Pengerjaan Jalan Hauling PT Priven Lestari di Desa Geltoli, Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara mengakibatkan pepohonan dibabat habis. Jalan yang baru dibuat sepanjang 1 kilometer dengan lebar 40 meter itu kian mendekati kawasan Pegunungan Wato-wato, sebuah kawasan konsesi tambang nikel dari PT Priven Lestari.
Sekitar 700 meter dari lokasi awal camp, Jalan Hauling menerobos badan Sungai Watileo Kecil. Pepohonan yang selama ini menjadi penyangga daerah aliran sungai (DAS) lenyap. Padahal, sungai itu menjadi sumber air bersih bagi warga yang bermukim di Kompleks Jalan 40 di Desa Geltoli.
Perusahaan saat ini berencana melanjutkan pembangunan jalan sepanjang 3 kilometer ke Dermaga Jetty di Desa Gamesan. Namun, Pemerintah Desa Gamesan menyebut pihak perusahaan tidak pernah melakukan koordinasi terkait pembangunan jalan tersebut.
"Saya memang kurang terlalu tahu soal jalan perusahaan itu, tapi tiba-tiba dorang (mereka) so (sudah) gusur, so buka (jalan), tarada (tidak ada penyampaian ke Pemdes)," ujar Kepala Desa Gamesan Eddy Niki Yulluw saat berbincang dengan detikcom, Senin (9/10/2023) lalu.
Eddy mengaku tidak bisa membayangkan jika perusahaan juga melakukan penimbunan di laut sepanjang 200 meter dari bibir pantai. Dia menegaskan aktivitas itu jelas mengancam dua aliran sungai yang selama ini menjadi sumber air bersih warga setempat. Tak cuma itu, perairan sekitar selama ini juga menjadi lokasi nelayan berburu udang laut berukuran kecil.
"Jadi pasti kalau penimbunan sekitar 200 meter ke laut itu kan habis itu (udangnya). (Mayoritas warga Desa Gamesan bekerja sebagai) nelayan dan petani, ada juga sebagian yang sudah (bekerja) di perusahaan," ujarnya.
Namun Eddy tidak bisa berbuat banyak sebab posisinya sebagai kepala desa tidak luput dari tekanan ketika warganya sempat menolak pembangunan Jalan Hauling ke Dermaga Jetty pada tahun 2022. Saat itu, orang yang tidak dikenal menghubunginya dan mempertanyakan alasan warga menghalang-halangi pekerjaan jalan.
"Saya secara pribadi menolak, tapi secara regulasi kita juga ya (dilema). Karena sebelumnya (saya) banyak dapat telepon dari aparatur. Hanya ditanya saja, kenapa warga bapak menghalang-halangi itu mau bikin jalan, kayak begitu," ujarnya.
Selain itu, Eddy juga didesak menandatangani surat persetujuan pembangunan Jalan Hauling ke areal Dermaga Jetty di desanya. Eddy yang tidak punya pilihan terpaksa menandatangani surat itu dan disaksikan pihak perusahaan.
"Tanda tangan untuk izin pembangunan Jetty. Saya tanda tangan pihak perusahaan datang, tapi sebelum tanda tangan (saya) sempat dapat telepon dari entah itu karena gertak atau apa, saya tidak tahu. Kalau soal itu (Jetty) yang saya tahu 70 meter dari pemukiman warga," ujarnya.
Masyarakat Desa Gamesan yang umumnya bekerja sebagai nelayan hanya memiliki lahan pertanian di sekitar desa di kawasan pesisir. Tapi Eddy mengaku Desa Gamesan juga memiliki hutan desa seluas 10 hektare. Eddy kini dilanda perasaan dilema antara menerima atau ikut menolak.
"Iya, (hutan desa) Gamesan ada, sedikit, kurang lebih sekitar 10 hektare kalau tidak salah itu. Kami tentu dilema, jadi tuntutan untuk menerima kemudian menolak juga kita ngambang begitu. Kalau pribadi itu sebenarnya jangan (ada tambang), tapi saya juga tidak berdaya," tuturnya.
Warga Desa Gamesan, Andreas Markus (70) mengatakan Jalan Hauling ke lokasi Dermaga Jetty dibangun di lahan perkebunan warga yang sudah dibayar perusahaan. Bahkan, lahan perkebunan milik Andreas di Desa Baburino sudah dibayar oleh PT Sambaki Tambang Sentosa untuk areal Jetty.
Andreas sendiri mengaku tidak punya sikap menolak kehadiran Priven. Namun dia meminta aktivitas perusahaan tidak berdampak terhadap kepentingan masyarakat. Namun dia lagi-lagi tak dapat berbuat banyak, sebab perusahaan telah mengantongi izin dari pemerintah.
"Karena kalau pemerintah izinkan, torang (kami) mau bikin bagaimana, ini kan semua pemerintah punya (kewenangan) toh. Walaupun (lahan) sudah sertifikat tapi kalau pemerintah mau ambil ya," ujar Andreas pasrah.
Andreas sudah lama menggeluti profesi sebagai nelayan. Andreas sehari-hari menjaring ikan tidak jauh dari perkampungan. Hasil tangkapannya dijual dan sisanya untuk dikonsumsi. Andreas sendiri tidak punya gambaran ketika nantinya kapal-kapal pengangkut ore nikel lalu-lalang di depan desanya.
"Pokoknya kalau tidak mengganggu aktivitas masyarakat biar saja supaya orang bisa kerja, yang penting jangan ada dia punya dampak lingkungan, itu saja," harap Andreas.
Sementara itu, Kepala Desa Geltoli, Herasmus Tatengkeng (64) mengatakan pembangunan Jalan Hauling yang menerobos lahan pertanian karena masyarakat sendiri yang menjual lahannya ke perusahaan. Herasmus menilai warga terpaksa menjual lahan karena butuh uang.
"Masyarakat kan butuh uang toh. Orang punya anak sekolah, kebutuhan sehari-hari, katong (kami) mau bilang apa. Tapi jalan itu belum masuk di areal IUP, itu baru di lahan milik warga. Kalau tidak salah kurang lebih 10 orang warga, jadi itu masih di areal kebun," ujarnya.
Herasmus juga mengaku tidak tahu berapa harga lahan yang dibayar perusahaan. Menurutnya, itu urusan pemilik lahan dan perusahaan. Selain itu, pembangunan Jalan Hauling belum masuk di kawasan hutan Desa Geltoli yang luasnya sekitar 759 hektare.
"(Titik Jalan Hauling) belum sampai hutan desa, masih jauh (dari Jalan Hauling), itu di lahan (perkebunan) masyarakat. Kita punya hutan desa juga ada di belakang sini, paling besar itu, sekitar 759 hektare. Itu Desa Geltoli punya, jadi paling besar," tuturnya.
Di Kecamatan Maba, terdapat 5 hutan desa yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berdasarkan surat keputusan tahun 2021. Di antaranya, Desa Geltoli dengan luas hutan desa 759 hektare, hutan Desa Sailal seluas 321 hektare, hutan Desa Buli Asal 116 hektare, hutan Desa Buli 159 hektare, dan hutan Desa Fayafli 506 hektare.
Bagi Herasmus, pemdes adalah struktur pemerintahan paling bawah yang tidak punya kewenangan untuk berbuat banyak. Dia juga menyinggung kewenangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang kini telah diambil alih pemerintah pusat.
"Jadi penentuannya dari atas (pemerintah pusat). Hutan desa ini kan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tapi kalau dorang (mereka) kasih lepas (diperuntukkan untuk konsesi pertambangan) kitorang mau bilang apa, jadi torang serba salah," ujarnya.
Herasmus tak menampik jika Gunung Wato-wato ditambang akan berdampak pada lingkungan. Tapi bagi Herasmus, meski pemerintah terbuka pada investasi, tapi jika ditolak oleh masyarakat dalam skala yang luas, maka sikap Pemdes adalah harus berpihak pada masyarakat.
"Torang (kami) dari pemerintah tetap mendukung investasi, tapi kalau masyarakat tolak terpaksa torang harus ikut masyarakat. Mungkin dampak positifnya serapan tenaga kerja, tapi kalau dampak negatifnya kan banyak dan yang mereka tolak itu kan soal dampak negatifnya," ujarnya.
Sebab lanjut Herasmus, dari Gunung Wato-wato mengalir sungai-sungai yang saat ini menjadi sumber air bersih bagi warga. Keberadaan sungai tersebut pun dimanfaatkan oleh Pemprov Malut untuk membangun PDAM, dengan menempatkan jaringan pipa di Sungai Watileo Besar.
"Ya dari aspek lingkungan (krisis) air bersih, yang paling utama itu air bersih. (Keberadaan gedung PDAM di belakang Desa Geltoli) oh itu sudah lama (dibangun) sekitar 2015, 2016 atau 2017 itu, (lokasi) di Desa Geltoli sini sudah, itu (jaringan pipa PDAM dihubungkan ke) Sungai Watileo Besar. Kalau Jalan (Hauling) Priven itu di Watileo Kecil sana itu," ujarnya.
Bayang-bayang Ketakutan Warga Jika Wato-wato Ditambang, simak di halaman berikutnya...
(hmw/nvl)