Round Up
Kontroversi Merah Putih One For All: Pembelaan Produser, Tepisan Pemerintah

Film animasi Merah Putih: One For All muncul dan langsung jadi topik hangat di media sosial. Sayangnya film produksi Perfiki Kreasindo ini dibicarakan bukan karena kualitas produksinya yang setara dengan Jumbo, animasi terbaik sepanjang sejarah film animasi Indonesia, tapi justru sebaliknya.
Merah Putih: One For All dikritik karena kualitas produksinya dinilai jauh banget di bawah Jumbo. Udah gitu, ada kabar soal biaya produksi yang mencapai angka Rp 6,7 miliar tapi malah gak kelihatan mahal sama sekali dalam trailer yang udah dirilis.
Nah, ngomongin soal trailer film ini, netizen ramai-ramai menguliti segalanya. Mulai dari penggunaan aset yang dibeli online seharga belasan dollar sampai kemunculan senpi yang dianggap aneh banget.
Berikut deretan kontroversi film Merah Putih: One For All
1.β β Aset murah
Akun YouTube Yono Jambul mengungkapkan informasi soal animasi film Merah Putih: One For All. Diduga animasi yang diperlihatkan di trailer beli di store Daz3D.
"Mereka ada adegan jalankan. Nah mereka belinya aset street of Mumbai. Aneh banget kan makanya jalannya," ucapnya dilansir detikpop.
Sebab 'asal caplok' itu akhirnya apa yang diperlihatkan dalam trailer kayak kosong gak ada feel sama sekali. Meski asetnya dipoles, tapi tetap aja masih jauh dari standar yang udah keburu tinggi berkat Jumbo.
Baca juga: 10 Film Animasi Indonesia Terpopuler |
2.β β Nurunin standar yang udah tinggi berkat Jumbo
Trailer Merah Putih: One For All muncul jelang penayangannya 14 Agustus 2025. Menonton video itu netizen ngasih respons keras banget buat film ini. Soalnya belum lama industri film animasi Indonesia bangga banget sama Jumbo. Gak cuma film Jumbo punya cerita yang menyentuh, tapi animasinya apik.
Muncul setelah film sebagus itu bikin Merah Putih: One For All jadi samsak netizen deh soal kualitasnya. Film ini disebut malah nurunin standar yang udah dicetak oleh Jumbo.
3.β β AK-47 di trailer
![]() |
Ada lagi nih keanehan dalam trailer Merah Putih: One For All. Di adegan anak-anak sedang kumpul di Balai Desa, ada gambar senapan laras panjang AK-47 di dalam sebuah lemari penyimpanan.
AK-47 disimpan di Balai Desa? Buat apa sih? Mungkin kamu juga mikir kayak gitu ya guys. Produser film Merah Putih: One For All, Endiarto, kemudian ngasih penjelasan.
"Itu kan gudang balai desa, tempat penyimpanan bendera dan momen perayaan 17 Agustus. Jadi itu adalah properti untuk peringatan 17 Agustus. Jadi bukan senjata beneran. Karena itu buat pentas mereka, dipake sama yang menjadi tentara Belanda," terangnya dalam tayangan detikPagi episode Senin (11/8).
Isu budget miliaran (di halaman selanjutnya)
Endiarto juga bicara soal budget film Merah Putih: One For All yang disebut mencapai angka Rp 6,7 miliar. Dia ngaku gak tahu sama sekali dari mana angka itu muncul.
Padahal, budget Rp 6,7 miliar keluar dari unggahan produser film ini yaitu Toto Soegriwo dan juga keterangan di laman Perfiki. Kok bisa ya Endiarto gak tahu soal ini?
"Film garapan Endiarto dan Bintang ini berdurasi 70 menit ini diketahui memakan budget produksi hingga Rp 6,7 miliar seperti yang diutarakan Produser Eksekutif Sonny Pudjisasono," tulisnya dalam akun pribadinya.
5.β β Pemerintah gak danai film ini
![]() |
Masih soal budget Rp 6,7 miliar film Merah Putih: One For All nih. Banyak yang nanya itu dari mana sih uangnya? Pemerintah terseret dong dalam isu pembiayaan buat film animasi itu.
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf) Irene Umar bicara lewat media sosial, menjelaskan kalau pihak Ekraf sempat menerima perwakilan tim produksi Perfiki Kreasindo. Ada dialog antara dua pihak soal karakter dan trailer.
Udah sampai di situ aja. Menurut Irene Umar gak ada urusan pendanaan sama sekali.
"Kami (Kementerian Ekonomi Kreatif) tidak memberikan bantuan finansial dan tidak memberikan fasilitas promosi. Hal ini selalu saya lakukan di setiap audiensi dengan semua pihak supaya setiap audiensi saya bisa mendengar langsung dari pelaku industri dan memberikan feedback based on my experience. Semua pejuang Ekraf itu bebas berkarya selama memberi dampak positif," tegasnya dikutip pada Senin (11/8).
Terus dananya dari mana? Kalau menurut pengakuan Endiarto, film ini dibuat dengan dana patungan dari Perfiki Kreasindo.
Perfiki Kreasindo ini sendiri bukan BUMN, apalagi lembaga pemerintah. Mereka ada di bawah naungan Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, sebuah yayasan nirlaba yang memang fokus memajukan perfilman nasional. Jadi meskipun temanya nasionalis banget, ini proyek internal dari orang-orang industri film, bukan duit negara yang dibelanjain.