Umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan setia tahunnya dengan berbagai rangkaian kegiatan mulai dari Tumpek Wariga hingga Pegat Wakan. Lantas, apa itu Hari Raya Galungan dan Kuningan?
Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, Bali, Hari Raya Galungan dirayakan umat Hindu setiap 6 bulan sekali dalam kalender Bali (210 hari) tepatnya pada hari Budha Kliwon Dungulan. Sedangkan Kuningan digelar 10 hari setelah Galungan, tepatnya pada Sabtu Wuku Kuningan.
Dalam kalender Masehi, Hari Raya Kuningan dan Galungan digelar dua kali dalam setahun. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 7 Tahun 2023, Hari Raya Galungan jatuh pada tanggal 28 Februari dan 25 September 2024. Sedangkan Kuningan akan diperingati pada 9 Maret dan 5 Oktober 2024.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, bagi detikers yang belum tahu apa itu Hari Raya Galungan dan Kuningan, berikut pengertian, makna dan sejarahnya. Yuk, simak selengkapnya!
Pengertian Hari Raya Galungan
Masih dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, kata Galungan diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti bertarung. Galungan juga biasa disebut dengan Dungulan yang artinya menang.
Hari Raya Galungan adalah hari di mana umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta dan seluruh isinya. Peringatan ini juga untuk merayakan kemenangan kebaikan (dharma) melawan kejahatan (adharma).
Sebagai ucapan syukur, umat Hindu memberi dan melakukan persembahan pada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara (dengan segala manifestasinya).
Pengertian Hari Raya Kuningan
Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng, Hari Raya Kuningan juga disebut dengan Tumpek Kuningan. Kata Kuningan berarti mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi diri agar terhindar dari marabahaya.
Pada Hari Raya Kuningan, umat Hindu meyakini bahwa para Dewa dan Bhatara yang diiringi oleh para Pitara turun ke bumi. Para Dewa, Bhatara, dan Pitara turun ke bumi hanya setengah hari saja sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya sampai tengah hari saja atau sampai pukul 12.00 Wita.
Makna Hari Raya Galungan
Dikutip dari buku Hari Raya Galungan Sebagai Momentum Bertumbuhnya Dharma dalam Diri yang diterbitkan oleh STAHN-TP Palangka Raya, Hari Raya Galungan dikenal juga sebagai hari "Rerahinan Gumi" yang artinya semua umat Hindu wajib melaksanakannya agar terhindar dari marabahaya. Perayaan ini merupakan simbol perayaan hari kemenangan kebaikan/kebenaran (dharma) atas ketidak baikan (adharma).
Umat Hindu meyakini bahwa Hari Raya Galungan dapat memberi kekuatan spiritual. Hal ini akan membuat mereka memiliki kekuatan fisik dan non-fisik untuk membedakan mana perbuatan yang baik dan tidak baik.
Hari Raya Galungan merupakan momen untuk menyatukan kekuatan pikiran, perkataan, dan perbuatan untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran atau kebaikan. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang merupakan wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan dalam pikiran itu merupakan wujud adharma.
Makna Hari Raya Kuningan
Dikutip dari jurnal Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung yang berjudul Makna Hari Raya Kuningan pada Umat Hindu, dijelaskan bahwa Hari Raya Kuningan bertujuan untuk memuja para dewa dan leluhur dengan sepenuh hati. Pemujaan tersebut dimaksudkan agar para dewa dan leluhur melimpahkan karunia-Nya dan memperoleh keselamatan.
Di Hari Raya Kuningan, umat Hindu memberikan sesajen sebagai persembahan kepada para dewa. Sesajen tersebut mengandung lambang komunikasi dengan para dewa. Setiap prosesi Kuningan mengandung makna berdoa, meminta keselamatan, dan ketentraman hidup.
Sejarah Hari Raya Galungan
Dalam buku Hari Raya Galungan Sebagai Momentum Bertumbuhnya Dharma dalam Diri yang diterbitkan oleh STAHN-TP Palangka Raya, disebutkan bahwa sejarah pelaksanaan Hari Raya Galungan di Indonesia sulit dipastikan. Jika melihat Kitab Usana Bali yang merupakan sumber tradisi di Bali, dapat diketahui bahwa Galungan telah dirayakan pada masa Pemerintahan Valajaya atau Taranajaya tepatnya saat kepemimpinan Jayakusuma putra dari Raja Bhatara Guru (1246-1250 tahun Saka).
Sementara itu, menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan dirayakan pertama kalinya pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan pada tanggal 15 tahun 804 Saka atau 882 Masehi. Dalam lontar disebutkan:
"Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya."
Artinya: Perayaan Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, Wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka).
Semenjak saat itu, umat Hindu di Bali selalu merayakan Hari Galungan dengan meriah. Tetapi setelah dirayakan kurang lebih tiga abad, pada tahun 1103 Saka, perayaan tersebut tiba-tiba dihentikan.
Hal tersebut terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Konon, selama Galungan tidak dirayakan, terjadi musibah yang tidak henti-hentinya. Usia para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, ia mulai mempertanyakan mengapa hal-hal tersebut terjadi. Untuk mendapatkan jawabannya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya (mendekatkan diri pada Dewa). Dewa Sraya itu dilakukannya di Pura Dalem Puri, tidak jauh dari Pura Besakih.
Raja Sri Jayakasunu melakukan tapa brata dengan sungguh-sungguh. Kesungguhan tersebut membuatnya mendapatkan pawisik atau bisikan religius dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu, Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan.
Karena itu, Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu agar kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.
Nah, itulah tadi pengertian, makna dan sejarah Hari Raya Galungan dan Kuningan. Semoga bermanfaat ya, detikers!
(edr/edr)