Hari Penerbangan Nasional diperingati pada tanggal 27 Oktober setiap tahunnya. Peringatan ini tak lepas dari sejarah perjuangan rakyat Indonesia pada masa kemerdekaan.
Mengutip laman resmi Kemenkumham, penetapan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Penerbangan Nasional mengacu pada peristiwa penerbangan pesawat Merah Putih pertama pada tanggal 27 Oktober 1945. Penerbangan tersebut dilakukan oleh Komodor Udara Agustinus Adisutjipto di Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta.
Peristiwa penerbangan tersebut dimaksudkan untuk membangkitkan semangat sumpah pemuda di jiwa rakyat Indonesia kala itu. Peristiwa ini juga menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia khususnya TNI Angkatan Udara pada masa kemerdekaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas seperti apa sejarah hari penerbangan nasional tersebut? Berikut penjelasannya dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber;
Sejarah Hari Penerbangan Nasional 27 Oktober 1945
Sejarah Hari Penerbangan Nasional merupakan salah satu peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Momen tersebut merupakan wujud perjuangan rakyat dan TNI Angkatan Udara pada masa perang.
Pada tanggal 27 Oktober, Komodor Udara Agustinus Adisutjipto untuk pertama kalinya menerbangkan pesawat Cureng di Langit Indonesia sambil membawa bendera merah putih. Berhasilnya Komodor Udara Agustinus Adisutjipto menerbangkan pesawat udara untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan membawa efek psikologis bagi rakyat Indonesia.
Melansir dari Buku "Awal Kedirgantaraan di Indonesia Perjuangan AURI 1945-1950," oleh Dra. Irna H.N. Hadi S. dkk, disebutkan bahwa pada masa pendudukan Jepang, Indonesia tidak memiliki pesawat. Namun berkat jiwa revolusioner, TNI AU yang kala itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Oedara, berhasil merebut berbagai aset peninggalan Jepang.
Dalam waktu singkat, TNI berhasil menguasai berbagai lapangan terbang dan pesawat milik Jepang. Pada tanggal 25 Agustus 1945, lapangan terbang Morokrebangan berhasil juga direbut beserta dengan 38 pesawat berbagai jenis.
Meskipun demikian, banyak di antara pesawat-pesawat peninggalan Jepang itu tidak bisa digunakan. Dengan berbagai cara, para teknisi Indonesia berhasil memperbaiki berbagai pesawat tersebut dengan cara memindahkan satu suku cadang ke suku cadang yang lain.
Para teknisi tersebut telah berpengalaman dari zaman Hindi Belanda. Beberapa dari mereka memperoleh pendidikan teknis penerbangan di Singapura seperti Sersan Udara Bharoto, Sumanang, Widodo, Joyosukarto, dan lain-lain.
Pada tanggal 10 Oktober 1945, Pangkalan Udara Andir yang sebelumnya telah dikuasai pejuang RI, kembali jatuh ke tangan Inggris. Dengan demikian, Bandung tidak lagi kondusif untuk dijadikan pusat kegiatan militer.
Sementara itu, di Maguwo Yogyakarta, Para teknisi juga bekerja keras agar pesawat-pesawat rongsokan dapat diterbangkan kembali. Mereka bekerja di bawah komando Suryadarma.
Setelah dirasa semua siap, Maka Tarsono Rujito, eks kadet ML Kalijati yang juga pernah menjadi anggota Peta (Pembela Tanah Air), kemudian menjemput Agustinus Adisutjipto di Salatiga ke Yogyakarta.
Adisutjipto adalah penerbang berpengalaman yang pernah menjadi Vaandirig KOrtverband Vlieger pada masa Belanda. Ia juga memiliki ijazah GMB (Groot Militair Brevet).
Ia datang dari Tasikmalaya ke Yogyakarta untuk turut merayakan Hari Sumpah Pemuda yang sarat makna. Pada masa itu terkenal semboyan "Semua untuk satu dan satu untuk semua," yang artinya Negara Republik Indonesia yang merdeka, dijiwai semangat juang seluruh bangsa Indonesia.
Dengan berbekal semangat itulah mereka memprakarsai penerbangan dirgantara pertama Indonesia. Tepat pada tanggal 27 Oktober 1945, mereka berhasil terbang beratraksi di langit Maguwo Yogyakarta dengan pesawat Cureng. Adisutjipto sebagai penerbang dan Tarsono Rujito sebagai penumpang.
Penerbangan itu disaksikan oleh seluruh penduduk Yogyakarta dengan penuh rasa bangga. Pesawat udara berbendera Merah Putih terbang mengangkasa untuk pertama kalinya setelah kemerdekaan.
Untuk menghargai jasa-jasa Adisutjipto, ia dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara (Anm). Nama pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta pun diganti menjadi Bandara Udara Adisutjipto Yogyakarta hingga hari ini.
Sejarah Awal Penerbangan di Indonesia
Selain sejarah Hari Penerbangan Nasional, di momen ini juga tepat untuk mempelajari jejak awal penerbangan di Indonesia. Hal ini penting untuk menambah wawasan mengenai industri penerbangan yang ada di Indonesia.
Dilansir dari Jurnal Universitas Sebelas Maret yang berjudul "Menelusuri Jejak Awal Penerbangan di Indonesia (1913-1950-an)" disebutkan bahwa adanya 2 jenis penerbangan di Indonesia, yakni penerbangan militer dan komersial (sipil). Keduanya memiliki akar sejarah yang saling bersinggungan satu sama lain.
Secara historis, penerbangan militer telah ada sejak dekade kedua abad 20, ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Penerbangan militer yang pertama dilakukan pada tanggal 19 Februari 1913 di Surabaya.
Penerbangan tersebut bersifat uji coba di atas sebuah tanah lapang berumput. Pesawat yang digunakan kala itu didatangkan dari Belanda menggunakan kapal laut.
Sayangnya uji coba penerbangan tersebut mengalami kegagalan dan jatuh di Kampung Baliwerti. Sehingga kejadian itu juga tercatat sebagai kecelakaan pesawat pertama di Indonesia.
Selanjutnya puluhan uji coba penerbangan terus dilakukan dan mengalami kegagalan satu per satu. Puluhan personil KNIL, korps tentara kerajaan Hindi Belanda, tewas dalam perintisan penerbangan militer.
Pada tahun 1924, seiring dengan kecanggihan teknologi pesawat akhirnya penerbangan pertama dari Amsterdam ke Batavia (Jakarta) berhasil dilakukan. Penerbangan dengan pesawat fokker tersebut, menghabiskan waktu selama 55 hari dan berhenti di 20 kota hingga akhirnya mendarat di Cililitan.
Dengan keberhasilan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda terus membangun pangkalan militer udara di berbagai kota. Seperti di Jawa, Bandung, Subang, Semarang, Yogyakarta, Malang, Medan, Balikpapan, hingga Makassar. Sebagian pangkalan udara tersebut, juga difungsikan sebagai bandar udara yang melayani penerbangan komersial.
Pada masa pendudukan Jepang, dunia penerbangan Indonesia memasuki babak baru. Di masa yang cukup singkat itu, Jepang fokus membangun kekuatan militer di darat, laut, dan udara.
Pangkalan-pangkalan udara yang mangkrak dibangun kembali dan dikembangkan. Berbagai pesawat militer pun didatangkan ke Indonesia seperti Hayabusa dan sansikishin (tipe pemburu), Guntau dan sakai (tipe pembom), nakayima (tipe pengintai) dan tipe pesawat latih seperti Cureng, Cukiu, dan Nishikoren.
Sementara itu Kiprah penerbangan komersial juga mengalami perkembangan. Khususnya di dekade ketiga abad 20.
Pada tahun 1928, sebuah perusahaan maskapai penerbangan komersil Belanda KNILM, membuka rute penerbangan komersial. Rute yang dibuka tersebut antara lain Batavia-Bandung, Batavia-Palembang-Pekanbaru-Medan, dan berbagai kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Pada masa awal penerbangan komersial masih menggunakan pesawat jenis fokker yang hanya muat 2-5 orang. Seiring berjalannya waktu mulai berkembang jenis pesawat DC seperti 3 Douglas DC-3, 4 Douglas DC-5 dan Sikorsy S-34 yang memiliki daya tampung lebih besar.
Pada tahun 1940, Indonesia sudah memiliki bandara internasional. Yakni Kemayoran Batavia yang melayani rute ke Singapura dan Australia.
Seiring dengan stabilnya kondisi sosial politik, dunia penerbangan Indonesia terus bergeliat. Pada tahun 1950, berdirilah Garuda Indonesia Airways (GIA) menjadi maskapai penerbangan nasional pertama milik negara.
Hal ini sekaligus menjadi tonggak sejarah bangkitnya dunia penerbangan komersial di Indonesia. Bandara Kemayoran menjadi bandara Komersial tersibuk di Indonesia kala itu.
Bandara ini terus beroperasi hingga masa Orde Baru. Hingga akhirnya pemerintah membuat bandara baru pada bernama Soekarno-Hatta di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat pada tahun 1980-an.
Demikianlah geliat penerbangan di Indonesia dari awal hingga sekarang. Selamat Hari Penerbangan Nasional!
(edr/asm)