Profil Ki Hadjar Dewantara, Tokoh Pelopor Pendidikan Nasional

Profil Ki Hadjar Dewantara, Tokoh Pelopor Pendidikan Nasional

Al Khoriah Etiek Nugraha - detikSulsel
Senin, 01 Mei 2023 14:05 WIB
Ookok pikiran ki hajar dewantara
Profil Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional (Foto: Fuad Hasyim)
Makassar -

Penetapan Hari Pendidikan Nasional tidak lepas dari sosok Ki Hadjar Dewantara. Ia merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada era kolonialisme.

Lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara, ternyata sosok yang diabadikan dengan gambar laki-laki berpeci dan berkacamata ini memiliki nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia merupakan putra Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III. Dapat dikatakan Ki Hadjar Dewantara merupakan keluarga bangsawan Pakualaman.

Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Tanggal lahirnya ini kemudian diabadikan sebagai peringatan Hari Pendidikan di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sosok Ki Hadjar Dewantara

ki hajar dewantara, bangsawan yang pilih jadi guruki hajar dewantara, bangsawan yang pilih jadi guru Foto: Mindra Purnomo

Mengutip buku Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kemdikbud RI, Ki Hadjar Dewantara lahir dengan nama Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat. Ia juga memiliki julukan "Jemblung Joyo Trunogati" ketika masih kecil.

Julukan "Jemblung" diperoleh dari sang ayah, karena Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara lahir dengan kondisi berut yang buncit. Sementara julukan "Trunogati" diberikan oleh sahabat sang ayah, Kyai Soleman.

ADVERTISEMENT

Truno artinya pemuda dan gati atau wigati berarti penting atau berarti. Oleh sang ayah julukan tersebut kemudian disempurnakan menjadi "Jemblung Joyo Trunogati".

Sebagai keluarga bangsawan, Ki Hadjar Dewantara mendapat kesempatan belajar di Europeesche Lagere School (ELS) atau Sekolah Dasar Belanda 7 tahun di kampung Bintaran Yogyakarta. Setelah tamat ia kemudian melanjutkan ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta.

Ki Hadjar Dewantara juga mendapat tawaran dari dr. Wahidin Sudiro Husodo di Puro Pakualaman untuk masuk STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische
Artsen) atau Sekolah Dokter Jawa di Jakarta dengan mendapat bea siswa. Ia pun menerima tawaran tersebut.

Sayangnya, karena sakit selama 4 bulan Ki Hadjar Dewantara tidak naik kelas dan beasiswanya dicabut. Namun, sakit bukan alasan satu-satunya melainkan terdapat alasan politik. Pasalnya ia mendeklamasikan sebuah sajak yang disinyalir dapat membangkitkan semangat memberontak terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini lantas membuatnya gagal menjadi seorang dokter.

Ia juga tidak menyesal harus meninggalkan STOVIA. Baginya lapangan berjuang untuk rakyat bukan hanya sebagai dokter. Bidang jurnalistik, politik, dan pendidikan juga memberi peluang pula untuk berjuang.

Menggeluti Bidang Jurnalis

Pranata (1959) Ki Hadjar Dewantara : Perintis perdjuangan kemerdekaan Indonesia, Balai Pustaka. (Wikimedia Commons)Pranata (1959) Ki Hadjar Dewantara : Perintis perdjuangan kemerdekaan Indonesia, Balai Pustaka. (Wikimedia Commons)

Meskipun tidak dapat menyelesaikan studinya di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara memperoleh banyak pengalaman baru. Pada waktu persiapan mendirikan Budi Utomo, ia berkenalan dengan Dr. Ernest Francois Eugene (E.F.E.) Douwes Dekker.

Setelah Budi Utomo didirikan pada tanggal 20 Mei 1908, ia ikut aktif dalam organisasi tersebut dan mendapat tugas bagian propaganda.

Ia kemudian menjadi pembantu apotiker di Apotik Rathkamp, Malioboro Yogyakarta (1911), sambil menjadi jurnalis (wartawan) pada surat kabar "Sedyotomo" (Bahasa Jawa) dan "Midden Java" (Bahasa Belanda) di Yogyakarta dan "De Express" di Bandung.

Ki Hadjar Dewantara memiliki pengalaman segudang sebagai jurnalis. Pada 1912 ia dipanggil Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Bandung untuk bersama-sama mengasuh surat kabar harian "De Express". Tulisan pertamanya berjudul "Kemerdekaan Indonesia".

Selain itu, ia juga menjadi Anggota Redaksi Harian "Kaoem Muda" Bandung, "Oetoesan Hindia" Surabaya, "Tjahaja Timoer" Malang. Ia juga menerima tawaran dari HOS Tjokroaminoto mendirikan cabang "Serikat Islam" di Bandung dan sekaligus menjadi Ketuanya.

Puncak karirnya sebagai wartawan pejuang ialah saat dirinya menulis "Als ik eens Nederlander was". Risalah yang diterbitkan pada Juli 1913 itu merupakan risalah yang terkenal, karena berisi sindiran yang tajam bagi Pemerintah Hinda Belanda.

Risalah yang dicetak 5.000 eksemplar itu untuk memprotes kebijakan Pemerintah Kolonial Hinda Belanda yang akan merayakan kemerdekaan negeri Belanda dari Penjajahan Perancis.

Karena tulis-tulisan yang sangat pedas itu, Ki Hadjar Dewantara bersama dr. Cipto Mangunkusumo dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ditangkap dan ditahan dalam penjara. Pada 18 Agustus 1913 keluarlah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda bahwa ketiganya mendapat hukuman pembuangan.

Ki Hadjar Dewantara dibuang ke Bangka, dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Timor Kupang. Namun, atas kesepakatan ketiganya meminta supaya dibuang ke Nederland, dan permitaan mereka dikabulkan.

Ki Hadjar Dewantara sempat ditawari untuk menjadi Guru Pemerintah Hindia Belanda di Bangka sehingga bebas dari hukuman pembuangan, tetapi ditolaknya.

Pembuangan ke Nederland dan Penghapusan Gelar Bangsawan

Dalam pembuangan di Nederland, gelar kebangsaan Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat tidak dipakai lagi. Hal ini sebagai pernyataan bersatunya sosok Suwardi Suryaningrat dengan rakyat yang diperjuangkannya.

Tak disangka sang ayah pun memberikan dukungan dan berkata "Aku bangga atas perjuangannya. Terimalah doa dan restu Bapak. Ingat, seorang ksatria tidak akan menjilat ludahnya kembali".

Ki Hadjar Dewantara kemudian berangkat ke Belanda pada 6 September 1913. Singgah di Teluk Benggala pada 14 September 1913, di atas Kapal Bungalow, ia menulis surat kepada kawan-kawan seperjuangannya di Tanah Air yang isinya agar sekuat tenaga mencegah jangan sampai terjadi perayaan kemerdekaan Belanda terjadi di Indonesia.

Dalam pembuangan di negeri Belanda Ki Hadjar Dewantara hidup serba kekurangan. Bantuan didapat dari dana yang dikumpulkan oleh para pengurus Indische Partij yaitu "TADO (Tot Aan De Onafhankelijkheid) Fonds". Penghasilannya dibantu profesi sebagai jurnalis di sejumlah media massa.

Tidak hanya sebagai sumber penghasilan, Ki Hadjar Dewantara juga memanfaatkan media masa di Nederland sebagai jalan perjuangannya. Ia memberikan dan menyajikan informasi mengenai kondisi Indonesi yang sebenarnya melalui media massa, untuk meredam informasi bohong yang diberikan pemerintah Belanda.

Ki Hadjar Dewantara bersama isteri dan kedua puteranya yang lahir di negeri Belanda kembali ke tanah air dan sampai di Jakarta 6 September 1919. Sekembalinya di Indonesia, ia tetap melanjutkan perjuangannya melalui bidang jurnalis.

Tiga Serangkai adalah dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Douwes Dekker dan Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara)Tiga Serangkai adalah dr. Tjipto Mangunkusumo, dr. Douwes Dekker dan Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara) Foto: Diskominfo Kalteng

Mendirikan Perguruan Tamansiswa

Perguruan Tamansiswa lahir dari gagasan Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan ke K.H. Ahmad Dahlan di Semarang pada tahun 1919. Gagasan yang dimaksud adalah harus ada suatu Perguruan Nasional yang mendidik kader-kader perjuangan untuk menentang penjajah.

Setelah melalui berbagai rintangan, pembuangan, hingga dipenjara menimbulkan pemikiran baru bagi Ki Hadjar Dewantara untuk mencari cara dan jalan menuju Kemerdekaan Indonesia. Ia menginsyafi bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsanya. Maka, diperlukan penanaman jiwa merdeka dimulai sejak anak-anak.

Singkat cerita, pada 3 Juli 1922 Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan mendirikan "Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa" di jalan Tanjung, Pakualaman, Yogyakarta. Ia Membuka bagian Taman Anak atau Taman Lare, yaitu satuan pendidikan setingkat Taman Kanak-kanak (Taman Indria).

Tidak sampai di situ, pada 7 Juli 1924 ia mendirikan "Mulo Kweekshool" setingkat SMP dengan pendidikan guru (4 tahun sesudah pendidikan dasar).

Pada tahun 1928 tamatan Mulo Kweekshool dapat masuk AMS (Algemene Middelbare School) setingkat SMA Negeri hampir 70%. Dengan kesuksesannya itu bangsa Indonesia tergugah semangat dan makin tebal rasa harga dirinya.

Tamansiswa sebagai salah satu lembaga pendidikan yang didirikan Ki Hadjar Dewantara telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan yang memerdekakan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi sistem pendidikan nasional. Kehadiran Ki Hadjar Dewantara dalam membangun Tamansiswa memiliki spektrum sejarah nasional, yang tak luput dari stretegi kebudayaan yang digelutinya.

Ia menjadikan Trikon yakni Kontinyu, konvergen, konsentris dalam proses kebudayaannya. Kontinyu yakni berkesinambungan dengan masa lalu, Konvengen yakni bertemu secara terbuka dengan perkembangan alam dan zaman, serta Konsentris atau menyatu dengan nilai-nilai kemanusiaan, dunia.

Awal Nama Ki Hajar Dewantara

Pada 3 Februari 1928 saat berusia 40 tahun menurut tarikh Jawa (5 windu), nama Suwardi Suryaningkat berganti menjadi Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar memiliki arti pendidik, Dewan adalah utusan, dan tara berarti tak tertandingi.

Sehingga nama Ki Hadjar Dewantara adalah Bapak Pendidik utusan rakyat yang tak tertandingi menghadapi kolonialisme. Pergantian nama tersebut merupakan sublimasi misi hidup dari "Satriyo Pinandhito" menjadi "Pandhito Sinatriyo" (Satriyo yang sekaligus bersikap laku Pandhito-Pendidik, kemudian
meningkat menjadi Pandhito-Pendidik yang secara simultan berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran= misi utama Satriyo).

Pokopk pikiran ki hajar dewantaraPokok pikiran ki hajar dewantara Foto: Fuad Hasyim

Fatwa dan Semboyan Ki Hadjar Dewantara

Beberapa semboyan, perlambang, dan fatwa pernah disampaikan Ki Hadjar Dewantara. Salah satu yang terkenal adalah Tutwuri Handayani. Arti dari semboyan ini adalah mengikuti di belakang sambil memberi pengaruh.

Adapun maknanya adalah jangan menarik-narik anak dari depan, biarkanlah mereka mencari jalan sendiri. Jika anak-anak salah jalan, barulah pamong memberi pengaruh menuju jalan yang benar. Inilah semboyan Sistem Among

Profil Ki Hadjar Dewantara

Berikut profil lengkap Ki Hadjar Dewantara yang himpun detikSulsel:

Nama: Ki Hadjar Dewantara
Nama Lahir: Raden Mas (R.M.) Suwardi Suryaningrat
Tempat, Tanggal Lahir: Yogyakarta, 2 Mei 1889
Keluarga:

  • Ayah: Kanjeng Pangeran Ario (K.P.A.) Suryaningrat
  • Ibu: Raden Ayu (R.A.) Sandiah
  • Istri: R.Ay. Sutartinah Sasraningrat
  • Anak:
    • Niken Pandasari Sutapi Asti
    • Subroto Aryo Mataram

Pendidikan:

  1. Europeesche Lagere School (ELS)
  2. Kweekschool (Sekolah Guru)
  3. STOVIA (School Fit Opleiding Van Indische Artsen)



(alk/edr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads