Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel), dilaporkan tembus 264 selama Januari hingga Juni 2024. Dari ratusan kasus tersebut, Dinas Kesehatan (Dinkes) Bulukumba melaporkan ada 3 orang yang meninggal dunia.
"(Faktor tingginya kasus DBD) Curah hujan, kita lihat curah hujan yang frekuensinya sangat meningkat tahun ini. Ini bukan cuma Bulukumba yang meningkat, semua daerah di Indonesia meningkat kasusnya," ujar Kepala Dinkes Bulukumba dr Muhammad Amrullah kepada detikSulsel, Jumat (19/7/2024).
Data dari Dinkes Bulukumba, kasus DBD meningkat dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2021, ada 112 kasus DBD, kemudian naik menjadi 141 kasus dan 1 meninggal di 2022. Pada 2023 kembali meningkat dengan 149 kasus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, sepanjang 2024 periode Januari-Juni terjadi peningkatan hampir dua kali lipat dibanding tahun-tahun dengan 264 kasus. Rinciannya: Januari ada 30 kasus; Februari 82 kasus; Maret 85 kasus dan 2 meninggal; April 20 kasus; Mei 20 kasus dan 1 meninggal, dan Juni tercatat ada 27 kasus.
"Curah hujan ditambah lagi dengan banyaknya bencana alam, seperti banjir dan sebagainya. Apalagi kondisinya hujan, baru panas, hujan, baru panas lagi, itu tempat terbaik untuk proses perindukan daripada nyamuk demam berdarah. (Di Februari dan Maret) memang di bulan-bulan itu curah hujan tinggi sekali," kata Amrullah.
Amrullah mengungkapkan kasus DBD tersebar di 10 kecamatan di Bulukumba, yakni Gantarang, Ujung Bulu, Bonto Bahari, Bonto Tiro, Herlang, Kajang, Bulukumpa, Kindang, Ujung Loe, dan Rilau Ale. Walaupun, kata dia, kasus terbanyak ada di wilayah perkotaan atau permukiman padat penduduk.
"Kenapa daerah padat penduduk? Karena, kan, jarak terbang nyamuk (demam berdarah) itu tidak bisa jauh. Jadi, kalau rumah yang jauh-jauh jaraknya itu tidak bisa, susah. Beda yang yang padat, yang kelembapannya tinggi, kurang mendapat sinar matahari, kemudian pola hidup yang jorok," terangnya.
Dia juga mengakui meningkatnya jumlah kasus meninggal pada 2024 ini berbanding lurus naiknya jumlah kasus DBD. Dinkes, kata dia, telah melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan menemukan bahwa wilayah yang mempunyai kasus meninggal merupakan permukiman padat penduduk dengan sanitasi buruk.
"Iya, mengikut jumlah kasus. Setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi memang di tempat itu daerah yang padat penduduk, sanitasi buruk. Misalnya, (banyak) kaleng bekas, air mineral, ban bekas, pot-pot. Pokoknya di mana ada jaringan air, di situ nyamuk bisa berkembang biak. Tidak sampai berapa hari muncul lagi nyamuk dewasa dan bisa menginfeksi," ungkapnya.
Amrullah menuturkan Dinkes tidak tinggal diam dengan peningkatan kasus DBD tahun ini. Berbagai upaya, kata dia, telah dilakukan. Salah satunya melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) masif terkait DBD kepada masyarakat.
"Tentunya yang paling utama adalah tetap kita melakukan KIE. Pokoknya kita tidak berhenti-berhenti melakukan itu kepada masyarakat. Ini agar masyarakat sadar bahwa untuk memberantas nyamuk demam berdarah hanya efektif dengan cara 3M plus," bebernya.
"3M plus itu menguras, mengubur, membersihkan tempat-tempat perindukan nyamuk, kemudian memasang kawat-kawat pada jendela. Kemudian, melakukan penyemprotan. Bagi anak-anak kalau ke sekolah bila perlu diolesi semacam losion antinyamuk. Yang terpenting juga bagaimana pola hidup semakin sehat," ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, Dinkes juga memasifkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan melakukan pengasapan di daerah yang ditemukan kasus DBD.
"Peran serta masyarakat sangat kami harapkan dalam mendukung pencegahan demam berdarah. Termasuk pemberantasan sarang nyamuk," tuturnya.
(sar/asm)