Sutradara Parasite Bongkar Kunci Sukses: Belajar dari Film Orang Frustrasi

Dari K-pop yang menguasai tangga lagu dunia, drama-drama yang bikin nagih, kuliner dan skincare yang jadi tren. Semua dikemas dalam fenomena bernama Hallyu alias Korean Wave.
Kalau dulu pengaruh budaya populer didominasi Barat, sekarang orang nempel banget sama BTS, BLACKPINK, Squid Game, dan Parasite. Bukan hanya soal hiburan, mereka juga jadi cara halus negara membangun citra positif dan membuka peluang bisnis di seluruh dunia.
Di tengah gelombang itu, ada satu nama besar yang berdiri sebagai simbol, Bong Joon-ho. Lewat Parasite (2019), Bong itu mendobrak dunia, mengalahkan Hollywood.
Bukan cuma memenangkan hati penonton global, dia juga mencatat sejarah sebagai sutradara Korea pertama yang membawa pulang Oscar untuk Best Picture. Pencapaian yang gak pernah diraih film berbahasa non-Inggris sebelumnya.
Academy Awards menanyakan kepada Bong Joon-ho film apa yang wajib ditonton calon pembuat film. Sang sutradara sempat kewalahan, bahkan gak memilih lima judul favorit.
Bong yang dikenal lewat karya lintas-genre seperti Mickey 17, Memories of Murder, hingga Okja, justru memutuskan fokus pada tiga film yang bercerita tentang proses membuat film itu sendiri.
Menurut Bong, ketiga film ini menggambarkan dengan jujur bagaimana kekacauan, frustrasi, sampai keindahan di balik pembuatan film:
1. 8½ - Federico Fellini (1963)
Fellini membuat 8½, film yang mengikuti Guido (Marcello Mastroianni), seorang sutradara yang kehilangan arah saat menggarap proyek baru. Pada dasarnya, film yang Guido coba buat adalah 8½ itu sendiri.
Dengan gaya surealis khas Fellini, hasilnya adalah potret absurd sekaligus jujur tentang krisis kreatif. Gak heran film ini meraih Oscar untuk Best Foreign Language Film.
2. Day for Night (La nuit américaine) - François Truffaut (1973)
Kalau Fellini menyorot kebuntuan pribadi, Truffaut justru merayakan kekacauan kolektif dalam produksi film. Dia sendiri tampil sebagai Ferrand, sutradara yang berusaha menjaga proyeknya tetap jalan meski harus menghadapi aktor dramatis, kru yang kacau, dan masalah teknis.
Judulnya merujuk pada trik sinema day for night, syuting siang untuk adegan malam yang jadi sebuah metafora tentang ilusi yang bikin film terasa ajaib.
3. Living in Oblivion - Tom DiCillo (1995)
Lebih satir dan gelap, film ini lahir dari frustrasi Tom DiCillo setelah debutnya, Johnny Suede, gagal. Steve Buscemi berperan sebagai Nick Reve, sutradara indie yang terus dihantam masalah, kru gak becus, aktor diva, hingga peralatan rusak.
Hasilnya adalah potret kocak sekaligus getir tentang betapa rumit dan melelahkannya dunia film independen.
Bong Joon-ho gak milih film-film yang sempurna atau penuh glamor. Dia memilih karya-karya yang justru menyingkap sisi berantakan dari dunia sinema. Dia mau ngasih tau, di depan layar yang penuh keindahan, selalu ada kekacauan yang harus dihadapi dengan ketekunan.
(nu2/ass)