Tanggal 7 September ditetapkan sebagai Hari Perlindungan Pembelaan HAM Nasional. Peringatan tersebut bertepatan dengan hari meninggalnya aktivis hak asasi manusia (HAM), Munir Said Thalib.
Lantas, apa kaitan Hari Perlindungan Pembelaan HAM dengan kematian Munir?
Munir dikabarkan meninggal pada 7 September 2004, 2 jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam akibat racun arsenik.(1) Kabar tersebut meninggalkan luka mendalam tidak hanya bagi keluarga Munir, tetapi juga masyarakat Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Semasa hidupnya, Munir telah berjasa mengawal sejumlah kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa terhadap orang-orang yang mengkritisi pemerintah. Keberanian Munir tentu saja didukung bagi kelompok aktivis yang kontra dengan kebijakan pemerintah pada Orde Baru.
Munir sendiri tergabung dalam Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan Munir dalam membela hak asasi manusia, KontraS sebagai civil society mendorong agar tanggal pembunuhan Munir ditetapkan sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Nasional.(2)
Butuh waktu yang cukup lama hingga hal itu terwujud. Di tahun 2021 Komnas HAM melalui Konferensi Pers Peringatan Hari Perlindungan Pembela HAM Indonesia secara resmi menetapkan tanggal kematian Munir, 7 September, sebagai Hari Perjuangan Pembela HAM Indonesia.(3)
Penetapan Hari Perjuangan Pembela HAM ini bertujuan untuk melindungi para pembela HAM dari serangan yang berpotensi terjadi pada saat melakukan kerja-kerja dalam memperjuangkan hak asasi warga negara.
Hasil Konferensi Pers Peringatan Hari Perlindungan Pembela HAM Nasional
Selain menetapkan tanggal 7 September sebagai Hari Perlindungan Pembela HAM Nasional, konferensi tersebut juga menghasilkan sejumlah kesepakatan berkaitan dengan pembelaan HAM di Indonesia.
Berikut ini upaya perlindungan dan pemulihan bagi para pembela HAM yang direkomendasikan oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK dana konferensi tersebut:
- Mendesak DPR RI untuk melakukan perubahan kebijakan yang dapat mengancam bagi kerja-kerja para pembela HAM (UU ITE/UU Minerba/UU Cipta Kerja), serta melakukan perubahan UU HAM yang memperkuat peran dan fungsi lembaga negara independen untuk mendorong ruang perlindungan dan pemulihan secara menyeluruh terhadap pembela HAM dan perempuan pembela HAM.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk segera menetapkan peraturan menteri anti SLAP terkait dengan implementasi Pasal 66 Undang-Undang Lingkungan Hidup.
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk turut membangun sistem perlindungan melalui rumah-rumah aman bagi tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran (PPHAM) yang mengalami kekerasan/serangan.
- Aparat Penegak Hukum untuk memperhatikan penerapan Pasal 10 UU No 31 tahun 2014 atas Perubahan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta menyebarluaskan Pasal tersebut secara masif, khususnya kepada Aparat Penegak Hukum dan organisasi masyarakat sipil di seluruh Indonesia. Selain itu menggunakan mekanisme berbasis hak asasi manusia dalam menangani kasus-kasus pembela HAM dan tidak mudah menerapkan sanksi untuk mengkriminalisasi mereka.
- Media (offline dan online) untuk lebih intensif dalam mempublikasikan persoalan Pembela HAM demi memperkuat pemahaman publik.(3)
Mengenal Sosok Munir
Munir yang tanggal kematiannya diperingati sebagai Hari Perlindungan Pembelaan HAM merupakan salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Organisasi ini bergerak di bidang advokasi hak asasi manusia Indonesia.
KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa, tapi juga diminta oleh masyarakat untuk menangani berbagai kasus kekerasan.
Di masa itu KontraS dihadapkan pada situasi sulit, civil society sulit berkembang di bawah rezim Soeharto karena adanya sentralisasi kekuasaan oleh negara. Pemerintah melarang segala bentuk organisasi politik lain agar stabilitas politik, sosial dan ekonomi negara tetap terjaga.
Kelompok-kelompok yang mengkritisi kebijakan pemerintah dianggap sebagai ancaman. Rezim Soeharto di masa itu telah memasung kebebasan berserikat dan berpendapat. Pemerintah bahkan tak segan melakukan melakukan tindakan-tindakan koersif dan represif bagi kelompok yang mencoba melanggar.
Sejak saat itu, konflik horizontal antara pemerintah dan kelompok aktivis mulai banyak terjadi. KontraS yang pada saat itu dipimpin Munir, mulai melakukan advokasi terhadap peristiwa penculikan salah salah satu aktivis. Tentu saja hal tersebut menjadi bahan perbincangan di media nasional bahkan internasional.
Keberanian Munir untuk menyuarakan permasalahan pelanggaran HAM, ternyata menjadi ancaman bagi petinggi-petinggi. Munir dan KontraS seringkali mendapat teror dan ancaman.
Puncaknya pada tanggal 7 September 2004, Munir meninggal karena diracun arsenik dalam dosis yang tinggi. Saat itu, Munir tengah berada dalam penerbangan menuju Amsterdam guna melanjutkan kuliah pascasarjana.(2)
Sumber:
1. Dokumen Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) 'Bunuh Munir'
2. Jurnal Universitas Diponegoro 'Analisis Peran Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sebagai Civil Society dalam Pengungkapan Kasus Pembunuhan Munir'
3. Laman resmi Komnas HAM
(urw/alk)