebagai cucuk lampah.
Peserta membawa pusaka dari Bangsal Tosan menuju Pendopo Ageng. Dua bendera kebesaran yaitu Pare Anom dan Bangun Tulak turut dibawa dalam barisan.
Udik-udik dan Pembagian Nasi
Usai kirab, Sri Paduka Mangkunegara akan membagikan udik-udik atau uang koin kepada warga. Tak hanya itu, ribuan nasi bungkus juga turut dibagikan sebagai bentuk syukur.
Tak lupa, air bunga biasanya disiapkan untuk membasuh pusaka sebelum kirab dimulai. Prosesi ini berlangsung dengan khidmat dan diikuti masyarakat dengan antusias.
Demikianlah ulasan mengenai 'kapan malam satu Suro?'. Semoga bermanfaat, ya!
(alk/alk)