Kepemimpinan Era Digital: Sebuah Peta Jalan Kemajuan HMI

Opini

Kepemimpinan Era Digital: Sebuah Peta Jalan Kemajuan HMI

Muh Jusrianto - detikSulsel
Rabu, 22 Nov 2023 12:10 WIB
Wasekjend PB HMI, Muh Jusrianto
Foto: Wasekjend PB HMI, Muh Jusrianto. (dok.istimewa)
Pontianak -

Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) XXII bakal berlangsung di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) pada 24-29 November 2023. Melalui kongres ini, para insan organisasi akan menentukan nakhoda HMI dalam dua tahun ke depan.

Nakhoda terpilih dalam kongres nantinya sudah seharusnya mengusung konsep kepemimpinan era digital. Sistem digital leadership bagaimana pun menjadi elemen yang esensial untuk insan cita HMI dewasa ini.

Ordway Tead dalam bukunya The Art of Leadership (1935) menyebut konsep kepemimpinan sebagai segala sesuatu yang merujuk pada aktivitas yang mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara Imam Suprayogo dalam karyanya Reformulasi Visi dan Misi Pendidikan Islam (2006) mengatakan kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi individu atau grup untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam situasi yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, kepemimpinan merupakan sebuah proses menghargai orang lain untuk memahami dan menyepakati tentang apa yang perlu untuk dilakukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, dan proses memfasilitasi usaha individu atau kelompok untuk memenuhi tujuan-tujuan utama.

ADVERTISEMENT

Lantas, seperti apa konsep kepemimpinan HMI yang tepat untuk era disrupsi teknologi digital dewasa ini?

Kepemimpinan di Era Digital

Secara prinsip, kepemimpinan era digital tidak terlalu berbeda dengan kepemimpinan dalam arti umum. Keduanya sama-sama menitikberatkan pada aspek pengorganisasian elemen dalam organisasi untuk meraih sebuah tujuan. Namun pada kondisi tertentu, keduanya punya perbedaan dalam hal arah dan prinsip manajerial.

Sebagaimana akan terlihat bahwa dalam konteks era digital, seorang pemimpin (leader) tidak hanya dituntut menguasai kecakapan dalam manajemen organisasi, melainkan wajib memiliki pemahaman soal urgensi digital engangement.

Mengapa ini penting? Sebab seorang pemimpin yang minim pengetahuan akan perkembangan era digitalisasi dewasa ini akan kesulitan menghadapi tantangan di era kekinian. Disrupsi teknologi akhir-akhir ini menjadi satu penanda penting yang turut mengubah seluruh dimensi kehidupan manusia baik dalam memenuhi kebutuhannya, berinteraksi dengan lingkungannya hingga pemaknaan terhadap segala sesuatu mengalami perubahan amat drastis.

Implikasinya, masyarakat dipaksa beradaptasi dengan perkembangan teknologi masa kini yang berubah demikian cepat dan pesat. Masyarakat juga harus sanggup menerima segala konsekuensi negatif yang ditimbulkannya.

Di samping itu, gelombang digitalisasi kehidupan juga pada kenyataannya menciptakan gap sosial yang tinggi. Fenomena terakhir ini timbul akibat kurangnya kesiapan masyarakat baik secara pengetahuan maupun mental. Sementara, di saat bersamaan, fenomena cultural shock atau kejutan budaya juga menjadi masalah tersendiri yang turut memperburuk keadaan tersebut.

Dalam konteks organisasi, injeksi digitalisasi ini menawarkan dua hal penting yang patut disiasati. Pertama, ia hadir sebagai tantangan organisasional. Sementara, yang kedua ia membawa suatu proposal baru tentang metode kerja yang lebih praktis dan efisien dalam pengelolaan kerja-kerja organisasi.

Hal yang disebutkan terakhir inilah yang menjadi perhatian saat ini, terutama bagi organisasi HMI dalam memajukan organisasi untuk mencapai tujuannya.

Peta jalan HMI di era kekinian di halaman selanjutnya...

Peta Jalan HMI di Era Kekinian

Dalam menghadapi tantangan industri 4.0 dan menuju masyarakat 5.0 atau society 5.0, HMI sejatinya sangat siap baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun kesiapan keorganisasiannya. Namun, kesiapan saja tidak cukup untuk berselancar di atas gelombang digitalisasi yang super dahsyat ini.

Setidaknya, butuh sebuah peta jalan yang jelas dan terukur untuk menjawab segala rintangan dan aneka kebutuhan mendesak lainnya. Untuk itu, berikut adalah peta jalan kepemimpinan HMI di era digital yang wajib dipertimbangkan sebagai sebuah kerangka kerja praktis.

Pertama, perlu penguatan SDM dalam bidang teknologi mutakhir dan rejuvenasi kelembagaan HMI. Langkah ini dilakukan melalui optimalisasi peran dan fungsi Korps HMI-Wati (KOHATI), Lembaga Pengembangan Profesi (LPP), Badan Pengola Latihan (BPL) dan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) HMI.

Harus diakui bahwa sejauh ini peran dan fungsi sejumlah badan otonom HMI tersebut belum berjalan optimal. Padahal, seluruh jangkar perkaderan HMI bertumpu pada peran strategis lembaga-lembaga tersebut.

Peran KOHATI, misalnya, jika saja berjalan dengan baik dan maksimal maka akan ada ribuan bahkan ratusan ribu perempuan terberdayakan. KOHATI sendiri sebetulnya memiliki format dan mekanisme perkaderan yang jelas dan tegas dalam memajukan kualitas kader-kader HMI-Wati.

Sayangnya, hal itu dihambat oleh kendala internal berupa gesekan pengurus, minimnya kajian dan penelitian, produksi karya intelektual yang minim, mesin kepengurusan yang kurang berjalan baik. Lalu ada juga kendala eksternal, meliputi kurang responsif terhadap dinamika dan perkembangan isu-isu global dan kekinian serta kekurangsiapan menyambut era baru disrupsi digital membuat semua target menjadi kurang terealisasi dengan baik.

Berikutnya yang juga tidak kalah penting adalah kinerja LPP HMI yang sampai sekarang masih belum sesuai harapan. Padahal, setidaknya terdapat sebelas LPP yang hingga hari ini masih eksis di HMI. Diantaranya Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) dan Lembaga Da'wah Mahasiswa Islam (LDMI). Kemudian ada Lembaga Pembagunan Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Teknik Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) dan Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI).

Selanjutnya ada Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Mahasiswa Islam (LKBHMI), Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa Islam (LEPPAMI) hingga Lembaga Pengembangan Bahasa Mahasiswa Islam (LPBHMI).

Bila dicermati, keberadaan badan-badan otonom HMI tersebut nyaris mencakup hampir semua dimensi ilmu dan keprofesian yang ada. Bayangkan, jika semua lembaga tersebut berfungsi sebagaimana mestinya, bukan tidak mungkin setiap tahun HMI mampu meretas ribuan SDM unggul yang siang mengemban tugas-tugas pembangunan negara.

Termasuk yang juga tidak kalah strategis yakni eksistensi BPL dan Balitbang HMI. Kedua lembaga ini memainkan peran sentral baik sebagai pencetak SDM insan cita maupun sebagai sumber produksi dan pengembangan ilmu dan pengetahuan HMI.

Dengan begitu, macetnya kinerja kedua badan ini membuat seluruh roda perkaderan maupun pusat pengembangan informasi dan pengetahuan HMI dipastikan mati. Karenanya, kunci utama menghidupkan organisasi HMI bergantung pada performa badan-badan otonomi tersebut.

Di samping itu, dan menghadapi sistuasi yang ada, maka seluruh insan cita HMI dituntut untuk kreatif dan inovatif. Kreativitas akan mendorong lahirnya ragam karya dan dedikasi untuk umat dan bangsa.

Sebaliknya, tanpa kreativitas, kader HMI hanya akan menjadi insan-insan yang nihil karya dan dedikasi untuk negeri. Seperti halnya kreativitas, para anggota HMI juga harus bisa berinovasi agar tidak tergilas peradaban masa kini.

Kemampuan inovasi merupakan bagian penting organisasi dalam ikut mendorong pembaharuan berbagai temuan penting dalam pemenuhan kebutuhan umat manusia masa kini dan akan datang.

Kedua, penerapan sistem perkaderan berbasis teknologi. Satu hal yang masih menjadi kelemahan HMI adalah technology engagement. Padahal, hampir tidak ada organisasi modern dewasa ini yang tidak menerapkan teknologi dalam menggerakkan roda organisasinya-apapun bentuk dan jenis organisasi itu.
Salah satu contoh mengenai hal ini dapat dilakukan melalui monitoring dan evaluasi (monev) kegiatan perkaderan berbasis digital.

Selama ini, tugas-tuga monev di internal HMI dilakukan secara konvensional dan ala kadarnya. Hal ini membuat sistem pemantauan dan evaluasi perkaderan secara berjenjang tidak berjalan baik dan akurat.
Hasilnya, pengurus sulit memastikan prores perkaderan seperti apa secara keseluruhan dari waktu ke waktu.

PB HMI akhirnya tidak memiliki instrumen yang memadai untuk mengukur sejauh mana perkembangan SDM di HMI berjalan sesuai arah dan tujuan HMI di masa kini dan akan datang. Ketiga, sudah waktunya HMI memiliki sistem data base berbasis digital.

Persoalan lainnya yang tak kalah penting di tubuh HMI selama ini adalah ketiadaan database yang riil soal berapa jumlah pasti anggota HMI. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerbitan Kartu Tanda Anggota (KTA) Digital. Melalui KTA Digital ini, seluruh kader insan cita akan terdata dengan baik yang tentu memberikan banyak keuntungan bagi organisasi.

Ketiadaan database yang riil ini membuat para pengurus pusat hanya menerka-nerka berapa jumlah keseluruhan kader Hijau-Hitam saat ini, baik yang aktif maupun nonaktif. Termasuk, berapa banyak sebaran alumni HMI hari ini. Semua ini terjadi karena organisasi tidak memanfaatkan teknologi digital sebagai instrumen penting untuk diterapkan.

Keempat, menuju networking society. Peta jalan yang terakhir ini menjadi tantangan tersendiri ke depan bagi HMI. Sebab, ia membutuhkan visi dan langkah besar dalam membangun dan megembangk organisasi di level internasional.

Harus diakui bahwa HMI dalam beberapa dekader terakhir ini hanya puas bermain di aras lokal atau domestik. Padahal, impuls globalisasi bekerja demikian pesat yang membuat dunia menuju satu tatanan yang lebih terintegral. Dalam kondisi yang demikian ini, HMI harus menjadi pemain dengan mental, jejaring dan berwawasan global.

Mewujudkan langkah ini tentu butuh sosok pemimpin HMI yang punya atensi khusus terhadap isu-isu global dan memiliki jejaring luas melampaui geopolitik domestik. Pemimpin yang tentu juga punya kemampuan bahasa internasional yang baik dan memadai.

Halaman 2 dari 2
(hsr/hsr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads