Raim Laode Tanggapi Isu Royalti Musisi Indonesia

Penyanyi dan musisi indie, Raim Laode, turut memberikan pendapat terkait isu royalti yang tengah ramai dibicarakan di dunia musik Indonesia. Menurutnya, meski ada perbedaan antara musisi major label dan indie, sistem royalti yang terstruktur dan transparan sangat penting untuk kesejahteraan musisi.
"Dari yang saya lihat, royalti teman-teman musisi major label itu hampir sama dengan yang didapat oleh kami, musisi indie. Bedanya, major label sudah menyediakan semua, mulai dari platform royalti hingga pemanfaatan lagunya, semuanya satu pintu. Itu lebih bagus karena ada tim hukum dan sistem yang lebih kompleks," ujar Raim Laode saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa (18/2/2025).
Sebagai musisi indie, Raim menjelaskan bahwa ia menerima royalti melalui beberapa saluran, mulai dari agregator hingga LMKN.
"Saya kan kebetulan masuk di jalur musisi indie, di mana sumber royalti kami banyak. Kalau major label itu punya banyak pintu tapi satu jalur, sedangkan musisi indie bisa mendapatkan royalti dari agregator, publisher, dan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional). Itu semua menjadi sumber dana royalti lagu kami," ungkapnya.
Meski berkarier sebagai musisi indie, Raim mengaku bahwa royalti yang ia terima selama ini berjalan dengan lancar. Ia juga menekankan bahwa jalur indie mengajarkannya untuk menjaga karyanya sendiri.
"Aman, lancar. Kalau kalian terjun di musik indie, selain belajar bermusik, kalian juga harus belajar menjaga karya sendiri. Itu dua hal yang berbeda, tetapi sama pentingnya dan harus dikuasai keduanya," jelasnya.
Saat ditanya mengenai proses pembayaran royalti yang ideal, Raim menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan tanggung jawab LMKN. Ia sendiri tidak terlalu terlibat dalam urusan ini karena tengah fokus pada film dan menulis novel.
"Itu urusan LMKN kalau nggak salah. Saya nggak terlalu banyak ambil bagian dalam hal itu. Kebetulan juga saya jarang ambil event, karena sedang mengurus film dan novel. Kalau manggung, biasanya EO yang membayar. Sebelum tampil, kami memberikan setlist lagu, lalu penyelenggara mengecek apakah ada lagu milik orang lain di dalamnya. Jika ada, mereka akan melaporkan ke LMKN, dan LMKN yang mendistribusikan royaltinya kepada kami setiap tiga bulan. Ada laporan lengkapnya, misalnya lagu 'Komang' dibawakan oleh musisi di mana, dan nanti ada kreditnya," bebernya.
Terkait penghasilan dari royalti, Raim menegaskan bahwa meski tidak besar, ia merasa cukup.
"Lancar-lancar aja, nggak pernah mengeluh. Cukup kok, meskipun nggak sebanding dengan bayaran tampil di event. Tapi kalau dari agregator, anggap aja kayak AdSense YouTube, cukup lah," ujarnya.
Mengenai gerakan musisi yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), yang memperjuangkan hak pencipta lagu, serta gerakan VISI yang berisi para penyanyi yang menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan hak cipta, Raim punya pandangan sendiri.
"Bagus ya, musisi harus berkomunitas, membuat organisasi yang jelas. Kadang-kadang ada keresahan yang sulit kita terjemahkan sebagai musisi kepada orang-orang yang bekerja di bagian regulasi. Kita akan lebih senang kalau ada orang musik yang duduk di dewan rakyat, jadi nggak perlu dijelaskan berulang kali. Dia pasti lebih mengerti kita," pungkasnya.
(fbr/aay)