- Contoh Cerpen tentang Hari Kemerdekaan Cerpen 1: Lomba Makan Kerupuk Cerpen 2: 17 Agustus Telah Tiba! Cerpen 3: Sekali Merdeka, Tetap Merdeka! Cerpen 4: Bendera Merah Putih yang Lusuh Cerpen 5: Perjuangan di Kota Kecil Untuk Ibu Pertiwi Cerpen 6: Lomba Membersihkan Kelas Cerpen 7: Melirik Perjuangan Rakyat Biasa
Hari Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia (RI) kini tinggal menghitung hari. Dalam memeriahkan Hari Kemerdekaan tersebut ada berbagai cara yang dilakukan, salah satunya dengan melakukan kegiatan literasi seperti membuat cerita pendek (cerpen) tentang Hari Kemerdekaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerpen merupakan cerita pendek yang di dalamnya tidak lebih dari 10.000 kata dan biasanya isi dalam cerpen tersebut hanya memusatkan satu tokoh atau peristiwa yang dialami.
Cerpen bertema hari kemerdekaan ini mengandung berbagai pesan tentang makna kemerdekaan. Pesan di dalam cerpen-cerpen berikut juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ini contoh cerpen tentang Hari Kemerdekaan dengan yang dapat detikers jadikan sebagai referensi dalam mengerjakan tugas sekolah ataupun mengikuti lomba menulis cerpen.
Contoh Cerpen tentang Hari Kemerdekaan
Cerpen 1: Lomba Makan Kerupuk
Di salah satu sekolah tepatnya di SD Harapan Bangsa, untuk memeriahkan acara hari kemerdekaan ada lomba makan kerupuk. Semua peserta berbondong-bondong untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Lomba ini merupakan lomba yang cukup diminati bagi anak karena caranya cukup mudah dan bisa makan enak tentunya kerupuk adalah sebuah makanan ringan yang cukup terkenal di Indonesia.
Ketika semua persiapan telah di mulai ada 10 gantungan kerupuk di setiap jajarannya. Setiap anak mulai memilih di bagian mana mereka ingin berdiri. Namun, ada salah satu anak yang cukup menjadi perhatian.
Dia bernama Nadia, dia merupakan seorang anak SD kelas satu. Dia memakai kursi untuk mengikuti lomba makan kerupuk tersebut. Sehingga sang guru pun bertanya.
Guru: "Mengapa Nadia membawa kursi, untuk apa?"
Nadia: "Kata Umi kalau makan itu tidak boleh berdiri kita harus duduk, selain sunnah itu juga merupakan perilaku yang baik dan sopan."
Guru pun mulai mengangguk-ngangguk mengucapkan terima kasih kepada Nadia telah mengingatkan kita semua. Hingga dari saat itu tidak lagi ada lomba kerupuk yang berdiri namun lomba makan kerupuknya sambil duduk.
Cerpen 2: 17 Agustus Telah Tiba!
Aku bernama Fajri, aku bersekolah di SD Nusa Bangsa. Kemarin bapak guru Budi telah mengumumkan bahwa siswa kelas 5 dan kelas 6 harus mengikuti upacara di lapangan Desa.
Hari ini pukul setengah lima pagi aku sudah bangun lalu mandi dan mempersiapkan segalanya. Ketika aku mulai menyetrika baju tak sengaja saku bajuku kemasukan setrika karena terlalu cepat hingga membuat saku baju robek.
Aku mulai bingung karena ini adalah seragamku satu satunya yang masih layak. Aku berpikir sejenak benda apa yang bisa menolongku sekarang. Agar saku baju ini bisa menempel kembali.
Aku tak ingin memberi tahu ibu. Aku tau ibu begitu sibuk dengan cetakan tempe-tempenya. Dan bahan membuat tempe sedang melambung tinggi kadang upah dari membuat tempe yang tak seberapa hanya cukup untuk kami makan.
Tak ada niatan aku untuk ingin mengganti seragam. Namun kini karena kecerobohanku saku bajunya terkoyak aku tidak tinggal diam karena ini sudah jam 6 pagi aku tak akan sempat untuk menjahitnya maka aku menggunakan double tip dari tempat pensilku.
Akhirnya benda itu dapat menolongku untuk sementara aku bisa ikut upacara bendera untuk memeriahkan hari kemerdekaan. Hanya ini yang bisa aku lakukan ikut memeriahkan meski arti sebuah merdeka dari keluargaku yang lepas dari kemiskinan belum juga usai.
Kami masih terjajah dengan harga-harga yang melambung tinggi, kami masih terjajah dengan sulitnya mencari pekerjaan kami masih terjajah dengan kata kemiskinan.
Cerpen 3: Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!
17 Agustus tahun 45 itulah Hari Kemerdekaan kita.
Hari merdeka nusa dan bangsa.
Hari lahirnya bangsa Indonesia.
Semua anak-anak paduan suara bernyanyi dengan penuh sukacita dan penuh semangat. Kami kelas 4 di tugas untuk menjadi paduan suara di acara upacara kemerdekaan 17 Agustus yang ke 78 tahun.
Kami bangga menjadi paduan suara, suara gemuruh semangat kami mencerminkan diri kami yang cinta akan tanah air ini yaitu Indonesia. Setiap baitnya kami hayati.
"Makna kemerdekaan bagi kalian sebagai pelajar adalah mengisi kemerdekaan dengan hal yang bermanfaat untuk nusa dan bangsa menjadi siswa siswi yang berprestasi, berakhlak dan juga menjadi pelopor kemajuan bangsa."
Itulah kata-kata bu Afni yang selalu kami ingat wali kelas 4 kami. Beliau selalu memberikan semangat untuk siswa siswinya. Sehingga di hari upacara ini paduan suara kami begitu mantap dan sangat bersemangat hingga menyukseskan upacara Hari kemerdekaan.
Cerpen 4: Bendera Merah Putih yang Lusuh
Matahari sudah kembali terbit. Tapi entah mengapa, Pak Edward tak kunjung memasang bendera merah putih.
Aneh rasanya, padahal para tetangganya bahkan seluruh warga desa sudah menyilakan bendera merah putih untuk berkibar di depan halaman rumah. Sehari-hari Pak Edward memang sibuk. Sebagai seorang kurir, setiap saat ia harus pergi ke sana kemari demi mengantarkan paket dan kiriman yang sebelumnya dipesan oleh pembeli secara online.
Tapi, ya, jangankan Pak Edward. Semua orang juga sibuk, kok. Dan rasanya siapa pun yang tinggal di Bumi Pertiwi tercinta akan tergerak untuk memasang bendera kebangsaan RI untuk menyambut momentum kemerdekaan. Tidak terkecuali, Pak Edward pasti lebih mengerti.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pak Edward diberi libur kerja dan sekarang ia sedang santai bermain dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun.
Ya, anak beliau adalah seorang perempuan yang sedang duduk di kelas 3 SD, namanya Riska.
"Ayah, Ayah. Mengapa kok di halaman rumah kita tidak dipajang bendera merah putih? Kan sebentar lagi ada perayaan HUT ke-78 RI?"
"Tidak apa-apa, Nak. Para tetangga juga jarang bertamu. Tambah lagi dengan Ayah, tiap hari Ayah bepergian ke sana kemari. Sudah puas rasanya melihat kibaran bendera."
"Tapi Riska malu, Ayah! Masa teman-temanku bilang bahwa keluarga kita tidak mau mengenang jasa para pahlawan yang dulu berjuang melawan penjajah."
"Lho, Riska kan setiap hari Senin melaksanakan upacara, kemudian juga mengheningkan cipta. Semua itu dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan, kan? Cukup. Ayah mau beli cemilan sebentar."
Lagi-lagi Riska tidak puas dengan jawaban Pak Edward. Dirinya semakin bingung dan gelisah, entah apa alasan yang bakal ia katakan kepada guru maupun teman-temannya.
Lima belas menit berlalu, Pak Edward pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus gorengan. Ketika ingin menyapa Riska, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu seraya meneteskan air mata.
Pak Edward tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Riska dengan suara lantang.
"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno."
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Edward pun segera mencari bendera merah putih yang selama ini tersimpan di lemari. Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang, karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh. Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Edward.
Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang tahu. Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!
Cerpen 5: Perjuangan di Kota Kecil Untuk Ibu Pertiwi
Di sebuah kota kecil yang terletak di pedalaman, terdapat sebuah komunitas masyarakat yang berjuang untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Tetapi, harus menghadapi banyak rintangan dan tantangan yang tidak gampang.
Komunitas ini terdiri dari sekelompok pemuda dan pemudi yang memiliki semangat tinggi untuk memperingati kemerdekaan negara mereka. Namun, mereka harus menghadapi keterbatasan sumber daya dan dukungan dari pemerintah setempat. Tidak ada dana yang cukup untuk mempersiapkan acara yang meriah dan memadai.
Namun, semangat mereka tidak goyah. Mereka bersatu dan bekerja keras untuk mengatasi segala rintangan yang ada. Dengan keterbatasan dana, mereka mengumpulkan sumbangan dari warga sekitar dan melakukan berbagai kegiatan penggalangan dana, seperti bazaar dan konser amal.
Tantangan lain yang mereka hadapi adalah kurangnya fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Tidak ada panggung atau lapangan yang cocok untuk menyelenggarakan acara perayaan. Namun, mereka tidak menyerah. Dengan kreativitas dan kerja keras, mereka menggunakan lapangan yang ada dan membangun panggung sederhana sendiri.
Selain itu, mereka juga harus menghadapi perbedaan pendapat dan perselisihan di dalam komunitas. Tidak semua anggota sepakat tentang bagaimana acara perayaan harus diselenggarakan. Namun, mereka belajar untuk mendengarkan satu sama lain, menghormati perbedaan, dan mencari solusi yang terbaik untuk semua pihak.
Meskipun menghadapi berbagai rintangan dan tantangan, pada akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Pada tanggal 17 Agustus, komunitas ini melaksanakan acara perayaan kemerdekaan dengan semangat dan kebanggaan. Meski sederhana, panggung yang mereka bangun dipenuhi dengan tarian, musik, dan penampilan seni yang memukau.
Warga sekitar datang untuk menyaksikan dan ikut merayakan. Meskipun acara tidak sebesar yang diharapkan, semangat persatuan dan kebersamaan begitu kuat terasa di udara. Mereka menyanyikan lagu-lagu patriotik, menceritakan kisah-kisah pahlawan, dan mengenang perjuangan yang telah dilakukan untuk mencapai kemerdekaan.
Pada akhirnya, meskipun penuh dengan rintangan dan tantangan, perayaan 17 Agustus ini menjadi momen yang berarti bagi komunitas ini. Mereka belajar untuk berjuang bersama-sama, mengatasi kesulitan, dan menghargai makna sebenarnya dari kemerdekaan. Semangat mereka tidak pernah padam, dan mereka berkomitmen untuk terus merayakan dan menjaga warisan perjuangan para pahlawan mereka.
Cerpen 6: Lomba Membersihkan Kelas
Guru di SMP Sukomulyo telah mengumumkan bahwa kegiatan untuk memeriahkan 17 agustus semua kelas akan melakukan lomba membersihkan kelas.
Ketika kelas VII dan kelas IX sibuk mempersiapkan dari jauh jauh hari yaitu dari tanggal 11 mereka sudah mulai mempersiapkan kelas mereka sedemikian rupa.
Namun ada satu kelas yaitu kelas VIII yang masih belum mempersiapkan apa-apa mereka begitu biasa saja ketika melihat yang lain sibuk. Hasrul merupakan ketua kelas dari kelas VIII tersebut.
Pada tanggal 13 agustus ada salah seorang teman Hasrul yaitu Niken mulai protes kepada Hasrul kenapa kelas kita tidak ikut lomba seperti kelas yang lain dan Budi pun menjawab.
"Kita membersihkannya nanti saja setelah dekat tanggalnya."
Niken: "Mengapa begitu? Kita bisakan memulainya dari sekarang"
Hasrul: "Karena aku gak mau tiap hari buang sampah padahal itu bukan hari piketku" dengan nada sedikit tinggi.
Niken dan teman-temannya yang lain pun mulai saling menatap sadar atas kesalahan masing-masing yang sering kali lupa membersihkan sampah di kelas ketika di hari piket.
Hasrul: "Bukan aku tak mau lomba seperti yang lain tapi aku ingin tidak hanya aku yang membersihkannya, meski aku sebagai ketua kelas tapi apa aku harus terus membersihkan tempat sampah," dengan nada mulai sedikit tenang.
Teman-teman: "Maafkan kami, Hasrul kami sadar telah lalai dan tak akan mengulangi kesalahan kami, kami janji akan membuah sampah pada tempatnya dan piket di hari piket dengan benar.
Hasrul: "Maafkan aku juga yang selama ini diam tidak berani menegur kalian, baiklah kita mulai mengerjakan mulai besok dengan bergotong royong."
Teman-teman: "Baiklah!"
Mereka akhirnya sibuk melakukan bebersih kelas secara gotong royong dan suka ria.
Cerpen 7: Melirik Perjuangan Rakyat Biasa
Saudara dari Asia yang kami harapkan akan membebaskan kami dari kungkungan penjajahan Belanda, datang hanya untuk semakin memperburuk kehidupan kami yang ternyata kedatangannya hanya untuk mengeruk kekayaan alam Hindia Belanda untuk modal dan markas cadangan mereka selama Perang Dunia II.
Ayah, dan para warga Desa berusaha untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Semua warga Desa saling bekerjasama untuk mengusir si Cahaya Asia yang membuat kami sengsara itu segera pergi dari Negara kami.
Ayah yang saat itu pernah belajar beladiri silat dari Haji Niung mengajarkan ilmu-ilmu dasar silat yang harus dikuasai oleh para pemuda Desa yang saat itu Rata-rata masih berusia 15 tahun. Sedangkan ibu, dan ibu-ibu Desa lainnya menyiapkan makanan, minuman, dan juga mengajarkan ilmu-ilmu keistrian kepada para Kembang Desa.
Hingga hari yang ditunggu pun tiba. Aku dan pasukan Desa yang sudah siap untuk bertempur dengan para pasukan tentara Jepang mulai menyerbu pos keamanan kecil mereka di sebelah selatan Desa, yang berbatasan dengan Hutan. Dua pasukan Jepang berhasil kami tumbangkan dengan alat seadanya. Hanya Bambu Runcing dan Clurit lah yang jadi senjata mematikan kami.
"Markas mereka ada di sebelah Selatan. Kita berpencar. Yang ada di belakangku, kita pergi ke arah Utara. Dan yang ada di belakang Mas Daryat, pergi ke arah Timur," ucap Ayah memberi aba-aba.
Aku yang berada di belakang Ayah pergi ke arah Utara dengan memutar jalan dari Hutan tempat pos Jepang tadi ke gudang belakang markas dengan sebuah clurit berlumuran darah di tanganku.
"Kalian jangan menyerah! Kalau mau lawan, ya lawan. Jangan tunggu Aku untuk datang. Kita sudah latihan. Terapkan hasil latihan kita sekarang. Buktikan bahwa perjuangan rakyat biasa seperti kita itu sebagai perjuangan untuk meraih kemerdekaan!" Tegas Ayah saat pasukan kami sudah berada tidak jauh dari pintu gudang.
Setelah memberi aba-aba, dan bersiap, pasukan kami mulai memasuki gudang markas yang berisi beberapa bom yang ditaruh dengan rapi. Karena posisi mengancam ini, kami mengatur strategi dadakan. Yaitu aku dan Ayah akan membunuh pimpinan mereka.
Ketika salah seorang pemuda berhasil mengecoh para tentara Jepang itu, Aku dan Ayah memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari pergi ke lantai atas tempat dimana pimpinan para tentara Jepang ini diam. Begitu kami masuk, kesempatan yang sangat beruntung menanti di hadapan kami.
Pimpinan tentara itu sedang menyaksikan bagaimana pasukan kami dengan alat seadanya berusaha melawan pasukannya yang dilengkapi dengan senapan laras panjang, dan siap untuk meledakkan bom jika diperlukan.
"Sttt... kau ambil ini. Jika Aku ditikam atau ditembak mati olehnya, kau lanjutkan perlawanan ini," ucap Ayah sambil menepuk bahuku dan tersenyum lalu pergi ke arah si pimpinan tentara Jepang itu.
Darah menyembur ke seluruh tempat itu hingga mengenai pipiku yang sedang bersembunyi di balik lemari kayu yang terletak tak jauh dari pintu. Dalam hati aku berdoa, agar pimpinan tentara Jepang itu yang mati. Bukan Ayah.
Perlahan suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku saat itu memegang sebuah clurit dan satu senapan laras panjang curian Ayah yang diberikan padaku. Jika ini akhir dari hidupku, Aku merasa bangga bahwa Aku melakukan ini untuk negaraku.
Langkah kaki itu mulai mendekat dan..
CLEB!
Clurit yang Aku pegang yang sebelumnya telah berlumuran darah itu menancap dengan kuat di perut sang Jenderal. Darahnya mulai mengalir dari perut, dan mulutnya. Ia tersenyum padaku lalu jatuh tersungkur.
Dengan perasaan campur aduk, aku merasa jika aku sudah melakukan yang terbaik bagi negaraku. Dengan cepat aku mendekati Ayah yang sudah meregang nyawanya terlebih dahulu dan menggendongnya di punggungku.
"Setidaknya perjuangan Ayah tidak sia-sia."
Malam itu, aku pulang dengan selamat bersama dengan 12 pemuda Desa lainnya yang masih bisa bertahan. Mereka yang gugur, akan selalu kami kenang sebagai pahlawan. Pahlawan untuk kami. Warga Desa yang lemah.
Nah, itulah 7 contoh cerpen tentang Hari Kemerdekaan yang bisa menjadi referensi detikers. Semoga bermanfaat ya!
(urw/urw)