- Contoh Cerpen Hari Santri Contoh Cerpen Hari Santri #1 Contoh Cerpen Hari Santri #2 Contoh Cerpen Hari Santri #3 Contoh Cerpen Hari Santri #4 Contoh Cerpen Hari Santri #5 Contoh Cerpen Hari Santri #6 Contoh Cerpen Hari Santri #7 Contoh Cerpen Hari Santri #8 Contoh Cerpen Hari Santri #9 Contoh Cerpen Hari Santri #10
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memeriahkan Hari Santri Nasional yaitu dengan kegiatan literasi seperti membuat atau membaca cerita pendek (cerpen). Berikut 6 contoh cerpen Hari Santri yang menginspirasi dan memotivasi.
Melansir dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI), Hari santri diperingati setiap 22 Oktober sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2015. Penetapan ini tertuang dalam keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerpen merupakan cerita pendek yang di dalamnya tidak lebih dari 10.000 kata. Biasanya isi dalam cerpen tersebut hanya memusatkan satu tokoh atau peristiwa yang dialami.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Membaca cerpen tentang santri pada peringatan Hari Santri Nasional menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan pesan-pesan tentang anak santri. Pesan yang terkandung dalam cerpen-cerpen berikut juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan pembelajaran bagi pembaca.
Nah, berikut ini terdapat 10 contoh cerpen tentang Hari Santri yang telah dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber.
Selamat membaca!
Contoh Cerpen Hari Santri
Contoh Cerpen Hari Santri #1
Lorong Kenangan
Karya: Ahmad Zaini
Lamongan, 8 Januari 2022
Ahmad Zaini adalah guru di SMKN 1 Lamongan dan ketua PC Lesbumi NU Babat. Penerima penghargaan dari Gubernur Jawa Timur karena buku kumpulan cerpennya berjudul Lorong Kenangan memenangi lomba GTK Creative Camp (GCC) 2021.
Sulur jingga sinar matahari jelang senja mengguyur sebuah pondok pesantren. Pancaran cahaya keemasan disemprotkan oleh si raja siang yang sejam lagi akan membenamkan diri ke peraduannya. Bangunan asrama yang dihuni beberapa santri tampak begitu anggun. Bangunan tersebut sebagai tempat para santri belajar, berdiskusi, dan bersama-sama menempa diri menjadi insan kamil: Manusia yang sempurna lahir dan batin.
Para santri serentak keluar dari kamar masing-masing. Mereka memenuhi pengumuman yang dikumandangkan dari kantor pengurus pesantren. Para santri putra dan putri berduyun-duyun menuju ke masjid pesantren. Mereka berkumpul untuk mengadakan kegiatan rutin, yaitu berdoa bersama yang dilaksanakan setiap Kamis sore.
Ratusan santri berpakaian putih. Mereka duduk rapi membentuk shaf atau barisan sebagaimana orang sedang salat berjamaah. Lautan putih pakaian mereka seakan-akan memancar cahaya kesucian. Kesucian niat mereka belajar ilmu-ilmu agama di pondok pesantren.
Kiai Maghfur, pengasuh pondok pesantren hadir dalam majelis tersebut. Beliau dikenal sosok yang sangat istiqamah dalam menjalankan amanat wali santri meskipun usianya sudah sepuh. Beliau juga sosok sabar dan telaten membimbing para santri yang rata-rata berusia remaja. Usia yang masih labil dan mudah terpapar pengaruh negatif lingkungan.
Didampingi Rosyad, Kiai Maghfur duduk bersila di barisan depan. Beliau memimpin atau memandu ratusan santri membaca istighotsah, tahlil, dan doa selamat bagi orang-orang shalih, para guru, dan orang tua. Mereka melafalkan doa-doa serupa gema yang menggetarkan langit. Mereka khusuk bermunajat kepada Allah agar dikabulkan segala keinginan yang disampaikannya lewat doa.
Lampu-lampu di masjid pondok pesantren mulai dinyalakan. Cahayanya menerpa wajah-wajah khusuk yang masih tenggelam dalam doa. Kegiatan doa selesai ketika bedug yang tergantung di serambi masjid dipukul salah satu santri dengan irama khas sebagai penanda waktu salat maghrib telah tiba.
Azan maghrib berkumandang. Seruan melaksanakan kewajiban makhluk kepada Sang Khaliq lantang mengarungi seluruh area pondok pesantren dan sekitarnya. Para penghuni pondok pesantren yang ketika itu baru selesai melaksanakan kegiatan doa bersama tetap berada di posisi masing-masing sambil mendengarkan azan serta menjawabnya. Setelah azan selesai mereka membaca doa kemudian dilanjutkan dengan pujian-pujian yang wajib dibaca ketika hari Kamis malam Jumat oleh para santri.
"Ilahi lastu lil fidausi ahla, wala aqwa ala naril jahimi. Fahabli taubatan waghfir dzunubi, fainnaka ghofirun dzanbil adzimi," suara para santri menggema melantunkan pujian yang apabila dibaca dan dihayati isinya dapat merontokkan sifat keangkuhan serta kesombongan manusia.
Setelah para santri salat maghrib dengan berjamaah, selesai pula rangkaian kegiatan itu. Para santri berbondong-bondong kembali ke asrama masing-masing. Di asrama, mereka tidak bersantai-santai. Mereka nderes pelajaran yang disampaikan oleh para pengasuh sebelumnya. Dalam kesempatan seperti itu, terkadang mereka juga terlibat dalam sebuah diskusi tentang materi yang belum dipahaminya. Mereka belajar dengan didampingi santri senior yang ditugaskan sebagai mentor di setiap asrama.
Ketika para santri sedang nderes atau belajar, terdengar pengumuman dari kantor pengurus pondok. Para santri diam sejenak untuk mendengarkan pengumuman. Para santri yang menghuni Asrama Arrahman tertegun ketika nama asramanya disebut.
Tanpa komando susulan, para santri memenuhi panggilan itu. Penghuni Asrama Arrahman yang berjumlah sembilan santri langsung berdiri di depan pos keamanan pondok pesantren.
"Amri dan Syamsul, kemari! Yang lain silakan kembali ke asrama," kata Khobir, ketua keamanan. Kedua santri tersebut menghampiri Khobir.
"Ada apa, Kang?" tanya Syamsul.
"Mari ikut saya ke majelis tahkim!" ajaknya.
Amri dan Syamsul saling pandang. Dalam hati mereka bertanya-tanya tentang kesalahan yang diperbuat hingga dibawa ke majelis tahkim atau pengadilan pondok pesantren. Hati mereka semakin remuk ketika mereka masuk di ruang khusus. Mereka melihat pengasuh dan pengurus pondok pesantren yang sudah menunggunya. Di sebelahnya lagi ada dua santri putri yang sudah tidak asing lagi bagi Amri dan Syamsul.
"Amri dan Syamsul, apakah kalian mengenal dua santri putri ini?" tanya Rosyad, salah satu anggota majlis tahkim. Kedua santri tersebut mengangguk.
"Siapa mereka?" pertanyaan lanjutan Rosyad.
"Mereka Anita dan Lusi,," jawab Amri yang dibenarkan oleh Syamsul.
"Sepertinya kalian sangat akrab. Apakah kalian pernah saling bertemu?"
"Pernah. Tanpa sengaja kami pernah bertemu di kantin," jawab Syamsul.
"Benar begitu Amri?"
"Benar."
"Setelah itu apakah kalian pernah bertemu lagi di tempat lain?" Rosyad menelusuri lebih lanjut.
Mereka tidak langsung menjawab. Amri dan Syamsul diam. Mereka tertunduk malu. Demikian juga dengan Anita dan Lusi. Kedua santri putri ini membenamkan wajahnya dalam jilbab yang dikenakannya. Mereka malu kepada Kiai.
"Kenapa diam? Ayo, dijawab!" bentak Rosyad.
"Sabar, Rosyad. Beri kesempatan pada mereka untuk mengingat-ingat kejadiannya," tegur Kiai Maghfur pada Rosyad yang mukanya memerah.
"Mohon maaf, Kiai. Saya khilaf karena terbawa emosi," kata Rosyad.
"Amri dan Syamsul harap menjawab pertanyaan Kang Rosyad dengan jujur dan ikhlas," dawuh Kiai Maghfur.
"Kami bertemu lagi di kafe dekat pasar."
"Kapan dan apa yang kalian lakukan di sana?" selidik Rosyad.
"Kamis sore minggu lalu kami janjian keluar dan bertemu di kafe tersebut. Kami pesan kopi dan sekadar bercakap-cakap biasa. Setelah itu, kami kembali lagi ke pondok ketika azan maghrib," pengakuan Amri.
Pengasuh dan para pengurus memutuskan bahwa mereka sudah terbukti bersalah. Mereka keluar pondok tanpa izin keamanan. Apalagi mereka keluar lokasi dengan berpasang-pasangan. Hal ini berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Anita dan Lusi yang didukung oleh pengakuan Amri dan Syamsul.
"Anita, Lusi, Amri, dan Syamsul, kalian telah terbukti melakukan pelanggaran besar. Kalian telah sengaja keluar dari lokasi pondok pesantren secara bersama-sama. Kalian sudah paham bahwa di pondok pesantren ini ada peraturan yang melarang keras santri putra dan santri putri melakukan interaksi. Apalagi ini dilakukan di luar pondok pesantren tanpa sepengetahuan pengurus dan pengasuh. Konsekuensinya, kalian harus menerima takzir atau sanksi yang akan diberikan oleh pengurus dan keamanan pondok sesuai dengan kesalahan kalian. Sebelum kalian melaksanakan takzir, kami akan mengundang kedua orang tua kalian," kata Kiai Maghfur.
Keempat santri hanya berdiam diri di depan para pengurus dan pengasuh. Mereka tidak berani berkilah karena terbukti melanggar peraturan pesantren. Meskipun mereka hanya bercakap-cakap sambil menikmati menu di kafe, mereka sangat menghargai keputusan itu. Pengurus dan pengasuh pesantren membuat aturan dan menegakkan aturan tersebut sebagai langkah preventif atau pencegahan agar para santri tidak terjerumus pada perbuatan tercela, yakni perzinaan. Berpacaran atau berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat tertentu merupakan perbuatan yang mendekati zina. Hal ini disebabkan berawal dari situlah setan akan memengaruhi hati dan menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan mesum.
Keesokan harinya wali santri keempatnya hadir di pesantren. Para orang tua yang berharap anaknya mendapat gemblengan pendidikan agama menyerahkan sepenuhnya semua keputusan pesantren terhadap putra-putrinya. Mereka ikhlas dan rela atas takzir atau sanksi yang telah diberikan oleh pengurus dan pengasuh pondok pesantren kepada Amri, Syamsul, Anita, dan Lusi.
Kiai Maghfur yang didampingi para pengurus pesantren mengantar para orang tua seusai bermusyawarah tentang pendidikan anaknya. Para pemangku pesantren sangat berterima kasih dan mengapresiasi para wali santri yang sangat peduli dengan pendidikan pesantren anak-anaknya. Hal itu sangat membantu para pengasuh dan pengurus pondok dalam menata dan membina akhlak para santri.
Setelah kejadian tersebut keempat santri itu santri jera dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Para santri yang lain juga tidak berani melakukan perbuatan seperti yang dilakukan keempat santri itu. Mereka bertekad akan fokus mempelajari ilmu agama sebagaimana niat mereka belajar di pondok pesantren.
Pekan berikutnya, tepat hari Kamis sore ratusan santri serempak datang ke masjid pondok pesantren. Mereka melaksanakan kegiatan rutin. Amri, Syamsul berada di barisan depan. Mereka ditakzir oleh pengurus dan pengasuh pondok pesantren sebagai pemimpin dalam kegiatan tersebut. Demikian pula dengan Anita dan Lusi. Keempat santri tersebut menjalankan sanksi yang menurutnya positif itu dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Kalimat-kalimat toyyibah berkumandang dari pengeras suara di masjid pondok pesantren. Suara para santri bergema hingga menggetarkan hati orang-orang yang mendengarnya. Mereka khusuk berzikir dan berdoa untuk melunakkan hati agar mudah menerima nasihat dan bimbingan ilmu agama dari para kiai dan ustadz di pondok pesantren.
Contoh Cerpen Hari Santri #2
Bumi Pesantren
Karya: Rizal
Langit malam yang indah, berhiaskan sinar rembulan terselubung awan mendung, hadir membawa kesunyian yang sejuk di jagat pesantren. Terlihat di pojok ruang sempit nan tinggi, sang kutu kitab sedang menjalankan aksinya, menguliti setiap lembar kitab yang ia usap.
Tak terhitung, sudah berapa kali lembar kitab Zubdatunnaqiyyah (Syarah Kitab Matan Al-Ajurumiyyah karya KH. Aqiel Siroj) ia bolak-balik sampai terlihat kusut. Namun tetap saja, dalam otaknya serupa kuburan mati. Seakan menutup pintu rapat rapat, tak menghiraukan tamu yang datang.
"Tuhaaaannnn, bisakah Engkau turunkan ilmu laduni kepada hamba-Mu ini?" celetuk kata hati Ilham dengan perasaan putus asa. Dan semakin lama dirasakan, perasaan getir itu hampir meneteskan air mata berharganya ke bumi.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil "Ilham, ayo turun." Ujar Ridwan yang lebih dikenal dengan sebutan Gehong. Mendengar panggilan nyaring temannya itu, Ilham segera menuruni anak tangga dengan lesu tanpa energi, seakan hidupnya tak berguna. "Ada apa Hong?" tanya Ilham. "Kowen piymen Ham, sudah lupakah bahwa malam ini tugas kamar kita untuk jaga malam?" dengan logat Jawa medoknya yang khas daerah Brebes. "Oh iya yah, aku lupa. Maaf Hong, ya sudah ayo kita pergi" tegas Ilham tanpa memperdulikan kekesalan temannya.
Mereka berdua pergi menyusul teman sekamarnya, yang sudah sampai di rumah Pak Kiai Uhes. Tak lupa, mereka membawa alas tidur dan terkhusus Ilham, dia menyelipkan kitabnya di lempitan alas tidur tersebut.
Alas tidur mereka gelar lebar-lebar di beranda rumah Pak Kiai, dengan selimut bekas rumah sakit sebagai tameng ampuh mencegah angin menerobos tubuh mereka. Entah dari mana Ridwan bisa mendapatkan selimut dari rumah sakit itu. Dua minggu yang lalu, dia pulang karena sakit cacar dan Kembali lagi ke pesantren dengan membawa oleh-oleh selimut rumah sakit.
Di saat Ilham ingin memejamkan mata, pikirannya seakan menolak akan hal itu. Dia teringat akan kitabnya yang sampai saat ini belum juga ia pahami. Melihat kegusaran temannya, Ridwan berinisiatif menanyakan permasalahan temannya itu "Ham, kamu ada masalah apa?". Satu pertanyaan itu tidak membuat Ilham bergeming. Dua kali pertanyaan, tiga kali pertanyaan, Sampai akhirnya, Ridwan berteriak cukup keras memecah kesunyian malam dan lamunan Ilham pun goyah.
Seketika juga, teman-temannya yang sedang asik mereguk indahnya mimpi, langsung terbangun mendengar teriakan Ridwan yang mengusik telinga mereka. Kecuali Timo, Ketika sudah tertidur, secara otomatis mode pesawat langsung aktif dalam dirinya. Hanya ada satu yang bisa membuatnya bangun, yaitu suara Ustadz Sallim yang terkenal akan kegalakannya. Bahkan mendengar suara motornya Ustadz Salim saja, membuat bujang itu langsung terbangun.
Arif dengan jiwa frontalnya langsung bertanya kepada Ridwan "Hong, ada apa? Tidak bisakah kau bicara pelan saja? Hah?", disambung dengan protesnya Ali yang telah terprovokasi oleh hentakan Arif tadi " Iya, ada apa sih?" bahkan Udin yang terkesan kalem pun ikut berpartisipasi " aya naon ieu teh ? sing tenang heula, Sok coba atuh jelaskeun Ceng " .
Ridwan yang tadinya mulai naik darah, langsung meredam setelah mendengar tutur halus dari Asep.
"Jadi gini teman-teman, ada salah satu teman kita yang sedang punya masalah tapi tidak mau cerita perihal masalahnya" ujar Ridwan sambil menoleh sinis terhadap Ilham.
Ilham yang kini menjadi pusat perhatian teman-temannya, tanpa sadar meneteskan air mata. Kini perasaannya remuk redam tak beraturan. Melihat keadaan Ilham dalam keterpurukan, teman-temannya langsung mendekati Ilham dan memeluknya. Dan pada akhirnya, Ilham pun berani membuka suara tentang masalahnya.
Setelah mendengar curahan hati dari Ilham, mereka pun saling mengulurkan bantuan kepada temannya itu. Udin dengan kecerdasannya ditambah ia memang seorang rois 'aam (orang yang memimpin jalannya muthola'ah (mengulang pelajaran) dan diskusi di semua mata pelajaran di kelas) mulai membantu Ilham dalam memahami kitab Zubdatunnaqiyyah, tepatnya dalam bab isim ghoiru munshorif. Arif dan Ridwan berlari menuju kamar mengambil kitab masing-masing, karena di kelas mereka, telah mengkaji bab isim ghoiru munshorif. Sedangkan Ali, pergi ke warung membeli bahan pertempuran untuk malam ini.
Mereka pun mulai saling bahu membahu belajar bersama ditemani kopi hitam dan senandung ngorok dari Timo. Dan mereka bisa tertidur pulas di jam 2 dini hari. Sambung tangan mereka dalam problematika ini membuat Ilham sadar, betapa berharganya harga sebuah pertemanan.
Tabuh rotan dari pengurus, seketika mengacaukan realita mimpi Ilham dan kawan - kawan dikala terpejam. Kecuali Timo yang tetap anteng dalam mati surinya. Namun, lantunan merdu sholawat tarhim subuh dari sang muadzin, membuat mereka berat melangkah dari tempat tidur. Karena seakan-akan, suara tarhim itu pengiring lagu untuk melanjutkan mimpi mereka yang sempat tertunda.
Melihat anak-anak ini belum pergi juga, kang Juned yang merupakan khodam Kiai Uhes langsung menjewer kuping mereka. Sehingga mereka pun terperanjat berdiri tanpa aba-aba. Beda halnya perlakuan Kang Juned terhadap Timo yakni lebih istimewa. Satu sampai lima kali Kang Juned menjewer Timo, tetap saja nihil. Setelah cara lembut telah dilakukan, Kang Juned pun bersekutu dengan rotannya menyatukan tekad untuk menyabet Timo di bagian paha.
"Plaaaak...."
Sekujur badan Timo seakan tersengat listrik, menghasilkan energi elektron yang membuat sistem saraf sensorik dan motoriknya kembali aktif.
"Aduuh... sakit" keluh Timo dengan ekspresi muka yang masam.
Melihat pertunjukan seperti itu, teman-temannya pun lantas tertawa lepas melihat Timo yang meringis kesakitan. Dan mereka menganggap hal itu (menyabet) sebagai kejadian yang lumrah, bahkan hiburan tersendiri bagi mereka yang menyaksikannya. Bukan dianggap sebagai pelanggaran HAM apalagi tindak pidana.
Setelah kejadian fenomenal itu, mereka pulang ke kamar bersama-sama tanpa adanya rasa benci maupun amarah yang terpendam. Bersiap melaksanakan ibadah sholat subuh berjemaah di Masjid.
Selepas sholat subuh ditunaikan, para santri bersiap mengerahkan tenaganya untuk kegiatan masing-masing. Ada yang mengaji Juz 'amma, Al-Qur'an, menghafalkan nadzom (syair bahasa Arab), mandi, roan (bersih-bersih lingkungan Pesantren), dan lain-lain.
Sang mentari pagi bersinar menyirami bumi Pesantren, menyilaukan kedua mata Ilham yang berada di tengah sawah, sedang mengerahkan memori akalnya untuk menyimpan hafalan Had Al-Ajurumiyyah. Tak sadar bahwa sekarang telah menunjukan pukul 06.30 waktu setempat. Ia pun beranjak dari tempat kesunyian menuju keramaian yaitu kamar. Sebuah kamar kecil yang melebihi kapasitas kuantitas. Dimana kamar yang seharusnya disinggahi lima orang, malah dipaksa menjadi tiga belas orang. Tapi dari tempat situlah orang-orang besar terlahir.
Setibanya Ilham di kamar tercintanya, ia pun segera mengambil kitab Zubdatunnaqiyyah untuk kembali di-muthola'ah, karena khawatir mendapat giliran maju membaca dan menerangkan pelajaran sebelumnya. Ditambah lagi, Ustadz Sallim yang begitu tegas kepada muridnya. Dua minggu yang lalu, dua anak telah menjadi korban. Karena belum lancar menerangkan, dua orang itu di hukum dengan sabetan rotan yang begitu keras di tangannya. Bukan hanya kesakitan yang mereka dapatkan, tapi juga rasa malu yang harus mereka berdua dapatkan. Namun, suatu saat nanti kejadian itu akan menjadi kenangan berharga yang tak ternilai harganya.
Dengan penuh percaya diri lewat stimulus teman-temannya tadi malam, Ilham yakin bisa membaca dan menerangkannya dengan sangat baik dikala ia ditunjuk nanti. Ia pun tersenyum bahagia, karena pada akhirnya ia bisa lega, terlepas dari rasa gelisah dan khawatir.
Tepat pukul 07.45 waktu setempat, Ilham dengan percaya dirinya melangkah tegak ke kelas, bagaikan Prajurit siap tempur membawa senjata AWM.
Kini Ilham dan teman-teman sekelasnya menunggu dengan ta'dzim kedatangan sang Komandan memasuki ranah pertempuran.
Setengah jam pun berlalu, dan dendangan Nadzom Tuhfatul Athfal masih serempak diserukan. Namun suara motor beliau yang khas itu, belum juga terdengar. Sampai pada akhirnya, kabar mencengangkan pun tiba. "Ustadz Sallim sedang berhalangan hadir karena ada urusan mendadak. Jadi jam pertama sekarang ditiadakan" tutur guru piket yang bernama kang Imam, sambil menenteng kertas absen para Ustadz. Seketika gemuruh kelas serempak bersorak sorai, memecah kegundahan yang sempat melanda. Tapi tidak untuk Ilham. Ia tidak berekspresi apapun. Karena dia sendiri bingung, apakah harus senang karena libur atau sedih karena usaha yang ia korbankan sejak tadi malam tidak terlaksana hari ini.
Kang Imam yang masih di ruangan itu, kemudian berkata kembali " Eiits, jangan senang dulu. Kalian masih ada jam kedua yah, yaitu pelajaran Tijan Darori". Seketika itu pula, ruangan kembali hening. Seakan mereka melupakan dengan cepat kesenangan yang tadi mereka rasakan. " Ayo baris yang rapi! sebentar lagi Ustadz Ahmad datang" ujar Kang Imam sambil melangkah pergi.
Lima menit kemudian derap langkah mulai terdengar samar - samar.
"Assalamu'alaikum" kedatangan yang ditandai salam pembuka dari Ustadz Ahmad, menghentikan muthola'ah anak-anak tentang kitab Tijan Darori. Dan serentak menjawab "Wa'alaikumsallam".
Doa belajar langsung diserukan.
Baris kedua di sisi paling kanan, Ilham mulai was - was karena khawatir ia akan ditunjuk untuk maju ke depan, membaca pelajaran minggu sebelumnya. Celakanya, dari kemarin ia hanya fokus memahami kitab Zubdatunnaqiyyah dan menghiraukan kitab Tijan Darori. Karena Ilham berasumsi, bahwa Ustadz Ahmad tidak setegas Ustadz Sallim. Seandainya tidak bisa, hanya dihukum berdiri saja.
Ustadz Ahmad mulai mengeluarkan buku penilaiannya dan siap memilih secara acak nama yang akan disuruh baca di depan. Di saat- saat seperti inilah, hati setiap anak yang ada di ruangan mulai berdetak kencang.
"Ilham, maju!" tutur Ustadz Ahmad.
Boom..., asumsi Ilham menjadi kenyataan.
Seketika seluruh penjuru mata berfokus terhadap Ilham. Dan Ilham yang menjadi pusat perhatian, mulai terasa panas dingin. Dengan kekuatan yang tersisa, Ilham melangkah maju di-iringi tubuh yang bergetar dengan sendirinya.
"Silahkan Ilham, Bismillah" Ustadz Ahmad kembali berkata.
Ilham membuka kitabnya dan mengawali bacaannya dengan ucapan "Bismillahirrahmanirrahim". Setelah itu kosong. Tidak ada makna (tulisan pegon) dan harokat yang ia tulis. Semuanya bersih hanya menyisakan huruf hijaiyyah yang gundul.
Satu menit hening dan akhirnya dua kata keluar dari lisan Ilham "belum nderes, ustadz".
Ustadz Ahmad menimbal balik ucapan Ilham dengan tenang "Berdiri!"
Dengan kepala menunduk ke bawah, Ilham berdiri di depan kelas sambil meratapi kesalahannya dan menanggung malu di depan teman-temannya.
Dan kini Ilham sadar, bahwa berfokus hanya pada sesuatu yang besar saja dan melalaikan sesuatu yang kecil itu sangatlah salah. Karena efeknya telah ia rasakan sendiri saat ini.
Contoh Cerpen Hari Santri #3
Santri Laduni
Karya: Mansur Jamhuri
"Aku merasa sebagai santri terbodoh di pesantren ini." Habibi sering mengatakan demikian kepada teman-temannya.
Mungkin sikapnya itu bisa dinilai sebagai bentuk kerendahan hatinya. Tapi jika dilihat dari bagaimana ia belajar di kelas, pengakuan Habibi ini memang menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
Habibi lebih sering berdiri di depan kelas setiap disuruh maju oleh ustadnya. Ia kesulitan menguasai makna dan murod. Dua hal yang harus dipahami dengan benar oleh setiap santri dalam mengkaji kitab kuning, yang merupakan bahan ajar utama pesantren salaf.
Meski demikian semua santri tahu kalau habibi telah berusaha sangat keras. Mulai dari 'cocogan' di asrama, mendatangi rois di kamarnya, dan tentu saja mengikuti musyawarah kitab bersama teman sekelasnya. Belum lagi ia selalu belajar sendiri di kamar khodam sampai larut malam. Hanya entah mengapa, setiap ditunjuk maju ke depan selalu saja ada kesalahan. Hingga harus berdiri selama pengajian sebagai hukuman.
Yang membuat kagum, meski sering di hukum, Habibi tak pernah putus asa. Ia selalu aktif. Tidak pernah alfa kecuali sakit. Juga tidak goyah, meski mulai banyak yang memanggil dirinya Mahalul Qiyam.
Ia tetap semangat mengikuti semua agenda pesantren yang begitu padat. Padahal dia juga sangat sibuk karena menjadi khodam. Kadang Habibi berjaga semalaman di sawah kiai. Belanja ke pasar, mengantarkan anaknya kiai ke sekolah, atau 'ngeladeni' tamu-tamu kiai yang hampir tak pernah berhenti.
Pernah suatu hari, Habibi disuruh ngeliwet oleh ibu nyai, karena khodam perempuan yang biasa di dapur sedang pulang kampung. Setelah beras dicuci dan siap dimasak, ternyata airnya kebanyakan. Ia lalu ke belakang dan menumpahkan sebagian air ke lubang kecil di dekat pohon mangga yang telah berusia ratusan tahun.
Ternyata di dalam lubang itu ada anak raja jin yang sedang bermain. Anak raja jin kesakitan, berdarah-darah. Raja jin sangat murka mengetahui anaknya disiram oleh santri. Kemurkaan sang raja membuat Habibi pingsan seketika.
Habibi baru sadar setelah diberi air doa oleh Kiai Ghofur. Di sinilah kemudian terjadi keanehan. Ia terus berbicara dan entah kepada siapa ia bicara. Sesekali menggunakan bahasa Jawa, kadang Indonesia, lalu beralih ke bahasa China, tiba-tiba sudah beralih ke bahasa Korea. Bahkan ada bahasa yang semua santri tidak bisa menduga itu bahasa dari negara mana.
Semua heran. Dari mana Habibi bisa bahasa asing? Dipesantren ini tidak ada pelajaran bahasa asing. Dan kepada siapa ia berbicara? Semua tidak ada yang tahu.
Karena keganjilan itu, ia dibawa ke kantor pondok untuk ditangani secara khusus. Namun baru beberapa langkah, tubuh kurus khodam pengasuh pondok itu tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Pengurus panik. Sebelum akhirnya lurah pondok datang dan memberikan sisa air doa dari Kiai Ghofur. Ampuh, setelah air dibasuhkan ke wajah, Habibi berangsur pulih. Kali ini mulai tenang. Tapi tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hanya matanya yang nampak kebingungan dan terlihat kelelahan.
"Aku baru selesai mesantren selama 10 tahun di pondok milik raja jin muslim." Itu kalimat pertamanya setelah benar-benar sadar.
"Kalian boleh percaya boleh tidak, tapi aku benar-benar telah menjalaninya. Aku mesantren di alam jin sebagai hukuman karena tidak sengaja menyiram putra sang raja."
Pengurus pondok memandang Habibi dengan sedih. Ada rasa kasihan. Mereka yakin, apa yang dikatakan barusan tentang hukuman, mondok 10 tahun, juga raja jin, pasti hanya omongan ngelantur saja, efek pingsan yang lumayan lama.
Tapi Habibi terus saja bercerita. Katanya, ia dibawa ke Mahkamah Kerajaan. Disana ia disidang karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu menumpahkan air nasi secara sembarangan sehingga menimbulkan korban. Kebetulan korbanya adalah anak dari baginda raja.
Hukumannya sangat berat yaitu penjara seumur hidup. Tapi setelah diketahui bahwa ia adalah santri yang sedang belajar mengaji dan dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan, maka hukumannya menjadi ringan. Terlebih selama sidang ia berperilaku sangat sopan, jujur dan menghormati semua jin yang menjadi pimpinan sidang. Ia juga berkali-kali meminta maaf dan menyesali perbuatannya.
Ia hanya diberi hukuman harus mesantren selama 10 tahun di pondok milik raja. Selama waktu itu, ia dilarang keras kembali ke alam manusia.
"Tujuan dari hukuman ini adalah agar saudara sebagai manusia bisa menghargai alam dan mahluk selain dari golongan saudara. Ketahuilah, Islam adalah agama rahmat bagi semua mahluk, dan mahluk ciptaan Allah tidak hanya manusia. Ada kami bangsa jin, yang sebagian menjadi ummat Nabi Muhammad SAW," kata Ketua Hakim pimpinan sidang.
"Selama 10 tahun, saudara harus belajar dengan tekun. Pelajari semua ilmu yang ada di pesantren kami. Supaya saudara menjadi bijak, beragama yang mendamaikan, dan berilmu yang menentramkan." Hakim pimpinan sidang telah menetapkan keputusannya. Tidak ada pilihan buat Habibi kecuali menerima hukuman dari Mahkamah Kerajaan.
"Jadi jin itu ada dan benar-benar nyata," Habibi masih melanjutkan ceritanya, "kalian pasti ingat firman Allah SWT: 'Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku'. Hanya orang yang tidak beriman yang tidak mempercayai adanya jin." Habibi berusaha menyakinkan.
Menurut ceritanya, di pesantren yang diasuh oleh raja jin, diajarkan berbagai kitab kuning seperti halnya pondok-pondok pesantren di Negara Indonesia. Santrinya dari berbagai penjuru alam jin. Jumlahnya ratusan ribu.
Asrama santrinya sangat megah. Bertingkat-tingkat. Kamarnya sangat mewah, melebihi hotel bintang lima dunia. Terdapat puluhan gedung perpustakaan yang sangat besar dan luas. Juga penginapan khusus untuk wali santri jin. Banyak taman dan danau di sekelilingnya. Begitu bersih, asri dan udara yang selalu sejuk di sepanjang hari.
Pengajarnya ulama dan ilmuwan dari berbagai lulusan terbaik lembaga pendidikan bangsa jin yang dipilih langsung oleh raja.
"Karena kesaktian sang raja, santri-santrinya bisa menguasai semua bahasa dunia. Kami berbicara dengan Bahasa Arab, Ibrani, Tamil, kadang Persia, Russia, atau India, juga bahasa dari Afrika dan Amerika" Habibi kembali menyinggung soal bahasa.
Pengurus pondok saling pandang. Cerita Habibi memang begitu menyakinkan. Tapi tetap sulit diterima akal sehat, mengingat ia mengatakan itu semua setelah sadar dari pingsan. Lalu muncul ide mendatangkan Ustadz Ahmad untuk menguji pengakuan Habibi, yang selama ini dikenal memiliki keterbatasan kemampuan dalam memahami pelajaran kitab di pengajian.
Tak berapa lama kemudian Ustad Ahmad datang. Ustad paling senior ini langsung menyapa Habibi dengan bahasa Arab. Ajaib! Habibi bisa menjawab semua pertanyaan Ustadz Ahmad dengan menggunakan bahasa Arab dan sangat fasih sekali.
Lalu didatangkan santri yang menguasai bahasa Inggris. Ternyata Habibi juga begitu tangkas 'cas cis cus' berbicara dengan bahasa dari negerinya Ratu Elizabeth.
Karena penasaran, didatangkan seorang wali murid yang kebetulan pernah lama kerja di Jepang, dan lagi-lagi Habibi bikin pengurus pondok takjub, ia begitu pintar menggunakan bahasa dari negeri sakura.
Pengurus walau dalam kebingungan akhirnya percaya juga, bahwa dengan sebab pingsan Habibi bisa menguasai berbagai bahasa dunia.
Rapat dewan asatidz belum memutuskan layak tidaknya Habibi diangkat sebagai guru baru. Terjadi perdebatan.
"Ini pondok pesantren, pelajaran utama kita adalah kitab kuning, bukan bahasa. Karena itu jika memang Habibi mau kita angkat sebagai pengajar, maka harus di tes terlebih dahulu. Baru kita lihat apakah ia mampu atau tidak mengajar di madrasah pondok," usul Ustadz Ahmad.
Semua sepakat. Maka Habibi dites. Ujian pertamanya tentang nahwu shorof. Ia diberi pertanyaan dan soal tertulis. Diluar dugaan, Habibi mampu menjawab dengan sangat tepat. Tidak nampak kesulitan sama sekali.
Saat dites nadzom amrity dan alfiyah ibnu malik, khodam bertubuh jangkung ini mampu menunjukan hafalannya kepada penguji dengan sangat lancar sekali. Kecepatan dan ketepatan baitnya sungguh luar biasa. Menandakan hafalannya sudah benar-benar diluar kepala.
Habibi kemudian diminta penguji membaca beberapa bab dari kitab fathul muin, tafsir jalalain, dan ihya ulumuddin. Sungguh diluar nalar, Habibi bukan hanya mampu membaca dengan baik dan benar, tapi bisa menjelaskan dengan sempurna dari setiap bab yang ia bacanya.
Hari itu juga ia ditetapkan sebaga ustadz baru. Habibi lulus tes dengan nilai mumtaz.
Beberapa minggu kemudian, Habibi diangkat jadi pengurus pondok. Di tugas barunya ini, ia mampu menjalankan tugas dengan sangat baik. Otaknya yang sekarang encer mampu membuat inovasi dan berbagai gebrakan. Atas kesuksesannya, ia diangkat Kiai Ghofur sebagai lurah pondok.
Di malam puncak akhirusanah, saat dikukuhkan sebagai lurah pondok, Habibi diharuskan berpidato dihadapan kiai, nyai, tamu undangan dan santri.
Dengan penuh percaya diri, sosok yang sekarang menjadi bahan pembicaraan semua anak-anak santri ini naik ke panggung utama. Disampaikannya program-program selama satu tahun ke depan. Pengalaman luar biasa 10 tahun di negeri jin benar-benar berpengaruh kuat dalam isi pidatonya.
Penampilanya mampu menghipnotis semua orang. Dengan kemampuan bahasa dan olah kata yang mumpuni, kecerdasannya begitu nampak. Pengetahuannya menembus batas cakrawala, laksana intelektual kelas dunia. Santri dibuat kagum dan bertambah yakin dengan kemampuan Habibi yang oleh sebagian santri pernah mereka remehkan.
"Maaf Kiai, banyak santri bilang kalau Habibi memiliki ilmu laduni. Apakah itu mungkin, Kiai?" tanya Ustadz Ahmad yang malam itu mendampingi Kiai Ghofur.
"Ilmu itu milik Allah. Jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin." Kata-kata Kiai Ghofur seperti membenarkan dugaan santri terhadap Habibi.
"Apa itu artinya pengakuan Habibi sepuluh tahun belajar pada raja jin muslim benar-benar nyata, Kiai?" tanyanya dengan sopan.
"Iya benar itu nyata. Ketahuilah, raja jin yang menjadi penguasa kerajaan alam gaib adalah muridku. Namanya Bena Dihyan Labda Nismara. Dulu pernah lama mesantren disini. Aku sendiri yang meminta raja agar Habibi tidak dihukum, tapi diberi ilmu," ujar Kiai Ghofur.
Ustadz Ahmad tersentak. Apa yang dikatakan gurunya benar-benar sangat mengejutkan. Dipandanginya Habibi yang masih berpidato. Anak itu begitu mempesona. Penuh kharisma dan berwibawa. Sosok Mahalul Qiyam yang biasanya malu-malu dengan wajah selalu tertunduk itu, kini berdiri tegak dengan gagahnya. Habibi sekarang adalah orator hebat, yang setiap kata-katanya mampu membakar kemalasan dan ketidakpercayaan diri menjadi kegairahan dan keyakinan. Ucapannya adalah mantra sakti yang mampu merubah setiap santri tergetar dan tergerak, mencari dan melangkah, maju dan terarah ke masa depan yang cerah.
Ustadz Ahmad sekarang mengerti, ada ilmu yang tak biasa, yang tidak semua santri bisa mendapatkannya. Hanya santri pilihan yang benar-benar istimewa yang bisa memilikinya, dan Habibi salah satunya.
Contoh Cerpen Hari Santri #4
Yang Fana Hanyalah Waktu
Karya: Muhammad Bahrululum
Asrama tua ini, dengan kayu-kayu penyangga lantai kedua yang sering berdecit saat ada langkah yang menginjaknya, kini sepi. Sebatang pohon rimbun di depannya, yang meneduhkan saat panas, kini daunnya berirama sendiri, tanpa diiringi suara riuh santri yang sedang bergurau maupun mengejar hafalannya. Hanya tersisa beberapa orang santri yang tengah mendorong-dorong gerobak berisi barang, mengambil sisa-sisa barang yang tertinggal di kompleks asrama ini.
Aku berdiri di pelataran lantai dua, menatap kosong ke arah pohon rindang itu. Betapa pohon itu telah menyaksikan berkembangnya para santri sejak tahun 60-an, awal kompleks ini didirikan. Namun sepertinya, pohon itu tidak akan dapat kulihat lagi. Mungkin tugasnya sudah selesai, mungkin sudah saatnya ia beristirahat.
"Za, tolongin gua dong!" aku memalingkan pandanganku, mencari sumber suara temanku yang ternyata tengah berdiri di depan salah satu pintu kamar. "Masih ada beberapa kardus noh di atas, gak tahu siapa yang punya."
Aku mengiyakan. Kamar kami tidak terlalu berukuran besar tapi cukup untuk kami semua. Sebuah kamar sederhana dengan plafon menggunakan bilik bambu, loker-loker penuh coretan tempat kami menyimpan barang, sebuah tangga yang digantungkan secara horizontal (dengan diikat keempat sisinya) pada langit-langit; tempat kardus-kardus lama disimpan, dan lampu led yang sudah redup. Bagaimanapun, kamar ini adalah tempatku belajar, melepaskan lelah, bergurau, sejak aku berstatus santri di pondok ini, hingga kini, saat asrama ini akan dialih fungsikan sebagai asrama santriwati.
"Biar gua aja yang naik," pintaku. Kardus-kardus yang disimpan di langit-langit itu berisi kitab-kitab lama yang entah punya siapa, sudah ada sejak dulu. Yang jelas sekarang aku harus menaiki loker untuk dapat mengambilnya.
"Eh, ini beneran gak ada yang punya ya? Banyak banget empat kerdus." Tanyaku basa basi, sambil menaiki loker.
"lah tau, itu kan ada yang dari lama banget juga," jawab temanku datar, ia bersiap menunggu operanku di bawah.
Saat salah satu kardus kutarik untuk memindahkannya, tiba-tiba saja satu tali penahan tangga tersebut lepas. Aku berteriak terkejut, temanku apalagi. Suara teriakan kami bersahutan dengan suara kardus-kardus buku yang terjatuh. Syukurnya nasib baik masih berpihak, aku masih seimbang di atas, dan temanku spontan langsung lompat mundur ke belakang. Kardus yang sudah kutarik pun ikut terjatuh, semuanya berantakan. Suaranya, aku tak tahu seberapa besar, tapi aku yakin sisa orang yang berada di kompleks pasti mendengar suara barusan. Mataku masih melotot terkejut, jantungku masih berdetak cepat, dan nyata saja. Sudah ada dua kepala yang muncul di pintu kamar.
"Kenapa kang?" tanya mereka yang kini melihat kitab-kitab berserakan seperti kapal pecah.
"bentar gua masih deg-degan," sahutku seadanya sambil menyandarkan diri ke tembok. Entah mengapa tiba-tiba dahiku penuh keringat. Mungkin sekarang aku terlihat seperti orang yang tengah melihat hantu.
"Onoh, talinya copot, jatoh semua jadinya," temanku mencoba menjelaskan apa yang terjadi ke dua orang tadi. Mereka masih berdiri di pintu.
"Lu berdua bantuin rapihin ini dulu gih, biar cepet. Gua masih kaget sialan, tiba-tiba copot." Perintahku pada dua orang yang dari tadi Cuma berdiri di depan pintu, mereka mengiyakan dan bergegas merapikan kitab-kitab tersebut.
"Allah," ucapku sambil menghembuskan nafas. Putusnya tali penahan tersebut tidak hanya berhasil menjatuhkan buku, tapi juga membuat plafon bilik bambu kamar kami bolong. Membuka ruang gelap yang terlihat di belakang bilik-bilik bambu yang terputus, eh sebentar. Apa itu? Mataku menatap tajam, sebuah lipatan kertas yang menguning? dibalik bilik bambu itu?. Sepertinya memang kertas! kuambil kertas tersebut, debu yang menutupinya sudah cukup menggambarkan betapa lama kertas ini tidak tersentuh. Perlahan jariku membuka kertas ini, satu baris kata muncul pada bagian atas kertas tersebut.
"Senin, 13 Ramadlan 1415 H."
Mataku melotot. Tapi tidak seperti orang melihat hantu, jelas ini harta karun!
"Eh, Said. 1415 Hijriah kalau masehi tahun berapa dah?"
"Au ah, gua lagi males ngitung," jawab temanku yang kini sedang membantu doa orang tadi membereskan buku.
"Eh gua nemu harta karun ini, lihat noh, surat di tulis tahun segitu."
"Hah, mana liat?" Said langsung tidak sabar. Ia satu-satunya matematikawan ulung di asramaku, soal tambah kurang hanya kerikil baginya.
"Lu jawab dulu, baru entar baca bareng-bareng!" balasku tak mau kalah.
Mata Said bergerak ke atas, "kalau sekarang tahun segini, berarti... 95-an. Iya harusnya sekitar tahun 94 sampai 95-an."
"Serius lu? Bentar-bentar gua turun dulu," aku sudah tidak sabar membacanya. Dua orang yang tadi ke kamarku pun ikut merapat.
"Sial, itu tulisannya ampe udah begitu Za, emang udah lama banget ya," Said berkomentar, matanya kagum sekaligus mencoba menjelajahi seisi kertas ini.
"Senin, 13 Ramadlan 1415 H.
Hari sudah malam, hujan turun dengan deras sejak selepas teraweh, tapi tidak mengurungkan niat santri-santri berangkat mengaji. Entah ini ramadlan ke berapa yang kusaksikan di sini, mungkin delapan atau sembilan, tapi aromanya tetap sama, rasanya tetap sama. Suasana yang selanjutnya pasti akan teramat ku rindukan. Karena ini adalah ramadhan terakhirku di sini sebagai santri. Bulan Rojab lalu, aku sudah melamar salah satu gadis kembang desa di kampungku, acaranya sederhana namun hikmat. Dan kini, aku kembali ke pondok ini untuk sowan dan nyuwun pangestu dari kiyaiku. Akad nikah kami akan berlangsung syawal ini, dan awal ramadhan kemarin, bergegas aku membawa baju secukupnya, mencari bus, dan tiba di sini.
Sudah banyak sekali perkembangan yang terjadi di sini saat bilik-bilik baru dibangun di sebelah selatan, santri-santri semangat roan bareng untuk membangunnya. Semangat 'khidmah' yang kental dimiliki santri. Banyak teman-temanku yang pindah ke sana, tapi aku tetap memilih disini, di asrama rintisan pendiri, menatap pohon mangga, musolah, kolah santri, dan kantor pusat di depan sana, pemandangan yang selalu membuatku betah. Terlebih saat musim hujan, seperti malam ini, bau tanah yang disiram hujan selalu membuatku tenang. Aromanya menemani salah satu malam terakhirku di sini. Pas dengan siraman cahaya bohlam yang memperlihatkan kesyahduan malam ini.
Ah, pasti aku akan merindukan bilik ini, juga tangganya; tempatku menyelesaikan hafalan had al-Ajurumiyyah Kempek, lorongnya, dan setiap sudut asrama ini. Dengan berbagai ceritanya. Apakah nanti cerita hantu di sini akan masih tetap ada ya? Hahaha.
Mungkin menulis surat adalah hal lucu
Jarang sekali ada temanku yang menulis. Namun puisi-puisi Pak Sapardi cukup memberiku alasan untuk melakukan ini, untuk menjadikan kenanganku abadi, menembus kefanaan waktu. Dan mungkin, suatu saat kertas ini akan ditemukan oleh seseorang di masa yang berbeda. Aku sengaja menulisnya tanpa meninggalkan nama. Aku tak butuh di kenang. Aku hanya ingin tahu, apakah pohon mangga depan musolah masih rimbun saat tulisan ini dibaca? Apakah tawa canda santri yang duduk-duduk di depan musolah masih terdengar? Apakah lorong-lorong bilik masih penuh dengan suara cocogan? Kalau iya, sampaikan doaku kepada semuanya. Ku harap pohon yang menemaniku sejak baru ini akan tetap rindang, teduh, dan mengayomi, semoga lorong ini tetap ramai dengan suara cocogan, subuh tetap ramai oleh suara lantunan Juz Amma kempekan, dan semoga semuanya tak terkoyak zaman.
Tapi apabila tidak, aku yakin itu bukan pertanda buruk. Aku yakin pasti ada rencana Allah yang lebih indah, yang telah disiapkan untuk tempat penuh kebaikan ini. Tidak mungkin ada hal buruk yang menimpa tempat ini. Ya Allah, tidak akan mungkin. Apapun yang terjadi dengan tempat ini, ia akan abadi, yang fana hanyalah waktu."
Semua orang terdiam, aku terpana. Gila, siapa penulis surat ini?
"Ini beneran gak ada nama penulisnya ya?" tanyaku ragu sambil membolak-balikkan kertas itu. Kujelajahi semua sudut-sudutnya, dan tetap saja tidak ada.
"Ini sih keren banget ya!" sahut said. "Lu tau Pak Sapardi gak Za?"
Dahiku berkerut, "Yang dinyanyiin sama Jason Ranti bukan sih?"
"Bukaaan. Eh, iya ding. Pokoknya beliau itu penulis puisi terkenal. Kalau gak salah, beliau pernah bilang gini 'Yang fana adalah waktu, kita abadi' pokoknya begitu lah. Kayaknya si penulis terinspirasi dari bahasa itu. Tapi tulisannya tadi pakai kata hanyalah ya, bukan adalah? Harusnya sih adalah, kalau mau sesuai sama Pak Sapardi."
"Hahaha, sial lu sudah kaya dosen penguji saja mbenerin diksi," balasku pada Said. Ia memang gemar membaca, tapi memang agak lurusan anaknya. "Eh lu berdua tahu gak Pak Sapardi?" tanyaku pada kedua orang tadi.
Keduanya menggeleng, "Tahunya One Piece kang," sahut salah satu dari mereka sambil tertawa.
"Hahahaha, dasar wibu lu! nderes sono, baca komik mulu," candaku.
Contoh Cerpen Hari Santri #5
Perjuangan Santri Meraih Prestasi
Karya: Khoirin Nisa
Pagi yang cerah, menghirup udara yang segar di sekolah yang menenangkan hati. Terbayang-bayang suasana indah di masa kecil. Diiringi angin yang sangat sejuk. Santri pun mulai merasakan ketenangan dan kebahagiaan di waktu pagi. Bel pun berbunyi "Kriiiiing... " saatnya memulai kegiatan dan aktivitas pesantren.
Kuucapkan salam saat masuk kelas "Assalamualaikum" ucapku. "Waalaikum salam " jawab ustadzah.
Ustadzah pun mulai membaca Al-Qur'an. Teman-teman pun mengikuti bacaannya. Di saat pembacaan Al-Qur'an selesai, ustadzah memulai memberikan pertanyaan-pertanyaan seputar pelajaran yang telah dikaji sebelumnya. "Adduh... Aku lupa menghafal" gumamku dalam hati. Ustadzah pun langsung mengulangi dan menjelaskan dengan rinci. Aku pun mulai hafal dan mengerti sedikit demi sedikit.
Jam menunjukkan jam 06.30 tak terasa 1 jam telah berada di kelas dengan teman-teman. Bell berbunyi "Kriinggg... " Pertanda pelajaran selesai dan saat nya keluar kelas dan kembali ke asrama masing-masing.
Sesampainya di asrama, ku perbarui wudhu'ku. Doa setelah wudhu ku panjatkan seraya menengadah ke atas sembari memohon kepada Allah agar dosa-dosa terjatuh seiring jatuhnya air wudhu yang bening.
Kuambil mekunahku ku hadapkan wajahku kepada Allah dalam shalat Dhuha sebagai untaian doa untuk kedua orang tuaku semoga mereka senantiasa diberikan kesehatan dan kelapangan Rizki dalam membiayai pendidikan di pesantren. Sembari memohon kebetahan, kesabaran dan kesemangatan dalam menuntut ilmu di pesantren.
Jam menunjukkan pukul 07.00 wib. Ku langkahkan kaki untuk mengikuti belajar di madrasah diniyah. Para santri pun mulai membaca nadzam dengan kompak di masing-masing kelas. Namun di saat itu pula pandanganku tertuju kepada seorang yang tampak murung duduk sendirian di depan kelas. Yah santri itu ternyata teman kelas saya. Namanya Lilly. Santri yang sangat rajin dan cerdas, bersahaja dan disenangi banyak teman karena Budi pekertinya yang baik.
"Ada apa teman? Kok murung? Ada masalah kah?" tanyaku ke Lily
"Gak ada apa-apa. Saya baik-baik saja kok" jawab Lily sambil menampakkan senyum yang terpaksa.
"Jujur saja dech...! Kamu pasti sedang punya masalah. Tak biasanya kamu seperti ini. Ayolah sobat cerita kepadaku. Siapa tahu aku bisa membantumu." paksaku ke Lily
"Bener aku gak punya masalah apa-apa kok" jawab Lily dengan suara lirih sembari memegang perutnya. "Ayolah Lily aku ini sahabat baikmu, sebangku dengan mu. Aku tak percaya apa yang kamu omongin tadi. Saya janji tidak akan cerita kepada siapapun, kalau mau cerita. Pliiisss dech" pintaku dengan nada mengemis.
Akhirnya Lily pun menceritakan apa yang dia alami. "Sebetulnya saya malu menceritakan hal ini kepada siapa pun. Tapi karena engkau teman baikku, akan ku ceritakan semuanya kepadamu" kata Lily.
"Saya lemas dan murung ini sebetulnya karena saya menahan rasa lapar. Sejak kemarin pagi saya belum makan sampai saat ini. Kiriman orang tuaku bulan ini tidak cukup untuk beli makan. Uang jatah makanku kugunakan untuk membeli obat waktu saya sakit kemarin.'
"Ya Allah Lily mengapa kamu tidak bilang saja pada orang tuamu kalau kamu tidak punya uang? Mengapa kamu juga tidak bercerita kepada ku?" tanyaku sambil keheranan.
"Pantang bagiku untuk meminta lebih dari apa yang diberikan kepada orang tuaku. Berapa pun yang diberikan oleh orang tua saya terima dengan ikhlas. Saya tidak pernah bilang kurang. Aku malu meminta lebih kepada orang tuaku. Karena saya sadar orang tuaku hanya buruh tani dan kerja serabutan. Tapi saya tidak ingin mengecewakan mereka. Saya harus giat belajar, rajin ibadah dan selalu berupaya ber Akhlakul Karimah. Karena hanya dengan ini saya bisa membuat mereka bahagia." Cerita Lily sambil meneteskan air mata.
Aku pun terenyuh dan hatiku menangis mendengar cerita teman baikku. Pikiranku jauh teringat akan kedua orang tuaku yang jauh di sana. Betapa besar dosaku kepada orang tuaku yang selalu merasa tidak cukup dengan kirimanku selama ini.
Ya Allah ya Rabb... Ampunilah dosa-dosa ku selama ini. Berikanlah kesempatan kepada ku untuk membahagiakan kedua orang tuaku.
Contoh Cerpen Hari Santri #6
Hadiah Terakhir
Karya:Farisa Hasn Syahidah
Sudah satu minggu ini, Leona tidak masuk kelas. Dia dirawat di rumah sakit karena menderita kanker otak stadium akhir. Aku teringat bagaimana perangainya sebelum ia dirawat di rumah sakit. Dia sangat aktif, lucu, juga ceria.
Saat aku ulang tahun, ia memberiku boneka panda lucu. Aku sangat ingin membalasnya saat ulang tahunnya.
Hari ini tanggal 2 Juli, sedangkan ulang tahunya tanggal 8 Juli. Jadi, aku dan teman-teman merencanakan surprize untuknya.
Hari mulai berganti, sekarang sudah tanggal 5 Juli. Aku menjenguknya hari ini. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung menangis melihat kondisinya semakin melemah.
Dia sekarang masuk ruangan ICU. Aku meminta izin kepada dokter untuk masuk ke ruang ICU, aku pun diperbolehkan untuk masuk.
"Leona, apa kabar?" Tanyaku, tapi dia hanya menjawab dengan air mata.
"Kenapa Leona? Kenapa kamu meneteskan air mata?"
Dia hanya menjawab dengan lirih.
"Aku menyerah Livi." Katanya.
"Kamu nggak boleh ngomong gitu, aku tahu kamu kuat." Jawabku.
"Tolong panggilkan teman-teman yang lain." Pintanya.
"Ok." Jawabku.
Lalu, aku memanggil teman-teman yang lain. Aku meminta tolong kepada mereka untuk membawakan hadiah Leona.
Selang beberapa waktu, mereka datang. Lalu kami memberikan hadiah berupa boneka beruang untuknya.
Lalu Leona berkata, "Terima kasih atas apa yang telah kalian berikan kepadaku. Dan aku mohon, maafkan aku apabila aku mempunyai salah. Sejak SD kita bersahabat, sampai sekarang kelas 2 SMP. Jadi tolong jangan lupakan aku. Mungkin hari ini adalah hari terakhir kita untuk bertemu."
Mendengar itu, aku dan teman-teman hanya bisa menangis.
Lalu, sekitar lima menit dia mulai melantunkan kata, "Laa ilaaha illallah."
Tidak lama kemudian, dia memejamkan mata. Dan ternyata benar hari ini adalah hari terakhir kami bertemu, dan boneka beruang itu adalah hadiah terakhir untuknya.
Contoh Cerpen Hari Santri #7
Demi Cinta, Aku Rela Tidak Pacaran
Karya: Mansur Jamhuri
Hubunganku dengan Alisa sedang diujung tanduk. Ia minta putus. Aku bingung, karena merasa tidak ada masalah apa-apa.
"Aku ingin mengakhiri hubungan ini," kalimatnya singkat, tapi mendatangkan luka yang tak berkesudahan.
Aku mengenal Alisa ketika acara haul pondok. Saat itu ia sedang bersama keluarganya, sementara aku sedang menjadi panitia prasmanan.
Alisa terlihat bolak-balik ke prasmanan dan nampak kerepotan. Reflek aku antarkan beberapa minuman dan buah-buahan ke tempat keluarga Alisa. Ia sangat senang. Disitulah kemudian aku kenal namanya, Alisa Larasati.
Pertemuan kedua justru terbalik. Alisa sedang menjadi petugas prasmanan di acara hataman putri, sementara aku ditugaskan menjadi penerima tamu. Aku bolak-balik mengantarkan semua yang datang untuk menikmati hidangan.
"Kang Randu, monggo makan dulu, mumpung tamu sedang sepi," katanya dengan sopan.
Itulah awal ia berbicara kepadaku sejak kami kenal. Dan entah bagaimana, hari itu perasaanku terasa berbeda. Aku begitu bersemangat dan betah berlama-lama diputri.
Namun setelah itu, aku tidak pernah bertemu dia lagi. Karena di pesantren, santri putra dan putri dipisahkan oleh bangunan, tembok, juga aturan, pengurus dan keamanan.
Sampai akhirnya, pada waktu liburan pondok, ketika aku di rumah, tanpa sengaja kami bertemu ditempat yang sama. Waktu itu aku sedang pesan bakso langganan yang cukup terkenal di pasar kecamatan. Saat itulah Alisa datang.
Kami menikmati bakso bersama di meja yang sama. Kami ngbrol tidak lama. Aku baru tahu ternyata ia tetangga desaku.
Pertemuan di warung bakso berlanjut di obrolan WA. Di WA ia sangat asyik dan lebih terbuka, terlebih ketika bercerita suka dukanya selama di pondok. Aku merasa nyaman dan betah berlama-lama chatan dengan Alisa. Dari situ aku bertambah yakin akan perasaanku kepada Alisa.
Hingga tanpa terasa, waktu libur pondok akan berakhir. Dua hari lagi kami harus berangkat ke pondok. Jika tidak, kami bisa kena 'taziran'. Kami memutuskan ketemuan.
"Dik Alisa berangkatnya bareng siapa?" tanyaku hati-hati.
"Sama bapak dan ibu, Kang," jawab Alisa dengan wajah yang selalu tertunduk. Ia seperti biasa tidak berani menatapku.
"Kang Randu sendiri sama siapa?"
"Aku berangkat rombongan dengan santri lain."
Kami ngobrol tidak lama, karena Alisa nampak gelisah. Sebentar-sebentar lihat ke jalan.
"Ada apa, Dik?"
"Gak apa-apa, Kang. Gak enak aja kalau ada yang melihat kita." Aku tersenyum maklum. Bagaimanapun gak baik ngobrol berdua dengan lawan jenis dan bukan muhrim, meski bukan dipesantren.
Alisa pulang lebih cepat dari yang kuharapkan. Padahal aku sudah berniat mengutarakan perasaanku. Semalaman aku melatih diri, mempersiapkan apa yang harus aku katakan. Nyatanya aku belum berani dan tidak punya cukup kesempatan. Tapi aku terpana pada kata-katanya sebelum pergi.
"Kang, nanti disana jangan lupa doakan Alisa ya. Biar Alisa semangat dan bisa seperti Kang Randu sampai kelas Alfiyah," ucapnya pelan, tapi debarnya sangat terasa di jantung perasaan. Apakah ini pertanda kalau sebenarnya Alisa juga punya perasaan yang sama?
Hari itu Alisa berangkat ke pesantren. Ia berkirim pesan WA untuk yang terakhir kalinya, "Kang, Alisa berangkat. Sampai jumpa di tempat dimana bertemu menjadi mimpi yang tak bisa menjadi nyata." Aku tersenyum. Aku menangkap ada rindu yang tersamarkan pada setiap kalimatnya.
"Alisa, aku akan menyambangimu setiap waktu, dalam setiap mimpi-mimpiku," kataku dalam hati.
Namun kegembiraan hatiku hanya sebentar lewat. Kakakku sakit dan harus dirawat beberapa hari. Aku terpaksa izin ke lurah pondok tidak bisa berangkat sesuai jadwal. Selama beberapa malam aku tidur di rumah sakit, sampai kakakku sembuh.
Pagi sebelum berangkat ke pondok, rumahku kedatangan tamu yang ternyata ibunya Alisa. Aku kaget, tak pernah menyangka, orang tua dari gadis yang sedang aku eja wajahnya itu ternyata sangat dekat dengan ibuku.
"Randu, ini ibunya Alisa, mau nitip."
Ibuku bercerita tentang kedekatan mereka sewaktu remaja. Jantungku berdesir. Apakah ini petanda kami akan berjodoh?
"Dik Alisa, ini dari ibumu." Kuserahkan titipan kepada Alisa. Ia menerima dengan senyum. Maniiis sekali. Dan ini pertama kalinya Alisa tersenyum kepadaku. Hatiku seperti melayang-layang.
"Maturnuwun, Kang." Itu kalimatnya. Hanya itu. Alisa langsung masuk ke asrama. Meninggalkanku sendirian yang masih terpaku menikmati senyum manis yang barusan ia tinggalkan. Pertemuan singkat, tapi sangat berkesan.
Tapi aku sadar, ini pesantren. Tempat dimana cinta harus dikubur dalam-dalam. Karena membiarkannya tumbuh dan berkembang dalam sebuah hubungan yang disebut pacaran akan berujung pada pengadilan keamanan yang berakhir pada pemboyongan.
Aku meninggalkan asrama putri dengan lunglai: haruskah aku hempaskan cinta ini, bahkan sebelum aku sempat mendeklarasikannya? Bagaimana aku akan berjuang untuknya, jika kata saja tak pernah terucap? Bagaimana dunia tahu, kalau orang yang kucintai saja buta karena tidak pernah aku mengatakannya?
Hari-hariku menjadi tak menentu. Ada kitab-kitab pesantren yang harus kupelajari dengan sungguh-sungguh. Namun ada cinta yang harus aku kejar tapi tak tahu aku harus berbuat apa.
Setiap malam, setiap waktu, wajah Alisa selalu hadir. Senyum itu masih nampak nyata di mata ini. Semakin kupejamkan semakin terlihat manisnya. Juga suara lembut itu, masih terngiang hingga kini, makin terasa di relung hati. Aku kedanan. Aku kasmaran.
Lama-lama aku tidak bisa konsentrasi. Hafalan nadzomku buntu. Semangat belajarku seperti tercabut bersama hatiku yang ambyar. Kuputuskan berkirim surat. Aku harus melakukannya dengan tekad dan nekad. Karena itu rumus cinta santri yang jatuh cinta. Tanpa tekad dan nekad, takkan pernah ada ikatan. Karena sekali lagi, cinta di pesantren adalah barang haram, terlarang dan harus dibuang!
-Ternyata aku yang lebih membutuhkan semangat dari Dik Alisa. Senyum manis Dik Alisa yang kemarin, meski hanya sepintas, mampu melumatkan seluruh jiwaku. Sepanjang waktu, aku selalu khawatir, jika senyum itu akan menjadi milik orang lain. Maka aku memaksa dengan cinta: agar hati Dik Alisa hanya untukku saja.- -Randu-
Sejak hari pertama kukirimkan surat secara rahasia melalui orang yang benar-benar kupercaya, aku selalu berdebar menunggu balasannya.
Hari pertama lewat, aku masih maklum. Mungkin dia butuh waktu untuk memutuskan. Hari kedua, ketiga sampai minggu pertama belum juga ada balasan, aku mulai gelisah. Berkali-kali ku tanyakan ke kurir rahasia ku, berkali-kali pula ia menjawab surat sudah dia terima.
Minggu-minggu berikutnya aku benar-benar tersiksa. Tak ada jawaban. Aku seperti digantung. Aku butuh jawaban: diterima atau ditolak. Bahagia atau merana. Atau mungkin ini cara Alisa menolak cintaku?
Aku hampir putus asa, sampai suatu ketika ada tamu wali santri yang masih terhitung saudaranya Alisa, datang ke asramaku. Ia sedang membesteli ponakannya di asrama putra, yang kamarnya bersebelahan dengan kamarku.
"Kang, ini ada ada titipan dari Ibumu," ia memberikan kardus ukuran sedang, yang kuduga itu makanan sambel goreng kesukaanku. Aku sangat senang sekali. Hal terindah bagi santri adalah dapat kiriman makanan.
"Dan ini," ia memberikan buku yang terbungkus rapi. Aku kaget.
"Ini dari Alisa, dia bilang maaf baru sempat mengembalikannya," katanya. Aku hanya mengangguk pelan. Aku tak pernah meminjamkan buku ke Alisa.
Setelah tamu pulang, langsung kubuka buku dari Alisa. Kutemukan surat. Surat balasan untukku.
-Hatiku tersenyum membaca harapan Kang Randu, yang juga menjadi harapanku. Mulai saat ini, jangan pernah merasa sendiri: karena ada aku yang mencintai.- -Alisa Larasati-
Aku girang bukan main. Nyaris teriak, sebelum menyadari kalau sedang berada dikamar pondok. Aku langsung ke pojok lemariku. Kubaca berkali-kali surat Alisa, sampai hafal setiap kalimat, baris, titik dan komanya.
Sejak itu, lembaran kisahku dengan Alisa berjalan dipenjara suci. Kami sepakat menyembunyikan hubungan ini. Kami menikmati kesunyiannya. Ada kesyahduan, meski ketakutan kepada pengurus keamanan selalu membayangi.
Sampai pada suatu hari, orang kepercayaanku mendapatkan pesannya. Alisa minta putus. Ia bilang tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku jelas gak mau. Aku sayang dan bermimpi bisa bersama selamanya.
"Apa Alisa menyebutkan alasannya?" tanyaku sungguh ingin tahu.
"Ia mengatakan: tak ada yang pantas diperjuangkan oleh santri kecuali ilmu. Dan tak ada yang lebih layak diharapkan dengan sungguh-sungguh kecuali barokah dan ridho dari guru." Aku termangu. Benar memang katanya.
"Ada lagi?"
"Ia minta putus atau dia yang memutuskan."
Aku kaget, juga bingung. Aku berusaha mencari-cari kesalahan apa yang telah aku lakukan, dan aku tak menemukannya. Aku setia. Aku bahagia memiliki hatinya dan aku akan selalu membahagiakannya. Tapi kenapa ia minta putus?
-Sepi, sering menciptakan penjara didalam jiwa insan, menghamparkan paparan kabut yang seperti tak terhingga. Dua hal yang bertentangan tetapi kerap terjelma bersama.-
-Disaat jiwa berkelindan terlilit bosan, sepi adalah sahabat jiwa yang mengerti tentang permenungan, adalah kekasih dari sepotong hati yang merindukan selimut kehangatan-
-Tapi bila kalbu sepi tak terisi oleh jiwa yang memancarkan cahaya kehidupan, kehidupanpun laksana dunia yang terlempar keluar dari bimasakti, jauh dari mentari...-
-Sementara sepi pulalah yang memenjarakan jiwa di lorong-lorong sembab, memicu kerinduan akan hangatnya mentari...-
-Dimanakah mentari kini berada? Sementara sepertinya hari masih berpelukan dengan malam, dan jiwaku masih terlalu asyik memandang purnama tersenyum ditengah kedinginan dan kesendirianku-
-Kurindukan pagi kan segera menjemput, namun ku takut bila panas mentari membekukan keberdayaanku, aku akan merindukan kembali kesejukan rembulan-
-Jadi, manakah??? Sementara aku tak punya sayap tuk menggapai purnama, dan ku tak punya cukup kekuatan tuk berdampingan dengan mentari..-
-Ah...biarlah saja mentari dan rembuan silih berganti, agar jiwaku tak beku ataupun meleleh..-
Mataku berkaca-kaca membaca tulisan Kang Randu. Aku menangis bahagia. Ternyata cinta Kang Randu teramat besar. Tapi ini pesantren, apapun alasannya, aku tak mau pacaran. Terlebih kemarin Mbak Ifah, seniorku di asrama putri sudah mendatangiku.
"Aku cuma mengingatkan, serapat apapun santri menyembunyikan hubungannya dengan santri putra, pasti akan terbongkar juga. Contohnya sudah banyak. Dan kamu tahu hukuman apa untuk santri yang terbukti pacaran, kan? Aku gak mau kamu dibirat." Mbak Ifah mengingatkanku, tapi terdengar seperti ancaman.
"Pikirkanlah. Kamu tahun depan akan diangkat jadi ustadz sekaligus pengurus madrasah. Itu berarti kamu diberi kepercayaan oleh ibu nyai. Jangan kecewakan semua orang yang menyayangimu. Jangan sia-siakan amanah," kata Mbak Ifah sambil meninggalkanku.
Kata-katanya sungguh membuatku takut. Tapi Mbak Ifah benar, apa artinya menjalin kasih jika akhirnya kami berdua harus dipulangkan? Betapa kecewa dan malunya orang tua dan keluarga kami di rumah seandainya kami benar-benar diboyong. Kupejamkan mata ini, membayangkan wajah bapak-ibuku di rumah yang telah bekerja keras banting tulang demi membiayaiku di pesantren.
Maka semakin bulat keputusanku, meski cinta Kang Randu teramat besar untukku, meski aku juga sangat sayang kepadanya, tapi ini pesantren, aku tidak mau pacaran.
"Inilah jalan yang benar ketika santri jatuh cinta," kataku mantap.
Aku sedang menderas kitab kuning ketika sang kurir rahasia masuk ke kamarku.
"Kata Alisa ini adalah surat terakhir dan tidak boleh dibalas. Alisa tak mau lagi menerima surat dari Kang Randu. Apapun alasannya!"
Aku menerima surat Alisa dengan kecewa. Kutaruh surat itu di atas kitab. Aku malas membacanya. Jika surat saja ia tak sudi menerima, apalagi perasaanku? Aku berangkat mengaji dengan hati terluka. Alisa, mengapa kau setega itu?
Namun, ketika malam datang, saat santri lain tertidur lelap, aku penasaran. Bagaimanapun aku harus menghadapi kenyataan dengan berani. Kuambil surat dan keluar asrama, menuju pojok pesantren yang sepi.
-Kang Randu,-
-Biarkan cintaku berkembang dalam diam dan sunyi, karena cinta yang murni takkan mati dalam sepi.-
-Cukuplah doa yang menyatukan kita disini, karena dalam doa, kita tak melanggar aturan penjara suci.-
-Tak usah khawatir. Hatiku terjaga, selagi hati Kang Randu tidak kemana-mana.-
-Aku akan menunggu saat 1002 bait Alfiyah Ibnu Malik diikrarkan dalam ruang sakral,-
-Disana...didepan orang tuaku, di depan penghulu.-
-Bukan di sini, dan bukan saat ini.-
Gusti..!! Ternyata Alisa tidak memutuskanku, tapi menjaga hubungan ini. Ia memutus untuk mengikat. Membebaskanku pergi untuk kembali dalam ikatan suci.
Aku senang, juga tenang. Kurela tidak berpacaran dengan Alisa, karena ada kepastian. Kepastian akan cinta dan masa depannya hanya untukku saja.
Dengan semangat kubuka nadzom alfiyah-ku, ku baca keras-keras:
"Qoola muhammadun huwabnu maliki, Ahmadu robbillaha khoiro maaliki"
"Musholliyan 'alaa an-nabiyyil mushtofa, wa aalihil mustakmiliina syarofa"
Alisa, tunggulah... dua tahun lagi, aku akan datang melamarmu dengan alfiyah-ku.
Contoh Cerpen Hari Santri #8
Sedih dan Tawa: Cerpen Santri
Karya: Ahsan Muhammad
Mentari pagi bersinar cerah diiringi suara ayam berkokok yang terdengar jelas di telinga. Aku yang masih terbaring di tempat tidur langsung beranjak menuju kamar mandi untuk membilas badan. Setelah mandi aku menuju tempat makan untuk sarapan bersama keluargaku.
"Eh, sudah bangun Den."
"Iya Ma, kan hari ini ada ulangan bahasa Indonesia."
"Oh, semangat ya Den ulangannya!"
"Makasih Ma."
Aku langsung mengambil sepeda dan segera mengayuhnya menuju sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah. Sesampainya di sekolah aku langsung disambut oleh pak Dul satpam sekolahku.
"Pagi Den?"
"Pagi Pak, ini ada sedikit makanan untuk Bapak, tapi doain Aden agar dapat nilai baik pada ulangan hari ini ya Pak."
"Makasih Den, oke semoga Aden dapat nilai bagus pada ulangan hari ini Den."
"Amin, makasih Pak."
Aku bergegas menuju parkiran sepeda untuk memarkir sepeda yang kugunakan. Sebelumnya aku dan pak Dul memiliki hubungan yang bisa dibilang dekat karena istri pak Dul adalah karyawan mamaku, sehingga kami sudah lama kenal. Aku langsung bergegas menuju kelas, sesampainya di kelas para murid sudah menyiapkan alat tulisnya untuk ulangan hari ini. Aku berjalan menuju bangkuku sambil membaca kembali apa yang telah kupelajari kemarin malam, tidak lama kemudian.
"Pagi murid-murid."
"Pagi Bu Jum."
"Sudah siap ulangan?"
"Insya-Allah siap Buk."
Bu Jum adalah guru bahasa Indonesia di kelasku. Beliau termasuk guru senior di sekolahku. Bu Jum juga terkenal sifat penyayang dan baik. Semua siswa mulai membaca doa dan langsung mengerjakan soal ulangan bahasa Indonesia dengan tenang. Tidak terasa 60 menit telah berlalu dan aku telah selesai mengerjakan soal ulangan. Aku pun diperbolehkan untuk meninggalkan kelas.
"Gimana Den soal ulangannya, mudah nggak?"
"Alhamdulillah mudah Pak Sis."
"Dapat nilai berapa Den?"
"Masih belum tau, karena pengumumannya nanti siang Pak, bakalan ditempel di mading sekolah."
"Oh.... tapi Den, jika nanti Aden mendapatkan nilai yang bagus janganlah terlalu berbangga ya Den."
"Emangnya kenapa Pak, apa tidak boleh untuk berbangga diri?"
"Bukan tidak boleh, tetapi waktu pasti akan berlalu, tidak selamanya kamu akan senang dan juga tidak selamanya kamu akan sedih."
"Oke deh Pak, Aden pasti ingat kata-kata Bapak."
Pak Siswanto adalah guru di sekolahku. Dia selalu memiliki kata-kata bijak yang membuatku kagum, walau terkadang aku sering lupa kata-kata bijaknya.
Waktu siang pun tiba, bel istirahat kedua berbunyi kencang. Aku yang masih duduk di kelas segera lari, seperti halnya teman-temanku. Iya ke mana lagi kalau bukan ke mading untuk melihat hasil ulangan bahasa Indonesia. Aku berusaha menerobos kerumunan yang ada agar dapat melihat nilai hasil ulangan bahasa Indonesia.
Tidak salah lagi aku mendapat nilai terbaik tingkat kelas, hatiku terasa sangat senang. Aku berniat ingin memamerkan hasil ulanganku kepada kakakku yang selalu mengejekku tak pernah mendapat nilai bagus. Namun entah mengapa terbesit di pikiranku perkataan pak Siswanto tadi bahwa waktu ini akan berlalu. Akhirnya kuurungkan niatku untuk memamerkan hasil ulanganku kepada kakakku karena belum tentu besok aku akan mendapat nilai bagus lagi. Aku pun memutuskan kembali ke kelas dan melanjutkan pembelajaran yang masih tersisa 1 jam pelajaran lagi. Bel pulang sekolah berbunyi, para siswa berlari meninggalkan kelas tidak terkecuali aku yang langsung menuju parkiran sepeda untuk mengambil sepeda. Kugayuh sepedaku secepat mungkin dan aku sudah berada di depan rumah.
"Sudah pulang Den?"
"Sudah Ma."
"Gimana ulangannya?"
"Alhamdulillah baik Ma."
"Alhamdulillah."
Aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan badan. Setelah itu aku minta izin kepada mama karena aku ada bimbingan belajar di rumah pak Siswanto bersama teman-teman.
"Ma, Aden izin dulu ya, mau bimbel di rumah pak Siswanto."
"Sendirian?"
"Sama temen-temen Ma."
"Hati-hati ya Den."
Aku menuju rumah pak Siswanto menggunakan sepeda bersama teman-teman. Sesampainya di rumah pak Siswanto, kami dipersilahkan masuk oleh beliau, sebagaimana yang kalian tahu bahwa pak Siswanto adalah guru agama di sekolahku. Jadi bimbel kali ini berkaitan dengan agama. Pak Siswanto pun memulai tugasnya sebagai guru, menerangkan panjang lebar hingga kami semua paham. Sebagaimana yang dilakukan layaknya seorang guru, pak Siswanto selalu bertanya di akhir pembahasan.
"Ada yang ingin ditanyakan?"
"Tidak Pak."
"Kalau begitu bapak akan tanya."
"Apa itu Pak?"
"Ada sebuah kalimat sederhana, apabila mengingatnya ketika hati sedang sedih bisa membuat hati menjadi gembira, dan apabila mengingatnya ketika hati sedang gembira akan membuatnya menjadi sedih. Ada yang tahu bunyi kalimatnya?"
"Tidak tahu Pak"
"Sebuah kalimat yang berbunyi 'hadzal waqtu sayamdhi' yang berarti "waktu ini akan berlalu."
Waktu pasti akan berlalu, jadi kala kita bersedih ingatlah waktu ini akan berlalu. Perkataan ini pasti akan membuat kesedihan yang kita alami akan berkurang dan juga sebaliknya ketika kita senang maka ingatlah waktu ini akan berlalu. Perkataan ini jugalah yang mengingatkan kita agar tidak terlalu larut dalam kesenangan dan juga sebaliknya tidak terlalu larut dalam kesedihan.
Contoh Cerpen Hari Santri #9
Santri Mencari Berkah Pak Kyai
Karya: Arshavina Putri
Hari minggu di sebuah pondok pesantren di wilayah Nahdumian, Jawa Tengah hiduplah santri kocak.
Hari itu merupakan jadwal keluar para santri dan pada hari itu juga Lukman dan Wahyu berkeliling di sekitar pondok mencari toko pakaian.
"Luk, kamu mau beli apa to? kok ke toko pakaian segala," tanya Wahyu.
"Tak usah banyak tanya, kamu cukup diam nanti juga tahu sendiri," jawab Lukman yang membuat Wahyu semakin penasaran.
Sesaat kemudian mereka sampai di sebuah toko pakaian dekat masjid Agung Jawa Tengah.
"Mas peci warna hitam ukuran lima yang paling bagus ada?" tanya Lukman kepada sang penjual.
"Oh,,, tentu ada dek tapi harganya agak lumayan sih dek," jawab penjual.
"Yaudah mas gak apa, saya beli, berapa harganya," tanya Lukman.
"Seratus lima puluh ribu dek," jawab penjual.
"Ini mas," Lukman menyodorkan ATM dan membayar uang sesuai jumlah yang di maksud.
"Wah jarang ada santri yang bayar cash," kata si penjual.
"hehe, iya mas maklum saya baru dapat transferan" jawab Lukman sambil pamit dengan si penjual.
Sesampainya di pondok....
"Buat apa sebenarnya beli peci, kamu juga punya kan Man?" tanya Wahyu.
"Jadi gini yu, aku kan pengen dapat berkah Pak Kyai," jawab Lukman.
"Terus?" tanya Wahyu sambil kebingungan.
"Aku akan tukar peci pak Kyai dengan peci ini, biar aku dapat berkahnya" jawab Lukman.
"Kok gitu, itu namanya kriminal man, kamu jangan seperti itu gak baik," Wahyu mengingatkan.
"Aku tak peduli, biarkan aksiku ini berjalan lancar" jawab Lukman sambil ngeyel.
Wahyu pun hanya terdiam sambil membaca istighfar yang banyak. Selanjutnya Lukman melancarkan aksinya dengan mengambil peci Pak Kyai di rumahnya lewat pintu belakang.
Lukman menukar peci Pak Kyai dengan peci yang telah iya beli, Lukman berhasil dan berkata dalam hati.
"Alhamdullilah semoga berkah," batin lukman sambil memakai peci Pak Kyai.
Lukman pergi sambil tersenyum bangga.
Di belakang jendela Pak Kyai sebenarnya melihat akan tetapi Pak Kyai hanya berucap,
"Saya biarkan tapi jika besok diulangi baru saya tegur".
*Kisah seperti itu juga terjadi pada sandal, tapi tidak ditukar dengan yang baru., hedeh...
Contoh Cerpen Hari Santri #10
Berkah di Balik Pintu Pesantren
Karya: Fasihi Ad Zemrat
Adam adalah seorang santri, dan ia menganggap Kiainya hanyalah orang tua yang pandai bercakap saja.
Adakah sebuah keindahan yang tersingkap di sini? Ataukah sebuah keajaiban yang mengendap dan mengabulkan semua impian? Adakah semua itu di sini? Di sebuah tempat sederhana, kumuh, dan padat penduduk ini? Mengapa semua orang berbondong-bondong masuk ke tempat ini? Rela berjejal-jejalan tidur dan mengantri dalam segala hal. Aneh. Apakah semua orang sudah kehilangan daya otaknya?
Adalah Adam, seorang remaja tanggung yang mempunyai beribu pertanyaan itu. Jangan tanya tentang alasan ia mondok. Karena alasannya hanyalah satu, menemukan tempat tinggal murah meriah di kota. Pesantren, menurutnya, lebih baik daripada harus ngekos di kos kapsul. Bahkan kos yang ukurannya 2×1 meter persegi itu lebih mahal daripada pesantren.
Tapi tatkala ia bermukim di pesantren ini, beribu pertanyaan merangsek di otaknya. Tepat ketika malam mulai menggelarkan tirainya dan bintang menyemai di sana, sebuah pemandangan tak wajar menyentil matanya.
"Dasar kurang kerjaan. Kenapa pula berdesak-desakan demi sisa air minum Mbah Kiai?" cacinya.
Mendengar pernyataan bodoh itu, Panji menepuk jidatnya dan langsung tertawa.
"Kau ini santri bukan ha, Dam? Sisa air minum itu kan banyak barokahnya," tukasnya.
"Barokah apaan? Banyak penyakit lah iya."
"Adam, Adam. Masa kau nggak percaya dengan barokah? Santri jenis apa kau ini?"
"Eh, Ji, ini tahun 2020. Modern sedikit napa? Takhayul kok masih disembah-sembah."
"Bodo ah."
Barokah adalah hal ter-bullshit kesekian kalinya yang Adam dengar. Semenjak ia menjejakkan kakinya, Adam sadar bahwa kehidupan di pesantren benar-benar tak bisa dilogika. Ia masih ingat ketika malam pertama, dimana telinganya mendengar hal tak logis dari sang Kiai: "Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia."
Adam pun merenung. Ia tatap halaman pesantren yang lengang. Tidak ada sama sekali yang melangkahkan kakinya di atas paving. Mungkin karena rinai gerimis yang kian manis menghasut para santri, sehingga tidak ada yang mau keluar dan memilih tidur berbantal lengan di kamar. Atau mungkin karena angin lembut yang meniup kanopi gazebo sehingga tak ada yang mau bersenda gurau di sana. Entahlah Adam tak tahu. Ia hanya bingung merenungi perkataan orang tua yang menurutnya hanya pintar bercakap itu.
Malam ini hanya secangkir kopi yang menemaninya. Secangkir kopi yang dinikmati berdua dengan makhluk tak jelas bernama Panji. Secangkir berdua bukan romantis, tapi karena keadaan yang memaksanya melakukan ini. Akhir bulan memang selalu mengenaskan.
"Jadi kita nggak usah cari uang, gitu? Ya nggak mungkin lah," pungkas Adam tepat setelah pengajian Mbah Yai selesai.
"Mungkin aja lah. Liat aja Mbah Kiai! Beliau nggak pernah terlihat bekerja tapi beliau malah punya mobil BMW," kilah Panji.
"Eleh, paling itu hanya kebetulan."
"Eh, Dam, mana mungkin kebetulan terjadi berkali-kali. Kau tahu? Bahkan Mbah Kiai pernah menolak pemberian mobil dari orang."
Diam. Hanya itu yang dapat Adam lakukan waktu itu.
Dan sekarang, lagi-lagi Adam duduk termenung di gazebo pondok. Kakinya menjuntai, sedang pandangannya erat menatap rembulan. Bundaran cahaya di tengah langit kelam itu, menyadarkan Adam bahwa ia sudah setahun bermukim di pesantren ini. Sengau sang pungguk turut membisikkan pertanyaan-pertanyaannya yang belum terjawab. Pernah Adam bertanya pada semua santri tentang apa yang menjadikan mereka betah di sini, tapi jawabannya selalu mainstream. Mereka hanya menjawab karena ngajinya bagus atau karena temannya banyak. Sama sekali tidak ada jawaban yang bisa memuaskan Adam.
"Pak Kiai pasti menyembunyikan sesuatu!" tukasnya.
Malam kian menggelayut. Butiran embun kian menjamah, memeluk setiap makhluk. Kesejukan berbalut kedinginan menidurkan semua orang dalam peluknya. Jenuh pun kian menguap, membuat mata Adam terpejam. Lelaki itu duduk bersandar tiang dengan pikiran yang masih mengawang.
Jam terus berputar, menenggelamkan manusia bersama lelahnya. Sayangnya permukaan tiang yang tak rata membuat kepala Adam tergeser dengan sendirinya. Pemuda itu pun terbangun. Matanya mengerjap. Ia masih mengantuk. Namun sebuah pemandangan yang aneh menyempil di sudut matanya. Sang Kiai tengah berjalan sendirian. Adam pun bangun, ia hendak mengawasi gerak-gerik si tua itu.
Adam pun bergegas. Ia bersembunyi di tugu. Kepalanya menyembul, berusaha melihat apa yang dilakukan oleh kiainya. Sungguh aneh melihat orang yang sesepuh beliau dengan jam segini, masih berkeliaran di area pondok, sendirian pula. Bukan hanya berdiri, tetapi juga tengah merapal sebuah mantra, entah apa itu.
"Oh, jadi yang membuat para santri itu betah karena Pak Kiai pasang jampi-jampi?" Otak Adam menyimpulkan sekenanya.
Merasa telah menemukan jawaban yang ia cari, Adam pun meninggalkan orang sepuh yang ia anggap cuma mahir dalam bercakap. Pemuda itu akhirnya bisa tidur nyenyak. Ia tak perlu memikirkan jawaban dari pertanyaannya lagi.
"Tumben. Biasanya kalau setelah ngaji subuh, kau tidur, eh sekarang malah cengar-cengir kaya keledai mau kawin aja," timpal Panji dengan mulut yang masih suka menguap.
"Terserah apa kata kau, yang penting aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaanku," tandas Adam tak berselera.
"Pertanyaan yang kau lontarkan kepada santri-santri sepuh itu?"
Adam hanya mengangguk. Badannya bersimpuh pada tembok ndalem.
"Lalu jawabannya apa?"
"Mbah Kiai menggunakan jampi-jampi," bisik Adam.
Mendengar jawaban seperti itu, kantuk yang semula masih menggelayuti Panji, mendadak menghilang. Matanya seketika membelalak. Bunyi kuap mulutnya berubah menjadi raungan kemarahan. Hendak tangannya meninju bibir si Adam, tapi urung.
"Berani-beraninya kau bilang Mbah Kiai seperti itu?" nada bicara Panji meningkat.
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Orang tua itu memutari pondok sambil membaca mantra."
Panji tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia pun berdiri lalu mengangkat Adam dengan cara mencengkram kerahnya. "Bilang sekali lagi, kusobek mulutmu!" raungnya.
Santri-santri yang terkantuk-kantuk mendadak melek. Sontak mereka bangun dan mengerumuni Panji. Beberapa pengurus langsung keluar dan melerai Adam serta Panji. Naas, tak hanya pengurus serta santri, sang pengasuh pun turut keluar dari ndalem. Teriakan Panji nampaknya membahana di seluruh lingkungan pesantren.
Tak ayal. Seperti mengetahui seluk-beluk perkara, sang Kiai pun langsung mendekat. Para santri pun beringsut mengundurkan diri sembari menundukkan kepala, memberikan jalan bagi sang guru. Melihat sang Kiai, Panji pun langsung bersimpuh. Emosi yang tadi begitu membara, musnah begitu saja.
Dengan lembut, mbah Kiai mengangkat tubuh Panji supaya berdiri. Setelah itu beliau membawanya masuk ke ndalem seorang diri.
"Biarkan aku berbicara dengan Panji. Kalian bisa istirahat," dawuh beliau ketika lurah pondok hendak ikut masuk ke ndalem.
Tanpa meminta sebuah alasan, si lurah pondok langsung mengangguk dan mbah Kiai pun menutup pintu.
Panji langsung bersimpuh. Pandangannya sempurna tertunduk. Pemuda itu sama sekali tak berani menatap gurunya yang berada tepat di depannya.
"Saya sudah mendengar apa yang kamu dan Adam bicarakan. Kamu tahu kenapa kamu yang saya ajak masuk ke ndalem?"
Panji menggeleng, "Mboten, Kiai," celetuknya.
"Tidak seharusnya kau lawan ketidaktahuan dengan kekerasan."
"Tapi, Kiai, dia sudah menghina jenengan."
"Bukan menghina, tapi dia tidak tahu apa yang saya sedang ia lakukan. Bukankah kebaikan tak selalu dibalas air susu? Biarkan dia mempelajari lebih dalam lagi. Bukankah Nabi Ibrahim juga perlu waktu untuk menemukan kebenaran?"
"Leres, Kiai."
"Sekarang beristirahatlah! Minta maaflah kepada Adam!"
Panji pun beringsut mundur, baru setelah sampai di ambang pintu, ia berdiri lalu keluar. Ternyata tepat di daun pintu, Adam tengah berdiri. Sepertinya dia sedang menunggu kedatangan Panji.
"Maafkan aku, Dam. Tidak seharusnya aku membentak orang yang sedang belajar." Panji mengulurkan tangannya.
Adam pun menerimanya. Tatapannya kosong. Otaknya dipenuhi oleh banyak pikiran. Melalui daun pintu yang terbuka sedikit, ia sempat mendengar semua percakapan mbah Kiai dengan Panji tadi. Sontak hal itu membuatnya bingung, tak mengerti. Ada sesuatu yang mengalir jernih di sanubarinya. Entah apa itu.
Nah, itulah tadi 10 cerpen Hari Santri Nasional yang dapat menginspirasi. Semoga membantu ya!
(urw/alk)