Teks editorial adalah artikel yang ditulis oleh redaktur dari suatu media massa. Karena itu kaidah-kaidah kebahasaan teks editorial perlu diperhatikan agar bisa menulis artikel yang baik dan benar.
Sebagaimana diketahui, teks editorial mewakili opini dan pandangan resmi dari sebuah media terkait dengan isu tertentu. Isu tersebut umumnya adalah peristiwa atau masalah yang tengah hangat di masyarakat.
Karena itu, menulis teks editorial tak bisa sembarangan. Ada beberapa aturan dan kaidah-kaidah bahasa yang perlu diperhatikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, agar bisa memahami lebih jelas mengenai kaidah kebahasaan dalam teks editorial, berikut uraiannya:
Pengertian Teks Editorial
Sebelum membahas tentang kaidah kebahasaan teks editorial, terlebih dahulu perlu diketahui tentang apa itu teks editorial.
Dikutip dari e-Modul Bahasa Indonesia, Kemendikbud RI, pengertian teks editorial adalah sebuah artikel dalam surat kabar yang merupakan pendapat atau pandangan redaksi terhadap suatu peristiwa yang aktual atau sedang menjadi perbincangan hangat saat itu. Isu tersebut bisa berupa masalah politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.
Teks editorial ini biasanya dibuat secara rutin oleh media massa. Ini dianggap sebagai sikap, opini, atau pandangan resmi suatu penerbit atau media terhadap isu yang sedang terjadi.
Bentuk-bentuk teks editorial ini bisa berupa kritikan, penilaian, harapan, prediksi, ataupun saran. Karena itu teks editorial ini dianggap memiliki kekuatan yang cukup dalam mempengaruhi masyarakat.
Kaidah Kebahasaan Teks Editorial
Nah, dalam menulis teks editorial, umumnya ada 4 kaidah bahasa yang sering digunakan. Hal ini menjadi semacam pakem agar penulisan artikel tersebut menjadi lebih kuat dan lugas.
1. Menggunakan Kalimat Retoris
Kaidah kebahasaan teks editorial yang pertama adalah penggunaan kalimat yang sifatnya retoris. Kalimat retoris merupakan kalimat tanya yang biasanya tidak ditujukan untuk mendapatkan jawaban.
Contohnya;
"Benarkah pemerintah sudah memperhatikan kesejahteraan rakyat?"
Pertanyaan retoris ini digunakan untuk mempengaruhi pembaca agar tergugah untuk merenungkan atau memikirkan terhadap isu yang dibahas. Dengan begitu, pada akhirnya bisa merubah pandangannya terkait isu tersebut.
2. Menggunakan Kata Populer
Dalam menulis teks atau artikel editorial, sebaiknya menggunakan kata-kata populer. Yaitu kata-kata yang mudah dipahami oleh banyak orang.
3. Menggunakan Kata Ganti Penunjuk
Kaidah kebahasaan teks editorial selanjutnya adalah penggunaan kata ganti untuk menunjukkan waktu, tempat, peristiwa atau hal yang menjadi fokus utama ulasan. Contohnya kata-kata seperti itu, tersebut, dan sebagainya.
Contoh;
"Betapapun pemerintah sudah berusaha mengetaskan kemiskinan, namun ternyata hal itu belum dapat dilakukan."
"Berdasarkan kenyataan tersebut, diperlukan langkah bijak untuk menangani pengangguran di Indonesia."
4. Menggunakan Konjungsi
Konjungsi adalah kata atau ungkapan yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat. Kata konjungsi tersebut menghubungkan antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa atau kalimat dengan kalimat.
Penggunaan kata konjungsi ini biasanya diperuntukkan untuk 4 hal, yaitu;
- Konjungsi Untuk menata argumentasi seperti kata "pertama", "kedua", "berikutnya", dan sebagainya.
- Konjungsi juga digunakan untuk memperkuat suatu argumentasi, seperti kata "bahkan", "lagi pula", "sebagai contoh", "padahal", "justru" dan lain sebagainya.
- Konjungsi juga digunakan untuk menyatakan hubungan sebab-akibat. Contohnya kata "sejak", "sebelumnya", "oleh karena itu", dan lain sebagainya.
- Konjungsi untuk menyatakan harapan. Contoh katanya seperti "agar", "supaya", "sehingga" dan lain sebagainya.
Contoh Teks Editorial dengan Kaidah Bahasa Yang Baik dan Benar
Berikut ini sebuah contoh teks editorial yang menggunakan kaidah bahasa dan struktur artikel yang baik dan benar.
(PENGENALAN ISU)
Di sebuah harian nasional, Selasa (22/5),Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Indonesian Society for Hypertension) memasang sebuah iklan dengan judul dalam bahasa Inggris: World Hypertension Day, May 17, 2019, sebuah momentum yang digalang World Hypertension Leage dengan tema "Healthy Life Style-Healthy Blood Pressure". Sebagai orang awam tentu banyak dari kita yang bertanya, apa penting dan signifikansinya memperingati Hari Hipertensi Dunia, yang tepat jatuh pada pekan lalu itu?
(ARGUMENTASI)
Bagi masyarakat Indonesia yang belakangan ini dilanda berbagai persoalan sosial, mulai dari larangan konser Lady Gaga hingga berbagai kasus korupsi yang tiada hentinya, persoalan hipertensi (penyakit tekanan darah tinggi) seperti tenggelam tak ada gaungnya. Apakah karena dianggap kurang menarik sehingga tidak ada yang mau peduli?
Padahal, kalau melihat angka penderita hipertensi di Indonesia, haruslah kita waspada dan sangat peduli. Prevalensi penyakit ini di Indonesia mencapai 31,7 persen, artinya diperkirakan satu dari tiga penduduk berusia di atas 18 tahun adalah penderita hipertensi. Hal ini berarti puluhan juta penduduk Indonesia dipastikan menderita hipertensi.
Kalau hipertensi tanpa dampak, kita mungkin patut abai dan tenang-tenang saja. Persoalannya, hipertensi dapat memicu berbagai penyakit lain sebagai akibat rusaknya berbagai organ tubuh, seperti otak, ginjal, dan jantung kalau tidak ditangani dengan baik.
Secara global, penyakit hipertensi memiliki angka kematian yang cukup mencemaskan, yakni mencapai 7 juta orang meninggal per tahunnya di dunia. Hingga kini, diperkirakan lebih dari 1 milyar penduduk bumi menderita hipertensi.
Pada keluarga yang anggotanya menderita gagal ginjal, tentu sudah merasakan betapa beratnya biaya dan beban hidup yang harus ditanggung untuk cuci darah misalnya, meski mungkin sudah dibantu asuransi. Salah satu penyebab gagal ginjal adalah hipertensi. Penyakit lain yang juga bisa dipicu oleh hipertensi adalah stroke dan jantung koroner. Berbeda dengan demam berdarah yang penderitanya bisa meninggal dunia seketika, berbagai penyakit yang dipicu oleh hipertensi tersebut bisa berlangsung berkepanjangan dan bahkan menguras biaya yang sangat besar.
Bila hipertensi tidak diperhatikan, dirawat, atau pun dicegah, dipastikan akan menimbulkan berbagai penyakit lain yang bakal mengurangi kesejahteraan dan produktivitas. Dengan demikian, bermula dari masalah kesehatan dalam keluarga akan dapat menimbulkan masalah lain, yaitu problem ekonomi dan sosial. Maka, melalui tajuk rencana ini masyarakat diingatkan untuk tidak mengabaikan kesehatan. Masyarakat diimbau untuk selalu menjaga gaya dan pola hidup yang sehat.
Imbauan ini harus pula dibarengi dengan berbagai kampanye dan penyuluhan untuk berbagi pengetahuan tentang kesehatan. Hal ini dapat membangun dan menyadarkan masyarakat mengenai perlunya gaya dan pola hidup yang sehat. Tujuannya agar warga terhindar dari hipertensi dan berbagai penyakit turunannya.
(PENEGASAN ULANG)
Dengan demikian, kampanye dan penyuluhan seperti yang dilakukan Perhimpunan Hipertensi Indonesia ini harus dihargai, mengingat risiko dan kerugian yang ditimbulkan penyakit ini sangat besar. Bukan saja menyebabkan beban bagi anggota keluarga penderita hipertensi, tetapi juga bagi masyarakat. Risiko ini dapat dikurangi kalau masyarakat memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai hal itu.
(urw/asm)