Ratih Kumala Bakal Ngobrol soal 'Koloni' di Ubud

Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU) pada Agustus lalu, ceritain soal perebutan kekuasaan di dunia semut yang terinspirasi dinamika sosial dan politik manusia.
Ditemui redaksi detikpop saat konferensi pers UWRF, Ratih Kumala cerita novel Koloni pertama kalinya ia menulis soal dunia fabel.
"Dunia semut yang aku menganalogikan situasi sosial-politik kita, memang ini perebutan kekuasaan 200 semut dalam satu sarang yang sama. Kontekstual dengan suasana real ya," ucap Ratih Kumala di Wisma Habibie & Ainun, kawasan Kuningan, Jakarta, pada Rabu (1/10).
Secara spesial, Ratih Kumala bakal bicarakannya pada 1 November di UWRF. Dia pun bakal berjumpa lagi dengan penggemarnya.
Saat peluncuran novel Koloni di TIM, Ratih sempat cerita karya terbarunya mengambil premis sederhana 'semut untuk koloni, koloni untuk semut'.
Ada dua ratu semut yang bertarung yakni Ratu Gegana, sang penguasa lama yang enggan turun tahta, dan Ratu Darojak, generasi muda yang berambisi mengambil alih kekuasaan. Konflik keduanya jadi sentral cerita.
"Lahir sebagai semut adalah lahir dalam koloni yang pincang, tidak adil. Yang pekerja terus bekerja, yang prajurit bisa semena-mena, yang jantan harus menunggu tak pasti, yang menjadi ratu selamanya dilayani."
Kutipan itu ada dalam novel Koloni yang jadi gambaran dunia bawah tanah yang kecil, dan penuh hierarki. Sama halnya dengan kehidupan manusia. Koloni pun bukan sekadar dunia semut, tapi cerita satir.
"Koloni bukan sekadar cerita tentang dunia semut tapi sebuah cermin satir yang menyingkap wajah kehidupan manusia," katanya.
(tia/wes)