Mobil Dompeng dan Banjir Malangke Lutra yang Setahun Tak Kunjung Surut

Mobil Dompeng dan Banjir Malangke Lutra yang Setahun Tak Kunjung Surut

Ahmad Al Qadri - detikSulsel
Senin, 14 Apr 2025 12:30 WIB
Mobil dompeng mengangkut penumpang di area banjir Malangke, Luwu Utara.
Mobil dompeng mengangkut penumpang di area banjir Malangke, Luwu Utara. Foto: (Ahmad Al Qadri/detikSulsel)
Luwu Utara -

Banjir tidak selamanya mendatangkan duka. Begitulah yang dirasakan sejumlah warga di Malangke, Kabupaten Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka justru mendapat berkah dengan membuka jasa penyeberangan untuk motor dan barang menggunakan mobil dompeng.

Arus lalu lintas penghubung Kota Masamba-Kecamatan Malangke, di Dusun Belawa Baru, Desa Pattimang terputus akibat banjir sejak April 2024 lalu. Akibatnya, beberapa kendaraan motor dan mobil tidak berani menerobos banjir yang ketinggiannya mencapai paha orang dewasa.

Sejak saat itu, sejumlah mesin dompeng yang dimodifikasi menjadi mobil dengan ukuran ban yang besar mulai bermunculan menjadi solusi alternatif masyarakat. Para sopir dompeng pun mulai menawarkan jasa penyeberangan dengan mobil modifikasi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penumpang biasa berhenti pas di ujung banjir. Di situ (kami) menunggu, juga tawari. Ada juga yang didatangi kalau dilihat dari jauh ragu sekali mendekat (ke arah banjir)," kata salah seorang sopir dompeng, Heri (29) kepada detikSulsel, Senin (14/4/2025).

Mobil dompeng mengangkut penumpang di area banjir Malangke, Luwu Utara.Mobil dompeng mengangkut penumpang di area banjir Malangke, Luwu Utara. Foto: (Ahmad Al Qadri/detikSulsel)

Heri merupakan salah seorang pelopor jasa penyeberangan menggunakan mobil dompeng. Pekerjaan tersebut telah dijalaninya kurang lebih 10 bulan setelah banjir di wilayahnya tak kunjung surut.

ADVERTISEMENT

"Saya sudah kerja ini kayaknya mulai bulan Juni tahun lalu, semenjak tidak ada mi pemasukan karena semua kebun, empang tenggelam," ucapnya.

"Jadi saya las-las itu dompeng, kursi-kursinya saya kasi lebar dan gerobaknya di belakang makin saya buat besar dan kuat, supaya menampung banyak muatan," sambungnya.

Dompeng sederhana dengan bunyi yang begitu nyaring itu dikenakan tarif senilai Rp 25.000 rupiah tiap menyeberangkan motor beserta pemiliknya. Sedangkan, untuk barang dikenakan tarif sesuai dengan banyaknya.

"Dompeng ku ini bisa naik (menampung) hingga 4 motor kalau di susun rapi, kalau barang dan orangnya bisa di sela-selanya motor dia. Tarifnya sendiri Rp 25.000 motor sama orangnya, barang sesuai banyaknya ji, sedangkan kalau warga mau menyeberang berapa-berapa (seikhlasnya)," bebernya.

Saat membela banjir sepanjang kurang lebih 500 meter, mobil dompeng nampak begitu perkasa. Ketika menyeberang, dompeng dikemudikan oleh seorang sopir dan dibantu 1-2 kernet yang menjaga di gerobak belakang.

"Harus tetap ada yang jaga itu gerobak di belakang, karena tidak ditahu kalau misalnya ada lubang, banyak juga pembelokan pasti goyang motor di belakang," jelasnya.

Sopir Mobil Dompeng Cuan Besar

Pemasukan menjadi sopir dompeng juga tidak main-main. Heri mampu memperoleh Rp 500 hingga 1 juta rupiah setiap harinya.

"Paling sedikitlah Rp 500 ribu rupiah, biasa juga lebih 1 juta kalau lagi ramai-ramai orang mau menyeberang kaya ada pesta atau bagaimana," pungkasnya.

"Dulu bahkan tidak pernah di bawah 2 juta waktu masih sedikit dompeng, sekarang lumayan banyak mi kerja begini, tapi alhamdulillah cukup sekali ji untuk makan," tambahnya.

Heri menjelaskan pemasukan yang diperolehnya setiap hari langsung dibagi kepada kernet yang membantunya. Nominalnya sesuai dengan pemasukan di hari itu.

"Kalau didapat misalnya Rp 700 ribu rupiah, dikasi keluar Rp 100-150 ribu untuk pembeli solar, sisanya itu bagi dua mi," beber Heri.

Heri mengungkapkan sebenarnya terdapat jalan alternatif, hanya saja sebagian orang menolak melewati akses tersebut. Sebab akses jalan tersebut begitu panjang dan berlubang.

"Banyak ji jalan pintas sebenarnya, cuma begitu biasa sama ji. Apalagi kalau sudah hujan tenggelam tonji biasa bannya motor," tutupnya.

2.000 Rumah Terendam Banjir

Untuk diketahui, sejak awal tahun 2024, ada 5 desa di Kecamatan Malangke yang telah terendam banjir. Kejadian tersebut disebabkan jebolnya tanggul Sungai Baliase.

Desa tersebut yaitu Desa Putemata, Desa Girikusumah, Desa Petta Landung, Desa Pattimang, dan Desa Malangke. Per hari ini, ada sebanyak kurang lebih 2.000 rumah yang rusak akibat tergenang banjir.

"Kebanjiran ini bukan 700-an rumah, itu data lama. Tapi sekarang ini sekitar 2.000-an karena sudah berapa desa. Pattimang saja sekitar 1.000 KK itu baru-baru berdampak belum terdampak di data sebelumnya," ucap Bupati Luwu Utara Andi Rahim kepada detikSulsel, Minggu (13/4).




(asm/hsr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads