Peluang calon legislatif (caleg) petahana di Sulawesi Selatan (Sulsel) dinilai kecil untuk duduk kembali pada pileg mendatang. Hal tersebut karena kinerja partai politik pengusung anggota legislatif tidak bisa menjaga konstituennya.
"Di 2014 hanya 28 petahana dari 85 kursi yang berhasil duduk kembali, jadi hanya 32,9 persen. Kemudian pada tahun 2019 naik tapi kecil, hanya 33 kursi dari 85. Ini termasuk yang persentasenya terkecil, di DPR (Senayan) rata-rata petahana yang terpilih kembali 50 persen, selebihnya wajah baru," kata Direktur Politician Academy Bonggas Chandra pada acara Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulsel di Hotel Dalton Makassar, Selasa (21/3/2023).
Bonggas beranggapan bahwa petahana yang tidak terpilih disebabkan konstituennya bisa melihat kinerja figur yang pernah dipilihnya. Dia mengklaim pemilih saat ini sudah kritis untuk menilai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi itu beberapa hal yang harus kita lihat, atau barangkali pemilihnya sudah cerdas," tuturnya.
Dia juga mengambil sampel pada tingkatan yang lebih tinggi. Dia menyebut petahana pileg RI pada dapil tertentu bahkan ada yang tidak terpilih.
"Kalau di tingkatan DPR RI, jadi ada tiga dapil, Sulsel satu terdapat lima dari 8 petahana yang terpilih. Di dapil dua Sulsel terdapat enam dari sembilan petahana. Menariknya di Dapil tiga Sulsel, tidak ada petahana yang terpilih kembali," paparnya.
Bonggas menilai, petahana tak selamanya bisa mempertahankan elektabilitasnya. Dia menyebut ada harapan besar bagi para penantang baru pada pileg 2024 mendatang.
"Jadi kalau kita melihat petahana itu sebagai kandidat yang kuat tidak juga. Jadi ada harapan untuk teman-teman penantang baru yang akan maju nantinya," katanya.
Kelemahan Caleg Baru
Meski dinilai punya peluang, Bonggas membeberkan beberapa kelemahan yang sering dilakukan oleh caleg baru. Dia menyebut terkadang caleg baru terjun ke masyarakat tanpa perhitungan dan pemetaan yang jelas.
"Calon-calon baru mereka itu langsung bergerak langsung turun ke lapangan tanpa membuat pemetaan politik yang benar. Asal turun asal masuk satu daerah, pokoknya ke masyarakat, siapa aja ditemui. Yah turun ke masyarakatnya benar, tapi tanpa pemetaan rencana politik yang tepat, teman-teman akan masuk ke wilayah yang salah," paparnya.
Dia menyebut caleg baru yang berkunjung ke daerah tertentu dengan logistik yang lengkap bisa saja diterima oleh masyarakat dengan tangan terbuka. Hanya saja, penentuan pilihan oleh masyarakat cenderung tetap pada figur yang telah mengakar di tempat itu.
"Teman-teman meski berbagi sembako, layanan kesehatan, apa segala macam akan diterima dengan tangan terbuka, tapi di ujungnya bukan teman-teman yang dipilih. Itu namanya bergerak dengan insting politik saja, atau pake pergerakan yang konvensional," katanya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya...
Selain itu, Bonggas juga menyebut sebagian besar caleg baru menggunakan paradigma yang tidak tepat. Dia menyebut caleg yang hanya berpikir kalah dan menang pada pileg memiliki cara pandang yang salah.
"Pola pikir caleg itu masih win lose, metodenya masih kalah menang. Jadi gini, kalau saya mau maju, saya harus kalahkan incumbent. Kalau saya kalah, berarti lawan saya menang. Jadi di kepalanya masih seperti itu," katanya.
"Padahal yang namanya pilkada, pilpres dan pileg itu berbeda. Kalau pilkada dan pilpres betul itu satu paslon saja yang menang. Tapi kalau pileg, itu kan kursinya banyak. Selanjutnya, siapapun yang menangkan kursi, itu bukan kursinya sendiri, ada suara partai politik," tambahnya.
Bonggas juga menyebut ada caleg baru yang bergantian datang pada daerah-daerah tertentu melakukan safari politik. Padahal kata Bonggas kunjungan safari politik tidak akan memperoleh simpati masyarakat tanpa suara partai yang besar.
"Jadi yang terjadi kanibalisme, suara partai tidak besar, hanya orangnya saja yang berganti-ganti di situ," kata dia.
Menurut Bonggas, caleg yang berasumsi akan bertarung pada medan yang sama di waktu yang berbeda tidak akan memperoleh kemenangan. Ia menilai, figur yang berganti di setiap momen hajatan politik tentu mengharuskan caleg baru untuk menggunakan taktik yang berbeda.
"Mereka berpikir, dulu saya menang di 2019 caranya seperti ini, kalau gitu 2024 pake cara ini lagi. Saya pastikan caleg dengan pola pikir seperti ini tidak akan memang," imbuhnya.
Kelemahan terakhir menurut Bonggas adalah kebanyakan caleg baru termakan iming-iming dari tim sukses (timses) abal-abal. Dia mengatakan banyak caleg baru yang berujung gigit jari karena tertipu oleh timses abal-abal itu.
"Nah ini saya banyak jumpai di daerah-daerah calon-calon banyak dikelabui oleh timses abal-abal. Jadi hasil pileg terakhir dianya sukses, tapi kandidatnya tidak menang, gigit jari. Dia berhasil mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari caleg baru," tutupnya.
Simak Video "Video Pengakuan Pembakar Pos Polisi di Makassar: Nggak Tahu, Bodoh Saya"
[Gambas:Video 20detik]
(ata/ata)