Hutan mangrove di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat mengalami kerusakan diduga karena aktivitas industri PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI). Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat pun turun tangan mengusut kerusakan itu.
"Terkait kerusakan itu (hutan mangrove), nanti dari dinas kehutanan dari Provinsi akan setiap tahun melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pembinaan dan proses reboisasi," ujar Pj Gubernur Papua Barat Paulus Waterpauw kepada wartawan, Sabtu (2/9/2023).
Paulus mengatakan PT BUMWI yang selama ini mendapatkan izin industri mengelola hutan mangrove Teluk Bintuni. Namun izin tersebut telah dicabut dan telah diterbitkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2023 terkait Perlindungan Terhadap Hutan Mangrove.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"PT BUMWI ini awalnya memiliki izin tahun 2007 untuk luasan area izin mereka adalah 82.120 ha namun saat ini izin sudah dicabut," ungkapnya.
Lanjut Paulus, PT BUMWI tidak lagi melakukan penebangan (pemanenan) kayu mangrove sejak izinnya dicabut dan beralih ke jasa lingkungan. Di sisi lain, perusahaan tersebut berjanji akan memulihkan area bekas tebang tersebut.
"Sekarang mereka sudah beralih ke jasa lingkungan yang sekarang sedang dalam proses di KLHK. Kedua, terhadap area bekas tebangan mereka janji akan dipulihkan tentunya bekerja sama dengan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten," katanya.
"Juga komitmen kami dari pemerintah adalah karena mangrove masuk dalam kawasan yang dilindungi dan juga pemanfaatan yang berkelanjutan dalam RT/RW Papua Barat kami sudah cantumkan di tahun 2022 dan juga di tahun 2041," tambahnya.
Paulus menyebut Papua Barat memiliki hutan mangrove seluas 471.902 hektare dan yang paling besar ada di Teluk Bintuni. Kehadiran Mangrove sebagai pelindung bagi daerah pesisir dari abrasi, gelombang tinggi hingga tsunami serta penghasil CO².
"Jadi ada kurang lebih 471.902 hektare yang pemanfaatannya terutama melindungi daerah pesisir dari abrasi, gelombang pasang ataupun tsunami. Juga merupakan habitat flora dan fauna di sekitar pesisir pantai," paparnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Sementara itu Manajer Umum dan Personalia PT BUMWI, Kevin enggan menanggapi terkait kerusakan hutang mangrove di Teluk Bintuni. Namun dia mengatakan penanaman ulang pohon mangrove butuh waktu dan ada aturannya.
"Kalau soal itu (kerusakan), mungkin saya kurang bisa komentar yah karena itu bukan bagian dari saya tapi setahu saya memang ada regulasi yang mengatur untuk penebangan itu tidak langsung dilakukan penanaman, tidak seperti begitu," katanya.
"Ada pengaturan untuk 3 tahun kemudian baru dilakukan penanaman itupun dilihat dari sisi pemudahan alamnya sendiri, pertumbuhannya seperti apa, kekurangannya itu yang dilakukan pengadaan bibit dan kegiatan penanaman itu," lanjutnya.
Kevin menambahkan PT BUMWI beroperasi sejak tahun 1988 dan ekspor perdana pada tahun 1989 dengan negara tujuan Jepang. Namun sejak 2022 perusahaan melakukan ekspor terakhir setelah izinnya dicabut.
"Jadi, perusahaan ini sudah beroperasi sejak tahun 1988 itu sudah mulai penebangan dan ekspor perdana di tahun 1989 ke Jepang. Dan izin HPH pertama awalnya 137 ribu ha, terus untuk pembaharuan setelah 20 tahun sekitar 80-an ribu ha. Kami hanya mengelola dari kayu bulat dari hasil HBH sendiri menjadi chip," tutupnya.