Kisah Pengasingan Pangeran Diponegoro hingga Wafat dan Dimakamkan di Makassar

Kisah Pengasingan Pangeran Diponegoro hingga Wafat dan Dimakamkan di Makassar

Nur Ainun - detikSulsel
Sabtu, 15 Jul 2023 17:35 WIB
Pangeran Diponegoro
Foto: (dok. istimewa)
Makassar -

Pangeran Diponegoro adalah sosok yang memimpin perlawanan terhadap Belanda dalam Perang Diponegoro atau Perang Jawa. Di sisa hidupnya, pahlawan kemerdekaan ini diasingkan selama 25 tahun hingga akhirnya wafat dan dimakamkan di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Sebelumnya Pangeran Diponegoro sempat memimpin pertempuran besar melawan Belanda di tahun 1825. Namun di tahun 1827 Belanda juga melakukan penyerangan sehingga pergerakan pasukan Diponegoro semakin terbatas.

Pada akhirnya di tahun 1830 Jenderal De Kock berhasil mengepung pasukan Diponegoro di Magelang. Saat itu Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangeran Diponegoro kemudian ditangkap dan diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar. Dia mulai berada di Benteng Rotterdam, Makassar sejak tahun 1833 hingga akhir hayatnya pada tahun 1855.

Berikut ini kisah Pangeran Diponegoro saat dirinya diasingkan hingga dimakamkan di Kota Makassar.

ADVERTISEMENT

Pangeran Diponegoro Diasingkan

Dalam jurnal UIN Alauddin Makassar yang berjudul 'Perjuangan Pangeran Diponegoro Melawan Belanda' dijelaskan bahwa Pangeran Diponegoro menjadi pemimpin perang Diponegoro selama lima tahun, yakni sejak 1825-1830. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro menggunakan taktik gerilya.

Setelah memperjuangkan hak-hak masyarakat Jawa, Diponegoro harus merasakan kekalahan. Pangeran Diponegoro ditangkap pada saat melakukan perundingan di wilayah Magelan pada tahun 1830.

Saat itu juga pihak Belanda langsung membawa Pangeran Diponegoro ke dalam kereta menuju ke Batavia untuk menemui jenderal Belanda, Van den Bosch. Dalam perjalan Pangeran Diponegoro merasa tidak nyaman lantaran penyakit yang dideritanya yakni malaria.

Setelah dari Batavia Pangeran Diponegoro dan keluarganya dibawa ke tempat pengasingannya di Manado. Di perjalanan cuaca tidak mendukung karena pada saat itu sedang angin barat.

Sesampainya di Manado Pangeran Diponegoro dikawal ketat oleh pihak Belanda, bahkan pemberangkatannya pun tidak luput dari penjagaan yang diberikan pihak Belanda. Pangeran Diponegoro dikawal tentara serdadu sebanyak lima puluh orang.

Saat diasingkan Pangeran Diponegoro tetap diberikan tunjangan karena dia adalah tahanan politik dari kalangan kerajaan. Pada saat Pangeran Diponegoro sampai di Manado (Minahasa) permasalahan mulai bermunculan.

Penyebabnya adalah adanya surat perintah yang diberikan jendral ke Residen untuk membuat benteng di sekitaran Manado hanya untuk Pangeran Diponegoro. Namun surat yang diberikan ke Residen Manado itu susah di terealisasikan.

Singkat cerita, pada tanggal 20 juni 1833 Pangeran Diponegoro dipindahkan dari Manado ke Makassar tepatnya di benteng Fort Rotterdam. Hal itu dilakukan karena pada saat itu pihak Belanda mengalami kondisi darurat politik internasional di Eropa, sehingga memaksa Belanda untuk memindahkan Pangeran Diponegoro secara diam-diam ke Makassar.

Setibanya di Makassar pada tanggal 11 Juli 1833, Pangeran Diponegoro dan keluarganya dijaga lebih ketat dibandingkan Manado. Pangeran Diponegoro tidak diizinkan berkeliaran di luar tembok benteng Rotterdam karena harus mengikuti aturan dari pihak Belanda.

Pangeran dan keluarganya ditahan di ruangan perwira yang dekat dengan pos jaga utama. Di tahun 1838 Pangeran Diponegoro tidak hanya berdiam diri untuk menunggu ajalnya saja, tetapi ia mulai menyusun dua naskah yang berjudul Sejarah Ratu Tanah Jawa, dan Hikayat
Tanah Jawa.

Pangeran DiponegoroPangeran Diponegoro Foto: (dok. istimewa)

Wafatnya Pangeran Diponegoro

Beberapa tahun sebelum kematiannya, Pangeran Diponegoro mendapatkan sepucuk surat dari ibunya yang sudah berusia lanjut, Raden Ayu Mangkorowati. Kedatangan surat ini membuat Pangeran Diponegoro sangat bergembira dan terharu.

Bagaimana tidak gambaran hati orang yang telah diasingkan ditikam rindu entah sampai kapan. Pangeran pun turut menulis surat untuk ibunya, dalam suratnya dia menuliskan bahwa sejak saat itu sampai kapanpun, dia akan menunggu kedatangan ibunya.

Di saat itu Pangeran selalu menaiki tangga ke atas loteng untuk melihat ke pelabuhan. Namun harapan Pangeran Diponegoro tidak bisa terwujud karena ibunya yang telah berusia lanjut tidak bisa lagi melakukan perjalanan jauh.

Sebagai gantinya, sang ibu kembali mengirim surat yang isinya berisi kerinduan terbesarnya. Ibunya juga menuliskan doa agar anaknya diberikan kesehatan dan kewarasan hingga akhir nanti bertemu kembali di akhirat.

Ibu dan anak ini meninggal dunia dalam jarak waktu dua tahun. Raden Ayu Mangkorowati meninggal pada 7 Oktober 1852 sementara anaknya, Pangeran Diponegoro, wafat pada 8 Januari 1855.

Sebelum wafat, Pangeran Diponegoro meminta dirinya, istri, dan anak-anaknya tidak dipulangkan ke tanah Jawa. Dia ingin dimakamkan di Kota Makassar tempat Pangeran Diponegoro mengembuskan napas terakhir.

Hal itu diungkapkan oleh keturunan kelima Pangeran Diponegoro, Raden Hamzah Diponegoro. Dia mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah memilih Makassar sebagai tempat ia dimakamkan.

"Beliau ini, output beliau ini perjuangan ibu pertiwi nusantara. Jadi, sebelum beliau mengembuskan napas (terakhir), dia sudah mengamanahkan dirinya, mewakafkan dirinya bersama istri dan anak-anaknya. 'Sepeninggal saya nanti tidak usah pulangkan saya ke tanah Jawa'," kata Raden Hamzah di pemakaman Pangeran Diponegoro, Makassar, Jumat (14/7/2023).

"Singkat cerita, beliau tunjuk ini (Jalan Diponegoro) titiknya itu area pemakamannya beliau," sebutnya.

Nah itulah informasi mengenai pengasingan dan kisah wafatnya Pangeran Diponegoro, semoga bermanfaat ya detikers!




(urw/urw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads