Jemaah An-Nadzir kerap menjadi sorotan karena selalu melaksanakan puasa Ramadan hingga lebaran lebih awal dari yang ditetapkan pemerintah. Hal ini dikarenakan jemaah An-Nadzir memiliki metode tersendiri dalam menetapkan awal bulan Hijriyah.
Pimpinan An-Nadzir Gowa Ustaz Samiruddin Pademmui menjelaskan, dalam penetapan awal Ramadan maupun bulan Hijriyah An-Nadzir juga melakukan pemantauan bulan sebagaimana yang dilakukan pemerintah. Namun caranya berbeda, yakni dengan memantau bulan purnama.
"Kita memantau bulan itu pertama, bulan purnama 14, 15, 16, di situ mulai dilihat. Terus terakhir itu kita amati lagi 27, 28, 29, jam berapa terbitnya di subuh hari," ujar Samiruddin kepada detikSulsel, Kamis (30/3/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jemaah An-Nadzir juga melakukan pemantauan dengan mengamati bayangan bulan. Caranya, dengan menggunakan kain hitam tipis untuk melihat jumlah bayangan bulan guna menentukan jumlah hari yang tersisa.
"Bisa juga menggunakan kain tipis hitam akan kelihatan bayangan bulan yang bersusun. Ketika bersusun 3, berarti akan terbit lagi 2 kali, ketika bersusun 2 berarti tinggal 1 kali lagi," jelas Samiruddin.
Mengamati Waktu Terbit Bulan dan Matahari
Selain itu, dalam menentukan pergantian bulan baru, jemaah An-Nadzir juga mengacu pada waktu terbit dan terbenamnya bulan maupun matahari. Jika bulan lebih dulu terbit dari matahari di timur, itu artinya belum masuk bulan baru.
Akan tetapi, jika matahari lebih dulu terbit daripada bulan, itu artinya sudah masuk bulan baru. Hal ini juga berlaku untuk waktu terbenamnya bulan dan matahari.
"Sebaliknya, ketika di ufuk barat, bulan lebih duluan terbenam dari matahari, itu masih bulan tua. Tapi ketika di ufuk barat itu matahari lebih duluan terbenam daripada bulan berarti sudah bulan baru," jelasnya.
Mengamati Fenomena Alam
Selain mengamati perjalanan bulan Hijriyah, jemaah An-Nadzir juga memperhatikan fenomena alam yang terjadi jelang pergantian bulan. Jemaah An-Nadzir percaya, pergantian bulan Hijriyah ini juga berkaitan dengan berbagai fenomena alam.
"Pergantian bulan ini juga berkaitan dengan fenomena alam. Antara lain biasanya ketika pergantian bulan itu terjadi guntur, kilat, angin bertiup agak kencang, dan turun hujan," kata Samiruddin.
"Kemudian yang paling jelas, ketika terjadi pergantian bulan terjadi pasang puncak tertinggi air laut, kondak namanya. Biasanya di mana daerah tempat perpisahan bulan, di situlah terjadi pasang puncak tertinggi terjadi," jelasnya.
Samiruddin menambahkan, pemantauan bulan baru ini harus dilakukan dengan seksama. Sebab, fenomena perpisahan bulan ini bisa terjadi kapan saja, bisa terjadi di pagi, siang, sore, malam, tengah malam, bahkan dini hari.
Dalam memantau pergantian bulan Hijriyah, jemaah An-Nadzir melakukan pengamatan dengan berkoordinasi dengan seluruh jemaah di Indonesia. Pemantauan biasanya difokuskan pada daerah pinggir laut.
"Jamaah nasir ini tersebar di seluruh Indonesia jadi kita tetap pada koordinasi. Jadi ada beberapa jamaah yang terlibat dan sudah paham juga," kata Samiruddin.
"Terutama khususnya jamaah yang mukim di pinggir laut, Palopo, Tenggara, kemudian ada di Galesong, Makassar, Sumatra, Jawa. Terutama yang daerah pinggir laut itu karena langsung nampak bulan terbit dan tenggelamnya, termasuk air lautnya untuk melihat pasangnya," jelasnya.
(urw/alk)