It Was Just an Accident: Kemanusiaan Melampaui Kebencian
EDITORIAL RATING
AUDIENCE RATING

Synopsis:
Seorang pria (Ebrahim Azizi) tengah mengemudi di malam hari bersama istri dan putrinya. Saat itu, ada insiden kecil: mobil mereka menabrak seekor anjing. Akibatnya ada sedikit kerusakan dan akhirnya mogok. Mobil pun menepi di sebuah bengkel.
Hanya saja, salah seorang montirnya, Vahid (Vahid Mobasseri) mencurigai pria itu. Suara pria itu mengingatkannya pada seorang perwira intelijen bernama Eqbal yang dijuluki si Kaki Palsu. Vahid termasuk salah satu tahanan politik yang diculik dan disiksa oleh Eqbal karena memprotes upah buruh. Siksaan itu bahkan sampai membuat ginjalnya rusak.
Karena ingatan yang traumatis ini, Vahid menguntit pria itu. Di tengah jalan, Vahid memukul dan menculiknya. Pria itu hampir saja mati dikubur oleh Vahid di tengah gurun. Tetapi kemudian Vahid mulai ragu-ragu, apakah benar pria ini Eqbal?
Pasalnya, Vahid tak pernah melihat wajah Eqbal karena selama disiksa, matanya ditutup kain hitam.
Vahid meminta bantuan rekannya sesama mantan tahanan politik untuk mengkonfirmasi identitas pria itu. Ia menghubungi Salar (George Hashemzadeh) si pemilik toko buku. Salar kemudian mengarahkan Vahid untuk meminta konfirmasi Shiva (Mariam Afshari) yang tengah menjadi fotografer pra wedding Goli (Hadis Pakbaten) dan Ali (Majid Panahi). Upaya ini juga melibatkan Hamid (Mohamad Ali Elyasmehr) yang juga pernah menjadi tahanan politik. Mereka semua akhirnya terseret dalam kekacauan ini. Lantas, apakah pria yang diculik Vahid itu benar-benar Eqbal?
Review:
Setelah menonton film ini, kamu akan tahu alasannya kenapa film garapan Jafar Panahi ini meraih Palme d'Or di Festival Film Cannes 2025. Film ini pun sempat menimbulkan konflik diplomatik antara Iran dengan Prancis. Ya, karena setelah menontonnya, kamu akan menyadari bahwa It Was Just an Accident terasa sangat politis sekaligus personal. Film ini terasa begitu personal karena Panahi sendiri pernah menjadi tahanan rumah selama 15 tahun di bawah tekanan rezim Iran.
Meskipun diniatkan sebagai film politis, It Was Just an Accident bergerak dengan narasi yang cukup lincah. Kejadian kecil mobil yang menabrak anjing itu seperti metafora yang begitu tajam. Kejadian itu lantas berkelindan dengan kekacaun politik di Iran selama tekanan rezim. Vahid dan kawan-kawannya bisa saja kamu kaitkan dengan anjing yang ditabrak. Namun yang pasti Vahid dan kawan-kawannya bukan sekadar korban kecelakaan.
Vahid merupakan contoh lain dari korban kekerasan rezim yang sudah tercerabut hidupnya. Vahid kehilangan hidupnya usai keluar dari penjara. Ginjalnya rusak, kekasihnya bunuh diri. Oleh karena itu, wajar saja jika ia begitu benci dengan rezim, begitu benci dengan penculiknya.
Seperti Vahid, Shiva dan Goli juga tak bisa melupakan sejarah kekerasan yang menimpa mereka. Harga diri mereka sebagai wanita direndahkan pada titik yang paling rendah karena mereka melawan ketidakadilan. Kemarahan mereka pada pria yang diduga Eqbal sungguhlah valid.
Baca juga: Play Dirty: Merampok Perampok |
Uniknya, meskipun tema yang diangkat It Was Just an Accident sangatlah serius, film ini tak terjebak dalam format kaku. Ceritanya benar-benar sederhana dan luwes. Panahi pun mempunyai selera humor yang bagus ketika menyampaikan kritik pada negaranya.
Sebagai contoh sentilan soal budaya korupsi di Iran, kamu mungkin akan tertawa ketika ada petugas yang meminta uang suap dan mereka membawa mesin EDC. Satu ruang studio bioskop sontak terbahak-bahak pada momen ini. Sentilan soal budaya korupsi ini memang khas sinema Iran.
It Was Just an Accident memang bukan film ringan yang mudah dicerna. Film ini sangatlah politis dan mengandung 'kesakitan' yang sangat mungkin ikut membuat kita merasakan sakitnya. Tetapi, melalui film ini kamu bisa melihat bentuk kemanusiaan yang melampaui kebencian. Kemanusiaan selalu di atas segalanya. Kamu diingatkan bahwa korban kekerasan negara bisa saja menyimpan dendam, hanya saja, mereka tak bisa menjadi sebengis pelaku kekerasan yang sesungguhnya. Mereka takut menjadi sesuatu yang sangat mereka benci.
Film ini menjadi penutup gelaran Jakarta World Cinema 2025.