Main Stage
Superblue Jadi Album yang Selamatkan Elephant Kind

Elephant Kind merilis single Modern Romance Dreaming (Lonely) pada 2021. Lagu tersebut didautlat menjadi pembuka untuk album mereka yang diberi judul Superblue (2023).
Superblue adalah album ketiga, tapi yang pertama untuk Elephant Kind setelah memutuskan untuk hijrah ke London, Inggris. Nama Superblue berangkat dari warna biru itu sendiri yang identik dengan perasaan sedih, sayu dan kesepian. Apa hubungannya? Karena Elephant Kind ingin membagi sisi melankolis mereka.
Band beranggotakan Bam Mastro (vokal, gitar), Bayu Adisapoetra (drum), dan Kevin Septanto (bas) itu membagi perasaan sepi dan teralienasi yang mereka potret dalam lagu-lagu di albumnya nanti.
"Gue merasa ada gap aja, blue kan identik dengan the sky, the ocean, gue merasa keduanya itu really hard to reach. Kita sendiri pun terbang atau menyelam ke sana sudah bisa, tapi it's not that easy, ada gap, ada distance, ada rasa kayak nggak nyatu lagi," jelas Bam Mastro mengenai judul albumnya.
Menyoal kesepian dalam albumnya, Bam Mastro menjelaskan dirinya memiliki pandangan yang terbilang kontemplatif mengenai perasaan tersebut. Baginya, akar dari kesepian adalah jarak.
Jarak yang ia maksud tidak selalu secara harfiah. Baginya, bisa saja seseorang hadir berdekatan tapi merasa jauh dan terpisah satu sama lain.
"Alienation, being alienated kan berarti lo merasa jauh kan. Roots-nya loneliness adalah distance. Yang nyokap gue sering bilang, kalau orang berantem teriak-teriak berarti hatinya yang jauh karena sudah nggak bisa saling denger, sehingga harus teriak," ungkap dia.
"Gue percaya loneliness itu datang dari gap itu, distance itu, distance itu gue lihat apapun yang biru gue rasa distance dan loneliness," sambung Bam lagi.
Kemalangan Pandemi
Elephant Kind memulai 2020 dengan penuh optimisme. Mereka berencana membuat sebuah konser di Jakarta yang diikuti oleh tur ketiga kota lainnya. Rupanya, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, pandemi virus Corona datang melanda Indonesia.
Mau tak mau, rencana itu harus urung dilancarkan. Padahal saat itu, tiket dari konser mereka hampir terjual habis. "Mungkin ada sense of disappointment juga. Kami juga dealing sama masalah masing-masing, itu yang membuat perasaan lost," kata Bayu dalam wawancara dengan detikcom.
Setelah sejumlah rencana yang tidak berjalan mulus, ada beberapa kejadian yang membuat masing-masing personel harus fokus dengan urusan pribadi masing-masing. Bayu saat itu tengah berusaha bangkit dari rasa kehilangan setelah ditinggal berpulang oleh salah seorang anggota keluarga. Sedangkan Bam berfokus pada proses penyembuhan penyakit yang sempat ia jalani. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan hilangnya waktu bertemu bersama di awal masa pandemi.
![]() |
"Gue di Elephant Kind gitu, gue orangnya cukup hands on, gue kalo bisa let's say, take control biar bisa semuanya berjalan. Di 2020 gue nggak ngerasa harus kayak gitu kayaknya semuanya jadi lupa cara kami bekerja bersama tuh gimana. Karena gue sendiri gue sudah lost," tutur Bam Mastro.
Beruntung hal tersebut tidak berlangsung berlarut-larut. Ketiganya sama-sama masih menyimpan semangat untuk bermusik dan membuat karya baru bersama-sama.
"Semangat itu kayak datang lagi saja out of nowhere. Gue selalu percaya band itu nggak bakalan berhenti kecuali emg udah death aja orang-orangnya. Selama masih alive dan personel-personelnya bisa terus main, ya band itu bakal tetap jalan," jelas Bam.
Semangat yang datang entah dari mana itu, memperpanjang napas Elephant Kind untuk membuat album yang menyelematkan mereka. Cerita album tersebut di halaman selanjutnya.