Round Up

Bahkan Putar Suara Burung Harus Bayar Pajak

Pingkan Anggraini
|
detikPop
Ilustrasi burung di malam hari
Foto: Unsplash/UnKknown Traveller
Jakarta - Polemik kicauan burung, gemericik air, desir angin dan apa pun yang bukan tentang lagu ternyata masih menjadi bagian dari permasalahan royalti.

Hal ini sampai ke telinga Piyu, selaku gitaris Padi Reborn yang menjabat Ketua Umum AKSI (Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia).

Ia dan FGD (Focus Group Discussion), membahas polemik suara-suara tersebut yang sering terdengar di restoran atau kafe belakangan ini.

"Ya tadi pagi saya baru diskusi FGD. Dari AKSI menyampaikan usulan tarifnya, gimana pelaksanaan dan implementasinya ditunggu saja," ujar Piyu di kawasan Jakarta Pusat, pada Senin (4/8/2025).

Dia paham, banyak orang masih takut sama kata royalti. Tapi menurutnya, ini soal regulasi, bukan ancaman.

"Gak usah takut, karena itu sudah diatur dari 2014," katanya lagi.

Mengenai hal ini, negara sudah memiliki aturan yang tinggal dijalankan.

LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) juga gak mau tinggal diam. Selaku ketua, Dharma Oratmangun, ikut bicara mengenai hal ini. Dia gak masalah kalau pelaku usaha memang mau healing bareng pelanggan lewat suara alam. Tapi, dia punya satu catatan penting.

Suara burung juga ada hak ciptanya. Bukan burungnya yang punya hak, tapi yang merekam suara burung itu. Dalam bahasa hukum hak cipta, produsen fonogram.

Fonogram itu singkatnya, segala bentuk rekaman suara. Termasuk lagu, pidato, hingga suara hujan di YouTube yang kamu putar semalaman biar cepat tidur.

Nah, produsen fonogram, siapa pun yang bikin rekaman suara itu, berhak atas hasil rekamannya. Tersedia di ponsel atau alat rekam milik kamu.

Mau itu suara burung, kodok sawah, atau aliran sungai di kaki gunung. Selama ada proses produksi dan ada orang yang merekam, maka bayar. Menurutnya, ini bukan soal pelit, tapi soal keadilan.

"Kenapa sih susah banget bayar haknya orang?. Kalau kamu untung dari suasana yang tercipta, masa gak mau bagi sedikit buat orang yang bikin suasananya?," ungkapnya.

Suara alam ternyata bisa jadi objek komersial yang berhak dilindungi hukum. Bisa jadi komoditas baru nih, buat kamu yang lagi menjelajah hutan, terus rekam suara kodok atau mungkin tonggeret. Yang lagi di pantai juga coba aja buat rekaman suara debur ombak.

Tapi gak perlu repot jalan-jalan sih. Karena kalau semua yang direkam jadi hak milik, maka diam pun bisa jadi berbayar, asal terekam.

LMKN kayaknya sedang berusaha menata ulang sistem ini agar adil dan gak menakutkan. Piyu dan rekan-rekannya berupaya bikin tarif yang masuk akal, sambil tetap memberi edukasi soal pentingnya menghargai karya, baik lagu, maupun rekaman suasana.

Terkait isu royalti, emang udah lama banget gak selesai dari mulai era musik-musik bajakan. Tapi sekarang kayaknya ada sesuatu yang mau berubah drastis nih demi keadilan.

Meski buat kamu yang awam, harus dihadapkan pada satu kenyataan baru. Alam, yang selama ini jadi tempat kita mencari ketenangan, sekarang pun bisa dimonetisasi.

Jadi lain kali kalau lagi nongkrong di kafe dengar suara burung-burungan, tanya deh satu hal sederhana ke baristanya.

"Burung ini royaltinya udah dibayar, belum?"




(wes/dar)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO