Promotor Ngeluh Izin Konser, Ujung-ujungnya Duit

Ngadain konser di Indonesia tuh ternyata gak cuma soal cari sponsor dan line-up artis doang, tapi juga harus siap jungkir balik ngurus izin yang seabrek dan bikin kantong jebol.
Hal itu diungkap langsung sama Dino Hamid, Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), dalam sesi diskusi di Konferensi Musik Indonesia (KMI) yang digelar di The Sultan Hotel & Residence, Jakarta Pusat, Kamis (9/10).
Menurut Dino, proses perizinan konser di Tanah Air masih ribet banget dan bikin promotor harus keluar duit ekstra.
"Kalau bicara promotor, kita itu business owner (pemilik usaha). Apa yang kita lakukan itu investasi. Ibaratnya juru bayar, apa-apa kita bayar, sampai make up-nya kita yang bayar," kata Dino.
"Izin sampai Dinas Pertamanan itu kita bayar, damkar juga kita bayar. Kalau gak kita bayar, gak keluar tuh izin," sambungnya.
Dino yang juga pernah ngerjain konser di luar negeri cerita, sistem perizinan di negara lain jauh lebih simple dan efisien. Kalau di Indonesia, katanya, jumlah izin yang harus diurus bisa tembus 12 sampai 13 izin buat satu acara aja.
"Harapannya bisa mempermudah promotor juga, karena ada 12 sampai 13 izin. Kalau bisa, diringkas jadi 3 izin, kalau bisa cuma 2 kali izin doang, izin performing rights sama izin acara," ujarnya.
"Kalau sampai damkar itu pakai izin juga, berat bos," lanjutnya.
Dampak dari ribetnya birokrasi ini, menurut Dino, bukan cuma soal stres administratif tapi juga finansial. Banyak promotor yang akhirnya tekor karena biaya izin yang segunung, sampai kesulitan buat bayar royalti performing rights.
"Dan selama ini, ditagihnya itu selalu di ujung. Sedangkan, tahu kan tagline-nya promotor, 'tekor tapi kesohor'. Saya yakin, kalau ditanya siapapun, lebih banyak yang rugi daripada yang untung. Pasti, saya jamin," kata Dino.
"Jadi selama ini, pas rugi terus ditagih (royalti), ya berat, vendor aja gak kebayar," tandasnya.
(dar/nu2)