Royalti Suara Burung: Ketika Alam pun Harus Bayar Pajak

Jadilah ada suara-suara yang muncul dari sebagian kecil mereka memilih solusi alternatif yang gak biasa, ganti musik dengan suara alam.
Kicau burung, gemericik air, desir angin, pokoknya yang penting bukan lagu. Aman, kan?
Eh, ternyata belum tentu.
Fenomena back to nature ala kafe-kafe ini rupanya sampai ke telinga Piyu, gitaris Padi Reborn, yang kini juga menjabat sebagai Ketua Umum AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia). Sebagai musisi dan wakil komposer, dia paham keresahan para pemilik usaha. Tapi bukan berarti dibiarkan begitu saja.
Baru-baru ini, tepatnya Senin, 4 Agustus 2025, Piyu mengabarkan dia baru saja duduk bareng dalam diskusi serius, sebuah FGD (Focus Group Discussion) yang digelar di Hotel Santika, Bogor.
"Ya tadi pagi saya baru diskusi FGD. Dari AKSI menyampaikan usulan tarifnya, gimana pelaksanaan dan implementasinya ditunggu saja," ujar Piyu di kawasan Jakarta Pusat, pada Senin (4/8).
Dia paham, banyak orang masih takut sama kata royalti. Tapi menurutnya, ini soal regulasi, bukan ancaman.
"Gak usah takut, karena itu sudah diatur dari 2014," katanya lagi.
Dengan kata lain, tenang saja, negara sudah punya aturan, tinggal dijalankan!
Masuk ke panggung selanjutnya, LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), yang juga gak mau tinggal diam. Dharma Oratmangun, ketuanya, ikut buka suara. Dia gak masalah kalau pelaku usaha memang mau healing bareng pelanggan lewat suara alam. Tapi, dia punya satu catatan penting.
Baca juga: Royalti Musik, Momok Baru Para Pelaku Usaha |
Suara burung pun ada hak ciptanya!
Bukan burungnya yang punya hak, tapi yang merekam suara burung itu. Dalam bahasa hukum hak cipta, produsen fonogram.
Fonogram itu singkatnya, segala bentuk rekaman suara. Termasuk lagu, pidato, hingga suara hujan di YouTube yang kamu putar semalaman biar cepat tidur.
Nah, produsen fonogram, siapa pun yang bikin rekaman suara itu, berhak atas hasil rekamannya. Tersedia di ponsel atau alat rekam milik kamu.
Mau itu suara burung, kodok sawah, atau aliran sungai di kaki gunung. Selama ada proses produksi dan ada orang yang merekam, maka bayar.
Menurut Dharma, ini bukan soal pelit, tapi soal keadilan. "Kenapa sih susah banget bayar haknya orang?" katanya.
"Kalau kamu untung dari suasana yang tercipta, masa gak mau bagi sedikit buat orang yang bikin suasananya?"
Suara alam ternyata bisa jadi objek komersial yang berhak dilindungi hukum. Bisa jadi komoditas baru nih, buat kamu yang lagi healing di hutan, terus rekam suara kodok atau mungkin tonggeret. Yang lagi di pantai juga coba aja buat rekaman suara debur ombak.
Tapi gak perlu repot pergi healing sih. Karena kalau semua yang direkam jadi hak milik, maka diam pun bisa jadi berbayar, asal terekam.
LMKN kayaknya sedang berusaha menata ulang sistem ini agar adil dan gak menakutkan. Piyu dan rekan-rekannya berupaya bikin tarif yang masuk akal, sambil tetap memberi edukasi soal pentingnya menghargai karya, baik lagu, maupun rekaman suasana.
Terkait isu royalti, emang udah lama banget gak selesai dari mulai era musik-musik bajakan. Tapi sekarang kayaknya ada sesuatu yang mau berubah drastis nih demi keadilan.
Meski pun buat kamu yang awam, harus dihadapkan pada satu kenyataan baru. Alam, yang selama ini jadi tempat kita mencari ketenangan, sekarang pun bisa dimonetisasi.
Jadi lain kali kalau lagi nongkrong di kafe dengar suara burung-burungan, tanyalah satu hal sederhana ke baristanya.
"Burung ini royaltinya udah dibayar, belum?"
(nu2/tia)