The Act of Killing, Film soal Indonesia yang Masuk 100 Film Terbaik Abad 21

Tapi di balik visual yang indah itu, ada suasana gak nyaman yang pelan-pelan merambat dan gak pernah benar-benar hilang sampai film selesai.
Film ini dibuat oleh Joshua Oppenheimer, dan alih-alih menceritakan langsung soal tragedi 1965, film ini justru fokus ke para algojo pembunuhan massal kala itu. Mereka ditampilkan sebagai bintang dari film buatan mereka sendiri, yang merekonstruksi masa lalu dengan penuh gaya dan kadang dengan tawa.
Mereka diminta untuk memerankan ulang adegan-adegan kekerasan yang dulu mereka lakukan, dalam format film lengkap dengan properti, kostum, bahkan mimpi buruk yang mereka alami.
Gayanya pun dengan tontonan favorit mereka sendiri, jadi gangster klasik, western, sampai musikal. Hasilnya jadi campuran antara ngeri, dan sedih yang bikin kamu gak bisa lepas dari layar.
Ada satu adegan di mana seorang korban bercerita sambil tertawa soal mayat ayah tirinya yang dia buang ke sungai. Rasanya absurd, dan justru itu yang bikin semuanya terasa makin mengerikan.
Sepanjang film, kamu bisa lihat betapa para pelaku ini awalnya tampak bangga. Ada momen salah satu pelaku mengakui kalau yang mereka lakukan itu kejam, tapi lalu buru-buru menarik kembali ucapannya, seperti merasa harus tetap kuat dan gak menyesal karena mereka yakin itu sebuah kebenaran.
Di akhir film, kamu disuguhi momen yang sangat sunyi tapi mengganggu. Seorang pelaku berdiri, muntah, dan terdiam. Seolah semua ingatan buruknya datang menumpuk sekaligus, dan tubuhnya gak kuat menanggungnya.
The Act of Killing adalah salah satu dokumenter yang wajib ditonton, terutama kalau kamu peduli sama bagaimana sejarah terbentuk. Makanya, dokumenter itu berpengaruh.
The Act of Killing juga jadi satu film tentang Indonesia yang berhasil masuk ke daftar 100 film terbaik versi The New York Times. Film ini nangkring di posisi ke-82 sebagai film terbaik abad 21.
(nu2/pus)